Polemik Pengadaan Persenjataan Militer


Polemik Pengadaan Persenjataan Militer
Neta S Pane, PEMERHATI PERSENJATAAN TNI-POLRI DAN KETUA PRESIDIUM
INDONESIA POLICE WATCH
Sumber : KOMPAS, 7 Februari 2012


Rencana TNI membeli 100 tank Leopard bekas dari Belanda menimbulkan polemik panjang. Polemik ini sesuatu yang wajar mengingat pembelian tank tersebut menghabiskan uang negara triliunan rupiah.

Siapa pun pasti setuju jika TNI melengkapi diri dengan alat utama sistem persenjataan mutakhir. Sebab, TNI yang tangguh menjadi sebuah harapan. Hanya saja, pembelian persenjataan militer perlu berorientasi pada lima hal agar tepat guna, efisien, dan efektif dalam mendukung sistem pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pertama, harus berorientasi pada kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Artinya, persenjataan yang dibeli dapat dengan mudah dan cepat dimobilisasi serta berpindah dari satu pulau ke pulau lain.

Kedua, disesuaikan dengan medan dan kontur tanah Indonesia yang terdiri dari pantai-pantai berlumpur, hutan, bukit terjal, rawa, dan persawahan. Tujuannya agar peralatan tersebut dinamis dan taktis dalam menjaga, mengawal, ataupun menjelajahi seluruh wilayah NKRI.

Ketiga, diarahkan untuk mengimbangi kekuatan persenjataan militer negara tetangga. Meski Indonesia bukan negara agresor, secara faktual musuh terdekat adalah negara tetangga.

Keempat, pembelian persenjataan militer diupayakan mengarah ke alih teknologi. Tujuannya agar kelak suatu waktu Indonesia dapat memproduksi peralatan militer secara mandiri.

Kelima, disesuaikan dengan anggaran perawatan, pemeliharaan, dan operasional yang dicanangkan TNI. Hanya dengan demikian persenjataan yang dibeli tetap terawat dan dioperasionalisasi secara maksimal.

Jadi Besi Tua

Selama ini ada kebiasaan buruk yang terpelihara dalam pembelian persenjataan militer, yakni paket pembeliannya tidak pernah lengkap dan utuh. Keterbatasan anggaran selalu jadi alasan. Kebiasaan buruk lain adalah dalam hal perawatan. Lagi-lagi alasannya dana yang sangat terbatas.

Dalam pembelian pesawat M-17, misalnya, 10 pesawat tidak punya GPS. Lima pesawat M-35 yang dibeli tak ada rudalnya. Puluhan mortir buatan RRC yang dibeli ternyata tidak bisa dipakai. Begitu juga belasan rudal Rapier tidak bisa dimaksimalkan karena tak ada radar. Tragisnya, belasan kendaraan tempur Panhard yang dibeli belum lama ini tidak dilengkapi radio, senjata, ataupun kunci roda. Bahkan, 200 jip eks RRC yang dibeli ditolak Kostrad karena tidak sesuai spesifikasi.

Kebiasaan buruk itu menyebabkan peralatan militer TNI kerap tak dapat dioptimalkan dan akhirnya telantar jadi besi tua.

Saat ini TNI sebenarnya punya 1.106 tank dan panser. Dari jumlah itu hanya seperempat yang masih punya aki. Selebihnya, akinya soak dan tak bisa dioperasionalkan. Tank Scorpion, radionya banyak yang rusak. Kondisi ini makin parah tatkala melihat 39 kapal perang eks Jerman Timur yang jadi besi tua atau tiga dari 10 pesawat Sukhoi tidak bisa terbang. Kendaraan tempur Unimog juga banyak yang rusak.

Sistem perawatan yang buruk membuat peralatan yang ada tak terjaga maksimal. Biaya perawatan yang minim membuat standar perawatan tidak bisa dilakukan.

Di sisi lain, proses pembelian yang diduga sarat KKN membuat persenjataan TNI kerap jadi korban ”bagi-bagi komisi” dan mark up. Proses pengadaannya masih dianggap sebagai tambang emas oleh sebagian pihak.

Pengawasan Ketat

Dalam pengadaan persenjataan militer sudah saatnya bangsa ini mengawasi secara ekstra ketat. Tujuannya agar pengadaan peralatan yang menghabiskan puluhan triliun rupiah tidak mubazir. Sudah saatnya pula TNI, pemerintah, dan DPR menetapkan skala prioritas. Sangat ironis jika TNI punya peralatan tempur, tetapi nihil amunisi.

Untuk melatih seorang penembak tank agar mahir, misalnya, TNI perlu 30 peluru, padahal standar NATO 120 peluru. Namun, faktanya prajurit TNI hanya diberi tiga peluru. Minimnya jatah peluru itu karena TNI tak punya stok amunisi yang memadai.

Kondisi ini sangat memprihatinkan. Perlu ada audit dan evaluasi, baik oleh pemerintah, DPR, maupun TNI. Dengan adanya audit, TNI akan lebih mudah membuat pemetaan persenjataan secara jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam jangka pendek, ukuran pembelian bukanlah kuantitas, melainkan kualitas, dan senantiasa disinergikan dengan peralatan yang sudah ada.

Jumlah yang dibeli pun tidak perlu banyak, tetapi yang utama aspek dan memiliki daya dukung dengan persenjataan yang ada. Hanya dengan begitu peralatan tersebut efisien dan efektif serta tidak menoreh polemik panjang, sekaligus membawa manfaat bagi sistem pertahanan bangsa. ●

◄ Newer Post Older Post ►