Saat Kepercayaan terhadap Hukum Runtuh


Saat Kepercayaan terhadap Hukum Runtuh
Handrix Chrisharyanto, DOSEN PSIKOLOGI UNIVERSITAS PARAMADINA
Sumber : KOMPAS, 7 Februari 2012


Hukum di Indonesia saat ini menjadi sorotan publik. Hukum di Indonesia diibaratkan sedang mengalami terjun bebas ke titik nadir. Pandangan semacam itu menjadi penguatan negatif terhadap keberadaan hukum di Indonesia.

Hukum di Indonesia juga acap kali digambarkan dengan ilustrasi tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah. Situasi yang menggambarkan bahwa hukum di Indonesia hanya mampu menghadapi orang-orang tanpa kekuasaan dan mati di hadapan orang-orang berkuasa. Dewi keadilan pun diibaratkan hanya membuka matanya saat dihadapkan dengan kekuasaan sehingga keadilan itu sendiri dapat dipermainkan.

Kondisi hukum seperti ini pada dasarnya menurunkan tingkat kepercayaan (trust) masyarakat akan keberadaan hukum itu sendiri. Hal ini melihat kondisi hukum kita yang sering kali lemah dan absurd terhadap kasus-kasus yang melibatkan para elite politik dan elite penguasa. Hukum juga kerap loyo saat dihadapkan dengan cukong-cukong berduit. Hukum menjadi sahabat bagi para pesakitan yang mampu membayar hukum itu sendiri.

Menyadari akan fondasi keadilan akan hukum pada dasarnya melihat dari para personel penyelenggara hukum yang dimiliki negara ini. Keberadaan institusi kehakiman, kejaksaan, kepolisian, dan KPK menjadi representasi akan tinggi atau rendahnya kepercayaan (trust) masyarakat terhadap hukum itu sendiri.

Kepercayaan yang tinggi dari masyarakat pada dasarnya menjadi konteks legitimasi yang lebih diperlukan daripada hanya dalam konteks legalitas. Situasi tersebut dikarenakan bahwa legitimasi pada realitasnya memberikan penguatan dalam fondasi sosial psikologis (Faturochman, 2008). Dalam hal ini, legitimasi masyarakat jadi faktor terpenting. Sebab, penyelenggaraan negara ini pada dasarnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Legitimasi tersebut harus mampu dibangun oleh para penyelenggara hukum dengan mulai membangun pilar-pilar kepercayaan yang ada. Merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh Mishra (1996), jelas sudah bahwa membangun suatu kepercayaan pada dasarnya dilakukan dengan menguatkan beberapa dimensi.

Empat Dimensi

Paling tidak ada empat dimensi yang perlu mendapat penguatan. Pertama, dimensi kompetensi. Dalam hal ini dimensi kompetensi mengarahkan pada kemampuan yang perlu dimiliki dalam menghadapi suatu permasalahan yang dihadapi.

Institusi hukum sebagai representasi hukum di Indonesia saat ini memberikan visualisasi yang rendah akan kompetensi dalam penanganan hukum. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus besar yang mandek ataupun kabur dalam penyelesaiannya. Hukum dirasakan tidak mampu mendobrak dengan keras, malah linglung, saat dindingnya dilapisi selimut kekuasaan.

Kedua, dimensi keterbukaan yang harus melekat agar dapat memberikan label tepercaya bagi suatu pihak. Keterbukaan dalam hal ini terkait dengan konteks kejujuran yang dimiliki. Keterbukaan ataupun kejujuran yang ditekankan, dalam hal ini, adalah berupa paparan akan kebenaran-kebenaran yang sesuai dengan fakta lapangan sesungguhnya.

Saat hukum melalui para penegak hukum dirasa terlalu sering menutup-nutupi kebenaran untuk melindungi salah satu pihak penguasa, dimensi ini hanya akan ditampakkan secara negatif oleh rakyat. Persepsi rakyat akan kebenaran yang seharusnya ditunjukkan oleh hukum itu sendiri menjadi lemah. Hukum gagal mencapai tingkat tertinggi dari keterbukaan ataupun kejujuran itu sendiri.

Ketiga, dimensi perhatian atau kepedulian. Dimensi ini menjadi salah satu ranah yang harus diperhatikan agar mampu mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Dalam dimensi ini, kepercayaan akan terbentuk saat adanya persepsi yang muncul terkait seberapa jauh dalam memperhatikan ataupun memedulikan kepentingan pihak lain, di samping kepentingan diri pribadi.

Dalam ranah hukum saat ini, para penegak hukum dirasa tidak mampu membentuk kepedulian yang tinggi terhadap kepentingan rakyat. Para penegak hukum gagal menjadi pihak yang tepercaya, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang hanya mementingkan diri sendiri dengan menerima suap. Tayangan drama- drama keadilan yang marak saat ini adalah buah dari itu semua.

Keempat, dimensi reliabilitas menjadi tidak kalah pentingnya yang harus dimiliki untuk 
memunculkan kepercayaan kepada satu pihak. Reliabilitas menekankan pada kesamaan atas apa yang menjadi perkataan dan perbuatan. Integritas menjadi fondasi penting di dalam menggambarkan dimensi reliabilitas yang ingin dicapai.

Hukum harus menyadari atribut yang melekat di dalamnya. Bahwa hukum bergerak tanpa memandang siapa pun pihak yang bersalah, tidak bernegosiasi, ataupun bersifat hitam dan putih harus mampu ditegakkan. Dalam realitasnya, hukum tidak berjalan sesuai atribut yang melekat di dalamnya. Hukum saat ini nihil akan kepuasan dalam tindakan integritas yang nyata. Siapa yang memiliki kekuasaan dapat menggoyang hukum ataupun menjadikan hukum itu sendiri loyo.

Hukum harus mampu digambarkan sebagai pihak yang dapat dipercaya dengan aksi-aksi keadilan tanpa pandang bulu melalui institusi-institusi hukum yang ada. Saat hukum mampu memberikan representasi keadilan yang memuaskan, rakyat dengan sendirinya akan mampu memercayakan permasalahan hukum kepada hukum itu sendiri tanpa perlu mengedepankan tindakan anarkistis sebagai bentuk delegitimasi terhadap hukum oleh rakyat. ●

◄ Newer Post Older Post ►