Makin Adil…?


Makin Adil…?
Makmur Keliat, PENGAJAR FISIP UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 10 Februari 2012


“Secara moral, upah pekerja harus semakin baik, layak, dengan demikian semakin adil.” Kutipan di atas berasal dari pernyataan SBY yang dimuat Kompas, 2 Februari 2012, ketika menanggapi tuntutan kenaikan upah buruh. Namun, apakah yang dimaksud dengan adil itu?

Pernyataan ”semakin adil” memang gampang diucapkan. Namun, kebijakan apakah yang harus diluncurkan sehingga semua pihak merasakannya sebagai suatu ungkapan ”keadilan” (justice) tidaklah soal semudah membalik telapak tangan.
Pada masa lalu tersedia jalan pintas untuk mendefinisikan upah yang ”adil” itu. Dalam sistem politik otoriter seperti Orde Baru, keadilan dalam pengupahan haruslah sesuai dengan apa yang dipatok dan dirumuskan penguasa. Bukan hanya buruh yang harus taat, melainkan juga seluruh kelompok sosial lain. Yang tak taat harus siap menderita, bahkan harus kehilangan hak hidupnya seperti dalam kasus tewasnya Marsinah. Namun, dalam alam demokrasi seperti sekarang, kata-kata penguasa tentu bukanlah sabda atau kata akhir.

Tangan Keadilan Gaib

Ada dua jebakan besar yang dihadapi sistem politik demokratis dalam merumuskan upah yang adil. Jebakan pertama terkait kuatnya keinginan mengaitkan kebijakan upah dengan semangat pasar. Gagasan utamanya adalah upah yang ”adil” seharusnya dibuat atas dasar interaksi bebas antara pelaku pasar, dalam hal ini tentu saja di antara setiap individu buruh, dan perusahaan. Ada dua argumen dasar yang sering disebut oleh para pendukungnya mengapa pengaitan ini dianggap menjadi pilihan kebijakan ”terbaik”.

Alasan pertama, watak mekanisme interaksi di pasar disebutkan berlangsung secara sukarela tanpa paksaan. Alasan lain, pasar dikonsepsikan sangat efisien. Jika dibiarkan bekerja sepenuhnya, pasar lalu dianggap menjadi mekanisme terbaik untuk pendistribusian ”keadilan”.

Dalam rumusan kalimat yang lebih membujuk, logika ini melahirkan keyakinan tentang adanya ”tangan keadilan gaib” (invisible hand of justice) yang bekerja di dalam pasar. Dalam konteks upah buruh, logika ini berarti menganjurkan: biarkan hukum permintaan dan penawaran tenaga kerja berlaku tanpa campur tangan pihak ketiga.

Jika argumen ”tangan keadilan gaib” ini dipakai sebagai rujukan, negara tentu saja dianggap tak perlu campur tangan dalam mendistribusikan kesejahteraan, termasuk dalam isu pengupahan. Seseorang yang bekerja sebagai buruh di pabrik, misalnya, tak pernah dipaksa untuk bekerja sebagai buruh. Pilihan itu bukan kebijakan kerja paksa seperti masa kolonial Belanda, melainkan buah dari pilihan bebas dan rasional setiap orang. Jika setiap orang berpikir berdasarkan logika pilihan bebas tanpa paksaan dan rasional seperti ini, diyakini redistribusi kesejahteraan akan terjadi secara otomatis.

Sejauh menyangkut intervensi negara, gagasan ”tangan keadilan gaib” ini biasanya hanya menganjurkan intervensi ”minimum”. Negara hanya diizinkan mentransfer kesejahteraan bagi orang-orang yang tak dapat mendukung kelangsungan hidupnya. Namun, istilah intervensi ”minimum” ini pun tidak didorong oleh pertimbangan moral, tetapi lebih karena pertimbangan stabilitas politik.

Campur tangan ”minimum” dilakukan hanya untuk mencegah agar tidak terjadi pergolakan politik dan bukan karena pertimbangan moral. Dalam konteks di Indonesia, istilah ”upah minimum” yang merupakan warisan dari rezim Orde Baru sebelumnya tampak sangat diinsiprasikan oleh gagasan ”tangan keadilan gaib” ini.

Jebakan kedua terkait adanya upaya untuk menghubungkan gagasan upah yang ”adil” dengan semangat komunitarian. Intinya, kebijakan ”upah” yang adil itu perlu dihubungkan dengan keragaman sosial-kultural yang terdapat di masyarakat.

Asumsi dasar pengikut komunitarian ini diletakkan pada gagasan berikut: keadilan bukanlah merupakan konsep tunggal. Apa yang dimaksud ”adil” di suatu komunitas bisa jadi dipandang tidak ”adil” di komunitas lain. Selain itu, redistribusi kesejahteraan bukan sekadar soal upah semata, melainkan juga menyangkut aspek kesejahteraan lain.
Asumsi berikutnya, setiap komunitas memiliki kapasitas untuk membuat konsensus. 
Karena itu, kelompok ini menolak logika redistribusi kesejahteraan yang bersifat tunggal dan universal yang dibuat oleh negara.

