Buruk Muka, Pers Jangan Dibelah


Buruk Muka, Pers Jangan Dibelah
S Sinansari Ecip, PERNAH MEMIMPIN KOMISI PENYIARAN INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 9 Februari 2012


Pers adalah cermin masyarakat. Bagian-bagian penting yang terjadi di tengah masyarakat akan tampak di dalam pers.

Lembaga pers dengan media massanya melalui mekanisme saringannya, baik yang umum maupun yang khusus, akan memilih bagian-bagian yang dianggap penting tersebut. Itulah yang lebih kurang dikatakan Walter Lippmann: ”pers menampilkan sesuatu seperti yang disorot lampu senternya”.

Indonesia sudah 20-an tahun memasuki masa media massa baru atau media massa alternatif, bersamaan dengan maraknya internet. Beberapa koran mempunyai edisi online. Beberapa situs berita lahir. Media tradisional, yaitu media cetak dan radio/TV, terikat pada kekuasaan formal. Mereka tunduk pada aturan formal yang dikontrol penguasa.

Kelahiran media massa bawah tanah memperkuat kehadiran situs berita. Menjelang jatuhnya Presiden Soeharto, kita tentu ingat ada dua situs berita bawah tanah yang menonjol: Tempointeraktif dan Apakabar. Isinya kritik-kritik kepada kekuasaan dan berita-berita terbaru yang tak muncul di media tradisional itu.

Media alternatif itu punya kelebihan, terutama kecepatan dalam pemberitaannya. Acap terjadi karena pengutamaan kecepatan, ketepatan dikeduakan. Teknologi memberi kemudahan memperbaiki berita yang kurang tepat pada menit kedua. Akurasi dikesampingkan. Dalam jurnalisme, akurasi sangat penting. Caranya: melakukan konfirmasi atau verifikasi atau istilah yang lebih populer cek-ricek. Idealnya pemberitaan di situs berita adalah cepat dan tepat.

Kepemilikan Silang

Di banyak negeri yang sudah lebih dulu maju, kepemilikan media tak mengunggulkan satu jenis media, kepemilikan silang. Satu grup perusahaan mempunyai ko- ran, radio, TV, dan situs berita. TV adalah media yang paling ku- rang interaktif. Pemirsa TV kurang bisa berinteraksi aktif. Itu kontradiktif dengan kepopuleran siaran TV yang sekarang ini jumlahnya paling banyak ketimbang khalayak media lain. Stasiun TV seolah-olah menjadi penguasa dan khalayaknya adalah yang mereka kuasai.

Di Indonesia juga demikian. Harian Kompas mempunyai banyak koran di daerah, kebanyakan dengan menggunakan nama Tribun. Radio juga berkembang dengan jaringan Sonora. TV memanfaatkan berbagai jaringan TV lokal. Situs beritanya juga lumayan.

Grup Jawa Pos punya banyak koran daerah dengan mengangkat nama Radar, Pos, Ekspres, dan lain-lain. Tiras koran di Jakarta turun, tetapi tiras anggota Grup Jawa Pos di daerah naik dengan harga stabil. Pesaing yang berharga rendah sulit menaikkan tiras karena itu akan berakibat subsidi bertambah. Radio belum banyak. Jaringan TV lokal belum kuat, tetapi JTV di Surabaya sangat fenomenal dengan logat bahasa Surabaya yang kental. Situs beritanya juga lumayan.

Media Indonesia—dan sedikit koran daerah—punya Metro TV. Dalam kaitan Partai Nasdem, Surya Paloh diperkuat oleh bos RCTI, Hary Tanoesoedibjo. Sulit dihindari orang menduga bahwa keduanya akan didukung tambahan media karena ada anggota kelompok Global TV dan eks-TPI, jaringan radio Tri Jaya, dan koran Seputar Indonesia.

