Globalisasi dan Upah Minimum


Globalisasi dan Upah Minimum
Razali Ritonga, DIREKTUR STATISTIK KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN BPS RI
Sumber : REPUBLIKA, 11 Februari 2012


Era globalisasi yang kini tengah ber langsung ternyata membawa dampak besar dalam per ubahan sosial ekonomi. Di bidang ekonomi, misalnya, globalisasi menyebabkan perubahan dalam pasar tenaga kerja hampir di semua negara.

Boleh jadi diskursus sistem pengupahan dengan upah minimum yang diterapkan saat ini semakin tidak relevan pada masa yang akan datang. Sebab, perubahan pengupahan akan mengikuti perubahan dalam pasar tenaga kerja.

Maka, atas dasar itu, pemerintah perlu melakukan kajian saksama atas dampak globalisasi terhadap perubahan pasar tenaga kerja dimaksud. Keterlambatan akan kajian itu akan memperburuk kondisi ketenagakerjaan di Tanah Air.

Pasar Tenaga Kerja

Deeringer dan Piore (1971) membagi pasar tenaga kerja atas empat sektor, yaitu primer, sekunder, informal, dan ilegal. Pembagian tersebut didasarkan pada status pekerjaan, regulasi, upah, dan pajak pendapatan.

Sektor primer umumnya ditandai dengan tenaga kerja berstatus kerah putih (white collar), memiliki izin usaha, menerapkan sistem pengupahan dan kondisi ketenagakerjaan yang tertata baik, serta membayar pajak perusahaan dan pajak pendapatan buruh.

Sektor sekunder diklasifikasikan pada tenaga kerja kerah jingga (pink collar), yakni kombinasi antara kerah putih dan kerah biru (blue collar), memiliki izin usaha, regulasi yang belum tertata baik, tapi membayar pajak perusahaan dan pajak pendapatan buruh.
Sektor informal umumnya dikategorikan pada pasar tenaga kerja yang mayoritas tenaga kerjanya tidak dapat mengakses sektor primer dan sekunder. Sedangkan sektor ilegal ditandai pada pasar tenaga kerja yang pekerjanya pada kegiatan kriminal, seperti pelacuran, perjudian, penyelundupan, perdagangan narkotika, dan pembalakan liar hutan.

Hampir dapat dipastikan setiap negara memiliki keempat sektor itu, namun dengan skala yang berbeda. Sebelum era globalisasi berlangsung, suatu negara dengan skala besar pasar tenaga kerja di sektor primer dapat dikategorikan sebagai negara maju. Sedangkan sektor sekunder sebagai negara transisi dari berkembang ke ne gara maju, dan sektor informal berkutat di negara-negara berkembang. Sementara pasar tenaga kerja sektor ilegal membiak di negara miskin dengan penegakan hukum yang lemah.

Dari sisi pengupahan, tingkat upah umumnya mengikuti keempat sektor itu. Tingkat upah di sektor primer merupakan yang tertinggi berdasarkan regulasi yang menjadi acuan usaha dan perusahaan.

Tingkat upah kemudian lebih rendah pada sektor sekunder. Meski tingkat upah sektor ini telah ditetapkan berdasarkan regulasi, namun penerapannya kerap tidak sesuai sehingga rawan konflik. Indonesia termasuk dalam kategori ini, termanifestasi dari unjuk rasa yang kerap dilakukan buruh.

Selanjutnya, tingkat upah di sektor informal umumnya berada di bawah upah minimum dan ditentukan bukan dengan regulasi, melainkan dengan kesepakatan antara pengusaha dan buruh (bipartit). Kemudian, tingkat upah di sektor ilegal sulit diketahui mengingat aktivitasnya beraliansi tindakan kriminal.

Efisiensi Versus Upah Minimum

Namun, pada era globalisasi penggolongan upah menurut kategori itu diperkirakan mengalami perubahan. Perubahan terutama menimpa negara dengan penerapan regulasi yang lemah dalam pendirian perusahaan dan penetapan upah minimum.

Era globalisasi juga bisa dimaknai dengan kompetisi antarnegara, khususnya kompetisi dalam kegiatan ekonomi. Untuk memenangkan persaingan ditentukan oleh tingkat daya saing.
 
Semakin tinggi tingkat daya saing suatu negara akan semakin besar peluang untuk memenangkan kompetisi dalam pasar global.

Aspek terpenting dalam bersaing di kegiatan ekonomi itu adalah efisiensi. Semakin besar efisiensi biaya ekonomi akan semakin besar potensi memenangkan persaingan karena biaya produksi barang dan jasa yang semakin murah.

Salah satu faktor penting penentu efisiensi adalah upah buruh karena upah buruh yang semakin murah akan memberikan kontribusi yang semakin besar dalam menurunkan biaya produksi. Maka itu, dengan mencermati perubahan dengan basis efisiensi itu, diperkirakan struktur pasar tenaga kerja akan mengerucut ke sektor informal.

Secara faktual, sektor informal akan memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan sektor formal. Tingginya daya saing sektor informal karena biaya produksi yang lebih murah, yang tidak hanya disebabkan upah buruh murah, tapi juga terbebasnya sektor ini dari biaya lain yang menjadi hak buruh, seperti uang pesangon serta absennya perusahaan dari kewajiban membayar pajak usaha.

Terjadinya fenomena ini tentu sangat merugikan karena akan menyeret buruh ke dalam jurang kemiskinan akibat tingkat upah yang cenderung semakin rendah.
Celakanya, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi untuk meningkatkan upah buruh. Sebab, sektor informal belum dilibatkan dalam penetapan upah minimum. Diketahui, penentuan upah minimum masih dalam lingkup formal dengan melibatkan tripartit, yaitu pemerintah, serikat pekerja, dan dunia usaha.

Meski demikian, untuk mencegah degradasi upah buruh dalam era globalisasi ini, pemerintah masih dapat melakukan dua hal.  Pertama, menerapkan sistem upah minimum tidak hanya untuk sektor formal, tapi juga sektor informal. Kedua, memudahkan persyaratan perizinan untuk mendirikan usaha formal, serta membantu pengembangan usaha formal berskala mikro dan kecil.

Berbagai upaya kiranya diperlukan guna menyelamatkan nasib buruh dari keterpurukan akibat upah yang rendah. Kehadiran era globalisasi suka atau tidak suka memang harus diterima sebagai konsekuensi dari perubahan zaman. Sebab, menutup pintu dari arus globalisasi itu akan terkucilkan. Meski demikian, kita harus cerdas untuk menyiasatinya agar tidak menjadi korban arus globalisasi. ●

◄ Newer Post Older Post ►