Pertumbuhan dan Defisit Kesejahteraan


Pertumbuhan dan Defisit Kesejahteraan
Ahmad Erani Yustika, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA, DIREKTUR EKSEKUTIF INDEF
Sumber : SINDO, 8Februari 2012



Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan secara lengkap kinerja ekonomi 2011. Pertama, laju pertumbuhan ekonomi 2011 mencapai 6,5%. Dengan pertumbuhan sebesar itu, produk domestik bruto (PDB) menjadi sebesar Rp7.427 triliun. Jika dibagi dengan jumlah penduduk,pendapatan per kapita penduduk Indonesia 2011 sebesar USD3.542. Pendapatan per kapita itu meningkat 17,7% daripada tahun sebelumnya sebesar USD3010.

Kedua,secara sektoral donasi terbesar disumbang oleh sektor industri pengolahan (24,3%); pertanian,peternakan,kehutanan, dan perikanan (14,7%); perdagangan, hotel, dan restoran (13,8%); pertambangan dan penggalian (11,9%); konstruksi (10,2%); jasa-jasa (10,5%), keuangan, real estat, dan jasa perusahaan (7,2%); pengangkutan dan komunikasi (6,6%); serta listrik, gas, dan air bersih (0,8%). Data ini memperlihatkan sektor industri dan pertanian (dalam arti luas) masih menjadi penyokong terbesar ekonomi nasional.

Masalah Pertumbuhan Ekonomi

Dari sisi pertumbuhan sektoral, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor pengangkutan dan komunikasi 10,7%; diikuti sektor perdagangan, hotel, dan restoran 9,2%; serta sektor keuangan, real estat, dan jasa perusahaan 6,8%. Sementara itu, sektor industri pengolahan tumbuh 5,56%, meningkat dari 2010 yang tumbuh 4,5%. Hal yang sama juga terjadi di sektor pertanian, yang pertumbuhannya jauh di bawah pertumbuhan ekonomi.

Dengan begitu, pola pertumbuhan sektoral melanjutkan tradisi beberapa tahun terakhir yang didominasi nontradeable sector. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada 2011 tersebut meneruskan tradisi pertumbuhan ekonomi di atas 6% sejak 2007,kecuali diinterupsi pada 2009 akibat krisis ekonomi dunia. Pada 2007 pertumbuhan ekonomi 6,35%; setelah itu pada 2008 (6,02%), 2009 (4,63%), dan 2010 (6,19%).

Meskipun pertumbuhan ekonomi ini relatif tinggi, banyak pihak yang belum puas karena sebetulnya peluang Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi terbentang luas. Namun, akibat kegagalan pemerintah membangun infrastruktur, kelambanan perizinan, dan kerumitan pembebasan lahan membuat kegiatan ekonomi tidak bisa digenjot secara cepat. Problem pertumbuhan bisa dilihat dari struktur sumbangan sektoral.

Sektor industri pengolahan donasinya terhadap PDB terus merosot sejak lima tahun terakhir.Pada 2009 misalnya sektor tersebut masih menyumbang 26,4% terhadap PDB,tapi pada 2011 turun tinggal 24,3%.Sektor pertanian juga jatuh sumbangannya, pada 2010 masih sebesar 15,3%,tapi pada 2011 tinggal 14,7%. Khusus sektor pertanian ini sebetulnya tidak terlalu masalah kontribusinya terhadap PDB menurun asalkan diikuti dengan penurunan beban tenaga kerja di sektor tersebut.

Masalahnya penurunan kontribusi terhadap PDB tidak selaras dengan penurunan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Dalam situasi di mana masalah pengangguran menjadi isu pembangunan saat ini, penurunan donasi sektor industri pengolahan dan pertanian terhadap PDB merupakan berita buruk karena kedua sektor ini menjadi penyerap tenaga kerja terbesar.

Intensitas Ketimpangan

Dengan seluruh gambaran kinerja makroekonomi 2011 tersebut, di dalamnya masih menyembulkan soal lama yang tidak terurai hingga kini, yaitu soal ketimpangan. Ketimpangan di Indonesia bisa dilihat dari tiga sisi, yaitu ketimpangan sektoral, daerah, dan individu. Ketimpangan sektoral sudah terlihat dengan jelas dari paparan di atas.

Sektor non-tradeable tumbuh tinggi, tapi hanya menampung sedikit tenaga kerja sehingga mereka yang terlibat di dalamnya menikmati pendapatan yang tinggi. Hal yang berbeda terjadi di sektor industri pengolahan dan pertanian (tradeable) yang tumbuh rendah, namun penyerapan tenaga kerjanya tinggi.Konsekuensinya, mereka yang terlibat di kedua sektor itu hanya menerima pendapatan yang rendah.

Narasi tersebut ditopang oleh data rasio gini/RG (untuk mengukur ketimpangan pendapatan penduduk) yang terus naik dari tahun ke tahun.Pada 2010 lalu RG sudah mencapai 0,37; padahal pada masa sebelum krisis ekonomi 1998 RG di Indonesia tidak pernah mencapai lebih dari 0,33 (semakin tinggi RG menunjukkan ketimpangan yang makin hebat).

Dengan tambahan data ini,kenaikan pendapatan per kapita yang terus berlangsung dari tahun ke tahun sebetulnya tidak banyak berarti karena penikmat kenaikan itu hanya sebagian kecil masyarakat. Sementara itu, ketimpangan daerah/regional juga masih langgeng,Pulau Jawa menyumbang 57,6%, Sumatra 23,5%, Kalimantan 9,6%, Sulawesi 4,6%, dan wilayah lain 4,7%.

Dari aspek demografis, datadata ini sebetulnya kurang menimbulkan persoalan karena jumlah penduduk memang sebagian besar berdiam di Jawa dan Sumatra.Namun, dari sisi keadilan/ketahanan wilayah, data itu menimbulkan masalah genting (secara politik). Situasi tersebut pada akhirnya lebih banyak menerbitkan kecemasan ketimbang kegembiraan dalam meneropong masa depan ekonomi nasional.

Pembangunan ekonomi hanya akan berkelanjutan bila sebagian besar masyarakat turut serta dalam gerbong pembangunan. Sebaliknya,jika sebagian besar masyarakat tergelincir dalam kegiatan ekonomi, berpotensi memunculkan social distrust kepada pemerintah.

Inilah yang pada gilirannya akan meruntuhkan kredibilitas pemerintah dan mengganggu kegiatan ekonomi, yang sebagian sudah dapat dirasakan sekarang, seperti kasus Mesuji, pertambangan di Bima, pemogokan buruh, dan aneka peristiwa yang bersumber dari defisit kesejahteraan ekonomi rakyat.

Jika pemerataan pendapatan/pembangunan ini tidak lekas disantuni, perhelatan politik 2014 (jika memang sesuai jadwal) pasti akan dihantui dengan isu kerusuhan sosial akibat ketimpangan ekonomi. Celakanya, waktu pemerintah untuk berbenah sangat terbatas!

◄ Newer Post Older Post ►