TransTV dan Trans7 adalah kekuatan baru. Kedua stasiun TV ini berada di papan atas karena perkawinan pemodal dan profesional yang tepat. Mereka mengutamakan program produksi sendiri. Situs berita Detik.com yang sangat kuat dibeli kelompok ini kemudian dikembangkan menjadi media-media yang lebih baru di dunia maya.

TVOne adalah TV berita yang kedua dan lahir setelah Metro TV dengan memperkuat diri pada berita dan olahraga. Dalam kaitan berita harian, kedua stasiun TV ini merajai pemirsa. TVOne bersaudara dan diperkuat oleh ANTV.

Hitungan Politik

Dengan kepemilikan silang dan konglomerasi, dikhawatirkan media akan memberi informasi dengan pandangan satu sisi. Dengan perkembangan seperti itu, bukan tak mungkin akan terjadi monopoli informasi. Monopoli informasi akan membuat massa tidak demokratis karena mereka akan seperti mengenakan kaca mata kuda.

Dalam kaitan pemilu legislatif dan pemilihan presiden, pengaruh media massa sangatlah kuat. Survei-survei menjelang pemilih- an umum presiden sebagian besar adalah hasil terpaan media. Orang kemudian menghitung-hitung, siapa yang ”menguasai” media akan beroleh kemenangan. Penguasaan media di sini tidak selalu berarti memiliki media, tetapi juga dapat berarti memanfaatkan media.

Memanfaatkan media bisa dalam bentuk pemberitaan ataupun iklan. Dalam pemberitaan ada aturannya, harus berimbang, tetapi sering dalam praktik sulit terlaksana. Iklan juga harus berimbang, tetapi parpol yang kaya lebih sering tampil dibandingkan parpol yang miskin. Bawaslu, Dewan Pers, dan Komisi Penyiaran Indonesia harus bertindak lebih tegas jika ada pelanggaran.

Penulis mengambil misal sembarangan, ada lima parpol papan atas: Partai Demokrat (PD), Partai Golkar (PG), Partai Demokra- si Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Hanya PG yang ”mempunyai” media kuat (TVOne, ANTV, dan koran Suara Karya). PD hanya ”punya” koran Jurnal Nasional. PDI-P, PKS, dan PAN tak punya media umum. Partai Nasdem ”punya” Grup Metro TV dan Grup RCTI.

Untuk pemilihan umum presiden, akan lain lagi hitung-hitungannya. Calon presiden PG ”punya” TVOne, ANTV, dan Suara Karya. Jika dugaan benar, tokoh PG yang kaya dapat memanfaatkan media yang lain secara komersial. Calon presiden PD belum diketahui, mungkin akan memanfaatkan Grup Jawa Pos dan TransTV karena Dahlan Iskan jadi menteri yang mungkin jadi calon wakil presiden dan Chairul Tanjung dekat dengan pemerintah sekarang.

Tentu saja kita berharap, media massa akan berlaku adil dan jujur. Pemberitaan dan ruang iklan sepantasnya berimbang, tidak ada monopoli. Media yang tidak berimbang menunjukkan dirinya tidak dewasa. Jangan masyarakat dipaksa menggunakan kacamata kuda. Sudah waktunya media massa lebih profesional.

Pada pemilu yang lalu, PD dan SBY menang tidak melulu karena pemanfaatan media massa. Mereka melakukan ”operasi bawah tanah” yang luar biasa. Konon PG akan melakukan hal yang sama dengan mengumpulkan para pensiunan perwira tinggi.

Banyak kritik terhadap pers, yaitu media massa yang menyajikan kemasan informasi dalam karya jurnalisme. Kekuasaan dijadikan sasaran kritik supaya mereka menggunakan kekuasaan secara tidak berlebihan.

Pemerintah bukan lagi penguasa, melainkan pelayan untuk kepentingan rakyat. Manakala pemerintah merasa menjadi bulan-bulanan pers, pertama-tama pemerintah harus bercermin. Jika yang terpampang di cermin buruk, jangan pers dibelah atau dihancurkan. Pers sepantasnya dipelihara bersama, disehatkan. ●
◄ Newer Post Older Post ►