Menyelamatkan Martabat DPR dan Profesi Politisi


Menyelamatkan Martabat DPR dan Profesi Politisi
Vishnu Juwono, KANDIDAT DOKTOR BIDANG SEJARAH INTERNASIONAL DI LONDON SCHOOL OF ECONOMICS AND POLITICAL SCIENCE (LSE), LONDON, INGGRIS, SEBAGAI JARDINE SCHOLAR
Sumber : SINDO, 8Februari 2012


 
Ketua Komisi PemberantasanKorupsi( KPK) Abraham Samad baru saja mengumumkan bahwa Angelina Sondakh sebagai tersangka kasus Wisma Atlet serta I Wayan Koster dicekal untuk perjalanan ke luar negeri.

Bisa dikatakan ini menjadi salah satu momen semakin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini karena keduanya mewakili dua partai besar, yaitu pendukung utama pemerintah yakni Partai Demokrat serta partai oposisi terbesar yaitu Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP).

Penetapan tersangka terhadap anggota DPR yang melibatkan hampir seluruh anggota partai baik dari pihak pendukung pemerintah serta oposisi bukan yang pertama kali. Sebelumnya KPK juga menetapkan tersangka Miranda S Goeltom mantan pejabat tinggi Bank Indonesia sebagai tersangka dalam kasus cek pelawat.

Dalam rangkaian kasus itu beberapa anggota DPR baik yang masih aktif maupun sudah tidak aktif lagi yang berasal dari partai pendukung maupun oposisi pada periode 1999-2004 divonis bersalah oleh pengadilan tindak pidana korupsi. Namun, melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud membahas teknis hukum.

Yang ingin saya analisis melalui tulisan ini adalah apakah yang menyebabkan institusi DPR mempunyai image yang buruk di masyarakat terutama melalui pemberitaan- pemberitaan media khususnya selama lima tahun terakhir ini.Harapannya mencari solusi untuk memperbaiki serta menyelamatkan badan negara yang mempunyai peranan penting dalam menjaga kelangsungan sistem demokrasi di Indonesia ini.

Tekanan Situasi

Seperti yang kita ketahui pada masa Orde Baru, kekuatan sangat berpusat pada eksekutif. Anggota DPR dipilih setelah melalui proses seleksi latar belakang yang ketat dilakukan oleh ABRI (saat ini bernama TNI), serta aparat eksekutif yang menjadi instrumen pendukung kekuasaan Presiden Soeharto. Hasilnya, tidak mengherankan bahwa DPR pada masa Orde Baru tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan selayaknya badan legislatif secara optimal.

Namun, dengan berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada 1998 dorongan untuk memberdayakan peranan Dewan Perwakilan Rakyat semakin besar. Melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah dielaborasi secara gamblang pada Pasal 20 A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (yang merupakan hasil amendemen kedua) bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, serta pengawasan.DPR memiliki wewenang yang jauh lebih besar dari sebelumnya.

Namun, seperti yang kita ikuti melalui berbagai berita di media bahwa wewenang yang lebih besar dari parlemen tersebut tidak diikuti kinerja yang membaik dari para sebagian anggota DPR. Sebaliknya, terdapat persepsi dari masyarakat bahwa anggota DPR menggunakan wewenang tersebut untuk kepentingan kelompok atau bahkan untuk memperkaya diri.

Masalah besar dari kelemahan kualitas anggota DPR menurut penulis adalah dimulai pada sistem rekrutmen kandidat anggota DPR.Sistem pemilu proporsional terbuka sejak2009 merupakan kemajuan di mana masyarakat dapat memilih langsung kandidat yang diajukan partai politik. Namun, kandidat harus menghadapi politik biaya tinggi yang miliaran rupiah.

Akibatnya yang mampu menjadi kandidat adalah yang memiliki dana besar atau yang mempunyai tingkat popularitas tinggi. Dalam skenario yang sangat ekstrem hanya kandidat berlatar belakang pengusaha, pengacara, serta artis bintang televisi atau musik yang populer yang pada akhirnya dapat maju dan mendapat dukungan partai politik (parpol) untuk menjadi anggota DPR.

Tentu saja bila mengacu pada politisi di negara lain seperti di Amerika Serikat ada contoh kasus di mana mantan bintang film yang dapat mencapai sukses gemilang di dunia perpolitikan seperti almarhum Presiden Ronald Reagan pada 1981–1989. Namun perlu diingat bahwa Presiden Reagan telah malang melintang di dunia perpolitikan Amerika Serikat selama puluhan tahun di antaranya menjadi Gubernur California pada 1967–1975.

Pembiayaan parpol saat ini juga menjadi permasalahan krusial.Diperkirakan dana operasional partai politik untuk mencakup seluruh wilayah Indonesia mencapai ratusan miliaran rupiah. Dengan demikian, anggota DPR yang juga merupakan pengurus parpol ditekan untuk menggalang dana operasional dengan menggunakan otoritasnya sebagai anggota DPR tidak terhindarkan. Kesalahan tentu saja tidak bisa dilimpahkan sepenuhnya kepada anggota DPR. Diperlukan aturan hukum yang jelas mengenai mekanisme yang legal untuk penggalangan dana parpol.

Melangkah ke Depan

Mengacu pada survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Mei 2011,mayoritas masyarakat Indonesia (77,3%) mendukung sistem demokrasi serta percaya bahwa sistem demokrasi dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa (sebanyak 67,9%). Sistem demokrasi di sini tentu saja di antaranya lembaga DPR yang menjalankan fungsi secara benar dalam mengawasi eksekutif.

Merupakan tugas bersama,terutama para anggota DPR periode ini,untuk merawat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap sistem demokrasi. Saya percaya bahwa sebagian besar pimpinan parpol serta pimpinan dan anggota DPR periode 2009–2014 pada dasarnya masih mempunyai keinginan untuk meninggalkan karya di masa tugas mereka sehingga akhirnya dapat dikenang dan diingat oleh generasi penerus bangsa Indonesia.Untuk itu, mereka harus mencari solusi terhadap masalah rekrutmen kader politik serta pembiayaan parpol.

Dengan begitu,anggota DPR periode 2009–2014 serta pimpinan parpol saat ini mempunyai potensi untuk dikenang sebagai peletak fondasi dari sistem politik yang menghasilkan kembali politisi-politisi Indonesia yang mempunyai kaliber hebat seperti para founding fathers bangsa kita seperti Presiden Soekarno,Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sjahrir, serta Perdana Menteri Mohammad Natsir.

◄ Newer Post Older Post ►