Prahara Demokrat
Laode Ida, WAKIL KETUA DPD
Sumber : KOMPAS, 8 Februari 2012
Publik negeri ini terus ”dipaksa” menonton prahara memprihatinkan dan memuakkan, yakni kelakuan para politisi, pejabat negara, dan relasi-relasi mereka yang berkonspirasi ”merampok” uang negara.
Lebih merisaukan lagi, pelaku-pelaku kuncinya atau terindikasi terlibat umumnya berasal dari partai politik barisan penguasa. Betapa tidak. Setelah sebelumnya M Nazaruddin (Bendahara Umum Partai Demokrat/PD) sudah terlebih dulu menjadi tersangka, menyusul Angelina Sondakh (PD), I Wayan Koster (PDI-P, sudah dicekal), dan sejumlah politisi lain, termasuk Anas Urbaningrum (Ketua Umum PD), yang masuk dalam daftar nama yang disebut sejumlah saksi di persidangan.
Pihak PD, termasuk Ketua Dewan Pembina PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tampak risau dengan terbongkarnya kejahatan sejumlah oknum penyelenggara negara itu. Sebab, tak mungkin lagi menghindar, mengelak, atau menutup-nutupinya karena semua sudah terbuka.
Kendati demikian, dan ini terasa ironis, SBY sebagai penentu kebijakan tertinggi tampak masih sangat gamang, membiarkannya berlarut-larut alias tidak bersikap tegas dengan segera meminta mundur atau memberi sanksi para kadernya yang sudah terindikasi korupsi. Posisi yang diambil SBY, seperti biasa, menyerahkannya kepada mekanisme hukum; suatu sikap paling mudah bagi figur yang tidak ingin menyelesaikan masalah secara langsung kendati memiliki kewenangan mutlak untuk itu.
Menguras Energi
Dengan sikap pembiaran seperti itu sebenarnya telah secara langsung memperberat beban bagi SBY. Soalnya, di satu pihak ia dihadapkan berbagai masalah bangsa yang datang silih berganti, seperti kasus Mesuji, Bima, Papua, GKI Taman Yasmin Bogor, serta korupsi di sejumlah daerah dan instansi pusat. Di pihak lain, ia pun harus menguras energi memikirkan prahara dan kegaduhan dalam parpol yang didirikannya, yang memang terus berlanjut akibat tiadanya sikap tegas dari SBY.
Posisi atau sikap seperti itu, secara psiko-politik, tentu saja bisa dipahami. Pertama, jika penentu kebijakan di parpol bersikap proaktif melakukan gerakan pembersihan dari kader-kader busuk nan jahat, jelas akan berimplikasi pada keretakan internal atau pecah kongsi. Padahal, tak mustahil mereka yang terindikasi terlibat korupsi atau mafia itu berkontribusi besar dalam pendanaan parpol atau bahkan mungkin mendapat ”penugasan khusus” dari parpolnya.
Kedua, terkait dengan politik mengulur waktu untuk konsolidasi meskipun pada akhirnya akan juga mengikhlaskan teman-teman separtai (yang sudah diketahui publik sebagai terkait) digiring ke kursi pesakitan. Strategi ini mengarah pada upaya saling mengamankan atau melokalisasi figur yang terlibat agar tak melebar ke figur-figur lain.
Pada saat yang sama, juga dilakukan pendekatan melalui jalur-jalur informal dengan pihak penegak hukum yang akan menangani. Tentu saja dalam rangka meringankan hukuman sekaligus menyiasati agar proses dan materi investigasi terfokus pada oknum yang sudah telanjur masuk perangkap hukum itu.
Pihak parpol penguasa sudah pasti tak akan kesulitan memainkan strategi kedua ini karena begitu banyak kaki tangan atau instrumen yang bisa dimainkan. Sebagian pengacara dan jaringan mafia hukum juga akan menjadikannya lahan basah sehingga akan memanfaatkan atau menggarapnya secara maksimal.
”Maling berdasi”, seperti halnya dimainkan oleh sebagian oknum politisi di parlemen dan di instansi pemerintah, memang memiliki akumulasi harta hasil ”rampokannya”. Sebagian akan digunakan untuk ”dibagi” dengan para mafia peradilan dalam rangka meringankan hukuman.
Sudah bukan rahasia lagi kalau putusan pengadilan di negeri ini, juga tetap berpotensi terjadi di KPK, sebagiannya merupakan buah dari transaksi di luar pengadilan. Tak usah heran kalau para terdakwa tidak terlalu lama berada dalam ”hotel prodeo”, di mana setelah bebas pun masih bisa hidup mewah bersama keluarga menikmati sisa hasil korupsi.
Pembenahan Mendasar
Risiko yang harus ditanggung oleh PD sekarang, memang, harus rela kehilangan popularitas dan kredibilitas di mata publik.
Maka, tak heran kalau hasil jajak pendapat terakhir menempatkan PD di peringkat ketiga setelah Golkar dan PDI-P. Ini penurunan signifikan sekaligus wujud kegagalan SBY dan Anas Urbaningrum dalam memimpin dan mengendalikan parpol pemenang Pemilu 2009. Pada saat yang sama, fenomena seperti itu juga menunjukkan bahwa rakyat sebenarnya sudah cenderung menolak parpol penguasa yang hanya menjadi kendaraan bagi politisi yang haus harta.
Hanya saja, tampaknya derajat kesadaran SBY untuk menciptakan parpol yang bersih masih sangat rendah, tak kunjung terketuk hatinya untuk melakukan introspeksi dan pembenahan secara mendasar. ●