Pragmatisme Pers


Pragmatisme Pers
Sasongko Tedjo, WARTAWAN SUARA MERDEKA,
KETUA BIDANG ORGANISASI PWI PUSAT 2008-2013
Sumber : SUARA MERDEKA, 10 Februari 2012



MENKOMINFO Tifatul Sembiring mengkritik tema yang diusung Hari Pers Nasional (HPN) tentang kebebasan pers. Menurutnya, kebebasan pers di Indonesia sudah tak ada masalah. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah menjamin kebebasan pers, sementara itu sistem politik otoriter sudah lama ditinggalkan. Kebebasan pers di Indonesia bahkan banyak dinilai termasuk paling maju di dunia.

Pernyataan itu tidak salah, terutama bila dilihat dari sisi pemerintah dan sistem perundang-undangan secara normatif. Dibandingkan dengan masa Orde Baru jelas terjadi pembalikan 180 derajat. Namun pernyataan Menkominfo di Konvensi Media Massa dalam rangka HPN 2012 di Jambi pada 8 Februari lalu itu disanggah oleh Ketua Dewan Pers Prof Bagir Manan dan Ketua PWI Pusat Margiono.

Dikatakan, kebebasan pers dalam pengertian yang lebih hakiki bukan hanya dalam posisi ketika berhadapan dengan pemerintah. Kebebasan pers adalah praktik jurnalistik yang benar-benar mengedepankan etika dan profesionalisme. Dengan demikian fungsi idiilnya tetap terjaga. Keberpihakannya jelas, demi kemajuan masyarakat dan bangsanya.
Di sinilah kita akan menemukan masih banyaknya kendala dan juga ancaman bagi kebebasan pers, baik dari internal pers maupun eksternal.

Pengaruh pemerintah menjadi salah satu faktor dan bukan lagi satu-satunya dan hal ini baru bisa terlihat dari praktik jurnalistik yang ada. Dengan demikian haruslah dapat dipahami, termasuk oleh Menkominfo bahwa jalan untuk mencapai kebebasan pers yang hakiki masih panjang dan memang harus terus-menerus diperjuangkan. Dalam hal ini kita kembali kepada teori lama bahwa pers adalah subsistem dari sistem sosial politik ekonomi dan budaya masyarakat.

Industrialisasi Pers

Lembaga pers adalah lembaga ekonomi, jadi media massa, baik cetak ataupun elektronik, tak akan bisa lepas dari industri dan mekanisme pasar. Industri pers bahkan menjadi industri raksasa yang membuat pelaku korporasinya kaya raya. Dengan ditopang oleh kue iklan yang tahun ini bakal mencapai Rp 80 triliun maka industrialisasi pers akan terus berkembang di masa depan. Baik media tradisional maupun media baru seperti media online akan sangat prospektif sekaligus kompetitif.

Struktur pasar yang cenderung oligopolistik pada industri pers adalah ancaman pertama kebebasan pers. Kepemilikan media, terutama ekektronik, hanya terpusat pada beberapa kelompok usaha besar. Penguasaan pers pada kelompok bisnis tertentu tidak hanya perlu diwaspadai dari aspek persaingan usaha tapi juga dari sisi konten. Inilah ancaman kebebasan pers yang pertama, yakni intervensi kepemilikan media yang mengakibatkan distorsi. Tentu ini bukan sesuatu yang salah atau dapat disalahkan. Masalahnya menjadi serius manakala lembaga pers sebagai lembaga publik, apalagi yang memakai ranah publik seperti lembaga penyiaran, hanya menyuarakan kepentingan kelompok tertentu dan mengebiri kepentingan masyarakat luas.

Intervensi terhadap media juga datang dari luar karena begitu banyak pihak yang berkepentingan untuk menggunakan pers sebagai alat atau medium untuk menyuarakan kepentingan. Dengan pola transaksional terbuka atau tidak transparan maka lembaga pemerintah ataupun nonpemerintah, terutama partai politik dan lembaga bisnis, berusaha masuk dalam wilayah konten.

Mungkin terlalu naif untuk mengedepankan masalah ini namun sangat penting untuk menggambarkan fenomena tentang ancaman kebebasan pers yang datang dari berbagai penjuru. Masalahnya kembali kepada seberapa jauh ketahanan lembaga media dan wartawan yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang. Justru di sinilah letak persoalannya, yakni kelemahan lembaga media dan wartawan sebagai pelaku utama industri pers yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan profesionalisme.

Ancaman ketiga ini bersifat internal karena dari sekitar 350 media surat kabar harian di Indonesia boleh dikatakan sebagian besar belum menjadi lembaga ekonomi yang sehat dan mampu memberi kesejahteraan yang relatif baik, terutama kepada wartawan. Untuk bertahan hidup dan berkembang dilakukanlah pola-pola transaksional konten yang pada hakikatnya mengesampingkan etika jurnalistik. Pada tingkatan ini kita sering toleran dengan alasan pragmatis.

Di sisi lain kebijakan redaksional terdikte oleh pasar dan persaingan. Masih bagus kalau arahnya adalah kepuasan konsumen namun apabila warnanya berubah karena faktor-faktor intervensi tadi tentu itu bukan kondisi yang diinginkan. Ancaman terberat ketika banyak wartawan yang mudah tergoda intervensi demi kepentingan ekonominya yang seringkali bisa dimaklumi.

Kelemahan wartawan dari sisi etika dan profesionalisme merupakan masalah serius yang harus diatasi dan ini menjadi tanggung jawab lembaga pers ataupun organisasi profesi seperti PWI. Exit strategy-nya jelas, yakni peningkatan kompetensi dan standardisasi seperti yang sudah mulai dilaksanakan dan membuat industri pers menjadi industri yang sehat dalam kompetisi.

Ini mudah dirumuskan tapi sulit dipraktikkan, artinya masih perlu perjuangan berat dan panjang untuk mencapai kebebasan pers yang paling hakiki. Pe-merintah dan masyarakat sebagai faktor eksternal juga sangat menentukan.
Misalnya ketika perilaku koruptif masih tumbuh subur maka sangat mungkin pers pun terkena imbasnya.

Pelaku pers dan insan wartawan seharusnya me-nyadari tentang masih tingginya kepercayaan dan harapan masyarakat terhadap lembaga pers. Ini adalah modal besar untuk terus melakukan pembenahan. Para pemilik media pastilahmenyadari bahwa bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Jadi ancaman kebebasan pers adalah musuh kita bersama. ●

◄ Newer Post Older Post ►