Melawan Entropi Budaya


Melawan Entropi Budaya
Ary Ginanjar Agustian, PENDIRI ESQ LEADERSHIP CENTER
Sumber : JAWA POS, 11 Februari 2012


ADAyang menarik dari hasil sebuah survei yang diumumkan Juli 2006 oleh Leicester University, Inggris, tentang negeri Bhutan. Berdasar Peta Kebahagiaan Dunia, disimpulkan bahwa kebahagiaan rakyat Bhutan secara global berada pada peringkat kedelapan tertinggi. Negeri Bhutan menjadi perhatian dunia karena 97 persen rakyat negara di dekat Himalaya tersebut merasa diri mereka berbahagia, dengan 45 persen di antaranya merasa ''sangat berbahagia''.

Pendapatan per kapita hanya USD1.400, namun peringkatnya 9 level lebih tinggi dibanding AS yang memiliki pendapatan per kapita USD 41.800. Hal itu membuat tingkat kepuasan penduduk Bhutan berada dalam kelompok 10 persen tertinggi di dunia berdasar Happy Planet Index.

Lembaga riset Barrett Values Centre yang membuat peta nilai-nilai individu, organisasi, dan negara mengukur entropi (derajat ketidakteraturan) budaya Bhutan. Ternyata, angkanya sangat kecil, yaitu kurang dari 4 persen. Bhutan menjadi salah satu negara yang memiliki entropi terkecil di dunia.

Di sisi lain, Barrett juga melakukan penelitian di beberapa negara lain. Di Islandia, penelitian dilakukan pada Agustus 2008. Hasilnya, entropi budaya di Islandia sangat tinggi, lebih dari 54 persen. Ternyata, sebulan kemudian, Islandia mengalami kebangkrutan ekonomi. Agustus 2007, dilakukan penelitian terhadap rakyat Latvia, entropi budayanya juga mencapai 54 persen. Dua bulan kemudian, terjadi huru-hara dan pemerintahan Latvia pun jatuh.

Yang dimaksud budaya dalam hal ini bukanlah kesenian, tapi kumpulan karakter sebuah organisasi, lembaga, perusahaan, atau bahkan bangsa. Apa yang dimaksud entropi?

Dalam ilmu fisika diketahui bahwa jumlah energi yang dihasilkan sebuah mesin adalah sama dengan jumlah energi yang dimasukkan ke dalamnya. Namun, jika ada kerusakan komponen mesin, sebagian energi akan digunakan untuk mengatasi kerusakan tersebut. Energi itu dinamakan entropi.

Contoh pada kendaraan, sebuah mobil dengan seliter bensin dapat menempuh jarak 10 km. Namun, ketika beberapa komponen rusak seperti aus, berkarat, atau tersumbat, dengan seliter bensin itu, mobil tersebut hanya mampu menempuh 5 km. Setengah energi yang seharusnya digunakan untuk menempuh 5 km lagi dipakai untuk mengatasi kerusakan sistem. Dengan kata lain, entropi mobil tersebut menjadi 50 persen.

Ternyata, hal itu juga berlaku pada organisasi, instansi, atau perusahaan swasta maupun pemerintah, bahkan negara. Jumlah energi yang dihasilkan sebuah organisasi sama dengan jumlah energi yang dimasukkan ke dalamnya. Ketika gangguan dalam organisasi meningkat, misalnya karena birokrasi, hierarki, kompetisi internal, ketidakjujuran, saling menyalahkan, atau komunikasi tertutup, energi karyawan untuk melakukan pekerjaan harus meningkat. Energi tambahan itu disebut ''entropi budaya''. Padahal, energi yang digunakan dalam mengatasi entropi budaya adalah energi yang seharusnya untuk menghasilkan, tapi menjadi terbuang percuma.

Contoh dalam lingkup korporasi atau instansi, besarnya biaya dan energi karyawan yang dapat berkontribusi ke perusahaan akan bergantung pada tinggi rendahnya entropi budaya. Ketika entropi rendah, energi karyawan yang tersedia untuk melakukan pekerjaan produktif menjadi tinggi sehingga kinerja perusahaan menjadi tinggi. Sebaliknya, ketika entropi budaya tinggi, energi karyawan yang tersedia untuk melakukan pekerjaan menjadi rendah, sehingga kinerja perusahaan pun rendah.

Entropi budaya terdiri atas tiga unsur. Pertama, faktor-faktor yang memperlambat organisasi dan mencegah pengambilan keputusan yang cepat: birokrasi, hierarki, ketidakjelasan, pertengkaran, dan kekakuan. Kedua, faktor-faktor yang mengakibatkan gesekan antaranggota: persaingan internal, menyalahkan intimidasi, dan manipulasi. Ketiga, faktor-faktor yang mencegah anggota dari kerja secara efektif: kontrol berlebihan, terlalu berhati-hatian, mikro-manajemen berlebih, fokus jangka pendek, dan teritorialisme.

De-entropi-sasi Budaya

Di Indonesia, istilah entropi budaya belum begitu dikenal. Padahal, gejala tiga unsur entropi tersebut tampak di mana-mana. Namun, ada fenomena menarik sehubungan dengan pengangkatan Dahlan Iskan sebagai menteri BUMN.

Kali pertama bertemu, saya menyapa dengan sebutan ''Pak Menteri''. Beliau langsung menukas, ''Nama saya Dahlan Iskan, jangan panggil saya menteri!''

Perjalanan ke suatu tempat dilakukan tanpa pengawalan. Bahkan, Dahlan tidak mau menggunakan fasilitas voorijder (pembuka jalan). Dalam perjalanan ke luar kota tersebut, rombongan kami sempat malah diminta minggir, mengalah.

Ketika acara dimulai bersama jajaran Dirut BUMN, seperti pada umumnya, pembawa acara (MC) membuka acara dengan sambutan pendahuluan yang penuh basa-basi. Dahlan langsung memotong, ''Sudah, langsung saja pada inti pembicaraan!''

Menurut stafnya, Dahlan Iskan tidak pernah memfungsikan bel di meja kerjanya untuk memanggil sekretarisnya. Dia antarkan sendiri surat-surat yang sudah ditandatangani langsung ke meja sekretarisnya.

Cara komunikasi terus terang, apa adanya, egaliter, dan sangat membuka jalur komunikasi tentu saja sangat efisien dan cepat serta memudahkan dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Gaya berpakaian Dahlan pun sangat bersahaja, simpel, serta efisien. Dalam acara resmi sekalipun, dia tidak menggunakan dasi dan jas mahal. Cukup kemeja dengan sepatu ketsnya yang membuatnya gesit bergerak.

Apa yang saya tangkap dan tercermin dari sikap Dahlan Iskan adalah sebuah pesan tanpa pidato untuk mengikis birokrasi yang mengungkung, kekakuan yang membeku, dan jalur komunikasi yang tersumbat yang sesungguhnya merupakan bagian dari tiga unsur entropi yang melanda negeri ini. Sebuah pesan di balik sepatu kets dan kemeja putih. Semua itu bukanlah tontonan unik, tapi sebuah pesan untuk jajaran BUMN dan bahkan negara ini yang sudah lelah dengan entropi budaya. ●
◄ Newer Post Older Post ►