Ada beberapa konsekuensi khas jika gagasan komunitarian ini dipakai sebagai rujukan untuk merumuskan kebijakan upah yang adil. Pertama, pelibatan setiap orang pada tingkat komunitas menjadi sangat penting. Kedua, perbedaan antara suatu komunitas dan komunitas lain tentang apa yang disebut ”adil” akan mengakibatkan adanya variasi yang sangat besar dalam penetapan tingkat upah. Ketiga, pelibatan negara juga menjadi sangat minim karena pandangan komunitarian pada dasarnya melekatkan ketidakpercayaan yang sangat besar terhadap negara. Mirip gagasan tangan keadilan gaib, pengaturan oleh negara dalam pendistribusian kesejahteraan melalui birokrasi diyakini para komunitarian hanya akan menghasilkan inefisiensi dan korupsi.

Walau secara sekilas tampak baik, gagasan komunitarian untuk merumuskan upah yang ”adil” itu sangat mustahil dilakukan di Indonesia. Dengan keragaman kultural kita yang luar biasa, konsep ”upah” yang adil dengan basis pemikiran komunitarian hanya akan memunculkan kerumitan luar biasa.

Kerumitan pertama, tidak ada jaminan seluruh komunitas terbebas dari penyakit perkoncoan berdasarkan ikatan darah dan personalisasi sehingga konsensus tidaklah mudah dan dapat saja dimanipulasi. Kesulitan kedua, konsensus biasanya juga akan lebih mudah tercapai dalam suatu komunitas yang latar belakang sosial-ekonominya berada pada lapisan atas. Namun, konsensus akan menjadi sangat sulit bagi lapisan bawah dan rentan terhadap tindakan-tindakan manipulatif.

Keadilan Tanpa Negara?

Bagaimana meloloskan diri dari jebakan berbahaya yang ada di konsep ”keadilan pasar” dan ”keadilan komuntarian” ini? Ia disebut jebakan berbahaya karena keduanya menafikan pentingnya peran negara dan menyiratkan ketidakpercayaan terhadap negara.

Kedua jebakan itu sebenarnya bermuara pada suatu mimpi besar yang sama, yaitu berusaha untuk mewujudkan gagasan tentang ”keadilan tanpa negara”. Gagasan seperti ini bukan hanya problematik secara akademik, secara politik juga sangat berseberangan dengan semangat konstitusional negeri ini yang memandatkan keadilan sosial sebagai bagian dari tanggung jawab negara.

”Keadilan pasar” sebenarnya bisa saja dimaksudkan untuk menyembunyikan motif akumulasi laba dari pemilik modal dan perusahaan. Bukankah tak ada perusahaan di dunia ini yang menyatakan ”cukuplah sudah besaran laba yang kami peroleh demi peningkatan kesejahteraan buruh dan penyerapan tenaga kerja”.

Demikian juga dengan ”keadilan komunitarian”. Gagasan ini dapat menjadi tempat yang paling nyaman dan aman untuk menyembunyikan semangat komunal. Dengan menguatnya sentimen kedaerahan dan politik lokal di negeri ini, misalnya, melalui slogan ”ekonomi daerah untuk putra daerah”, gagasan komunitarian sangat mudah tergelincir menjadi tindakan-tindakan komunalisme. Gagasan itu dapat menjadi variabel dependen dari sentimen sektarian dan tunduk pada perhitungan politik jangka pendek dari kompetisi elite di tingkat lokal.

Karena itu, tidak ada cara lain untuk melawan dua gagasan tersebut kecuali dengan menciptakan tangan keadilan negara menjadi lebih visible, lebih tampak. Namun, gagasan tangan keadilan negara yang tampak itu bukan berarti kembali ke masa Orde Baru yang sekadar terfokus pada penetapan tingkat upah minimum. Lebih dari itu, tangan keadilan negara harus dapat diperluas sehingga dapat menjangkau tindakan-tindakan konkret untuk mewujudkan fungsi-fungsi kesejahteraan yang harus dijalankan dan diberikan negara kepada setiap warganya.

Adalah fakta yang menyedihkan, seperti yang dikemukakan dalam tulisan opini Anwar Nasution (Kompas, 2 Februari 2012), rasio penerimaan negara dari pajak (11,6 persen pada 2010) di negeri ini adalah salah satu yang paling rendah di antara negara-negara berkembang. Kemampuan fiskal yang rendah inilah yang jadi salah satu sebab mengapa ”gagasan keadilan tanpa negara” menjadi tumbuh subur dan merebak di negeri ini.

Suatu fakta yang menyedihkan juga bahwa hingga kini jaminan asuransi kesehatan hanya dijamin negara kepada warganya yang, terutama, bekerja sebagai pegawai negeri. Kebijakan ini seakan menyiratkan buruh bukanlah warga negara.

Bahkan, terobosan hukum yang dibuat tahun lalu dengan mengeluarkan UU BPJS belum juga dapat diberlakukan. Selain karena kemampuan keuangan negara yang terbatas, juga terdapat pesimisme yang besar apakah ketentuan hukum ini dapat diberlakukan secara efektif pada Juli 2015. Ringkasnya, sukar sekali berharap akan ada keadilan sosial yang semakin baik dalam negara dengan kapasitas finansial yang sangat terbatas seperti Indonesia.

Penulis sangat yakin demonstrasi buruh tidak berangkat dari gagasan keadilan yang revolusioner. Mereka tidaklah menuntut kesetaraan dalam distribusi kesejahteraan. Mereka tak pernah menuntut agar jumlah total produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang kian membesar itu (kini diperkirakan Rp 7.000 triliun) harus didistribusikan atau dibagi secara merata kepada setiap warga. Yang mereka tuntut dan pertanyakan sebetulnya sederhana: mengapa PDB yang semakin besar itu belum juga membesarkan kehidupan diri mereka dan keluarganya? ●
◄ Newer Post Older Post ►