Media dan Kekuasaan
Thomas Koten, DIREKTUR SOCIAL DEVELOPMENT CENTER
Sumber : SUARA KARYA, 9Februari 2012
Dalam masa pemerintahan Presiden Yudhoyono ini, sudah cukup sering terdengar keluhan atau kritikan kekuasaan terhadap media massa yang dinilai tidak berimbang dalam mengemas pemberitaan. Misalnya, pemberitaan tentang suap dan korupsi yang menimpa sejumlah kader Partai Demokrat. Dalam kasus tersebut, pers dinilai begitu gencar memberitakannya melampaui pemberitaan dalam kasus-kasus hukum lainnya. Bahkan, ada media yang dinilai hanya gemar melakukan kritik terhadap ketidakberhasilan pemerintahan Yudhoyono, tanpa menyampaikan sisi-sisi keberhasilan.
Karena merasa gerah dengan kritikan tajam media tersebut, kadang-kadang kritikan pemerintah itu berubah menjadi kecaman. Itu pernah terjadi di awal tahun ini tatkala Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengancam akan memboikot media yang selalu mengeritik pemerintah untuk tidak mendapatkan iklan dari instansi pemerintah. Ironisnya, media yang rajin mengeritik pemerintah juga diancam tidak diberi informasi, dan orang-orang yang diundang untuk diwawancarai dalam prime time pun dilarang datang.
Apa yang terlihat kemudian adalah, serangan balik media terhadap kritik pemerintah pun dilancarkan. Media yang di era otoriter-militeristik Orde Baru selalu merasa dibelenggu atau dikerangkeng oleh sepak terjang kontrol kekuasaan, tentu tidak mau lagi terperangkap oleh kekuasaan yang menakutkan tersebut. Sebaliknya, kekuasaan yang merasa diri semakin tidak nyaman di era demokrasi dan pers bebas ini tentu juga tidak mau terus menerus diusik oleh pisau kritik media yang terkadang memang memerahkan telinga. Karena, kalau dibiarkan, bisa berakibat buruk bagi kekuaaan. Bagaimana membedah masalah ini?
Kekuasaan dan Kontrol Media
Perlu dicatat bahwa kekuasaan yang digenggam presiden adalah milik rakyat, karena kekuasaan itu didelegasikan oleh rakyat kepada presiden pada saat pemilu. Karena itu, seorang penguasa perlu terus menerus memahami bahwa kekuasaan yang sedang digenggam itu tidak bisa bebas dari kontrol dan kritik rakyat yang telah mendelegasikan kekuasaan itu kepadanya. Kontrol dan kritik rakyat kepada jalannya kekuasaan presiden adalah kewajiban rakyat. Bahkan, rakyat bisa mengambil kekuasaan itu kapan saja, tatkala melihat bahwa kekuasaan itu tidak sanggup dijalankan oleh sang penerima delegasi.
Jadi, meski kritik itu terasa pedas, tetapi itulah salah satu konsekuensi logis bagi seorang presiden yang telah memutuskan untuk menerima kekuasaan yang didelegasikan oleh rakyat kepadanya. Seorang penguasa tidak bisa merasakan bahwa kekuasaan yang digenggam itu merupakan milik pribadi yang harus dipertahankannya secara terus-menerus. Sehingga, ia menjadi pongah di hadapan rakyat. Dan, pers adalah sebuah media publik yang bertugas untuk menuangkan dan menyampaikan bentuk-bentuk kontrol dan kritik rakyat kepada kekuasaan, dalam hal ini presiden sebagai pemimpin eksekutif.
Di era pemerintahan otoriter, yang mendewakan kekuasaan, tentu pemerintah berusaha menghindari kritik. Sehingga, segala bentuk kritik publik pun dibungkam. Media massa dikontrol secara ketat alias kebebasan pers dibelenggu atau dikerangkeng.
Tetapi, para penguasa otoriter lupa bahwa kekuasaan yang dimilikinya tidak abadi. Yang abadi hanyalah kekuasaan milik rakyat. Keperkasaan rakyat akan merontokkan kekuasaan yang pongah. Dibangunlah demokrasi dan dikembangkan kebebasan pers agar kekuasaan yang dijalankan oleh presiden dapat dikontrol oleh rakyat sebagai pemilik kekuasaan mutlak. Itulah yang terjadi selama ini, rezim otoriter militeristik Orde Baru ditumbangkan oleh kekuatan rakyat untuk membangun kembali demokrasi dan kebebasan pers.
Dengan demikian, pemerintah hendaknya memahami bahwa media adalah perangkat rakyat untuk mengontrol dan mengeritik proses penyelenggaraan kekuasaan. Sebab itu, mengancam dan melemahkan institusi media, seperti melarang memasang iklan di media, di mana iklan merupakan nyawa penerbitan media, sama artinya dengan melemahkan hak rakyat atas informasi dan komunikasi yang deliberatif, hak politik warga negara untuk mengontrol pemerintah. Ini harus diingat selalu oleh pemerintah, terutama para pembantunya. Tugas pemerintah bukan mengkritik rakyat, tetapi berusaha agar menjalankan aspirasi rakyat.
Ingat bahwa di era globalisasi informasi atau yang disebut sebagai era digital ini, pembungkaman terhadap media hanyalah mimpi belaka. Pembungkaman terhadap media hanyalah melahirkan solidaritas protes rakyat pencinta media dan demokrasi terhadap kekuasaan. Lebih dari itu, publik akan mencari jalan lain yang bukan lagi sekadar mengkritik pemerintah atau penguasa, tetapi berusaha untuk merontokkan kekuasaan yang dianggap pongah.
Bagaimana pun media tidak bisa dibaca sebagai kekuatan buta dengan segudang idealisme kosong tanpa pijakan riil.
Media tentu punya sarat kepentingan dan etika keberpihakan demi penegakan keadilan dan perajutan kebenaran. Keberpihakan pada korban atau pihak yang lemah selalu menjadi pilihan bagi media dalam memeteraikan etikanya. Maka, tidak aneh jika media selalu berpihak pada rakyat "sebagai pihak yang lemah" dalam berhadapan dengan pemerintah yang sedang berkuasa.
Selain itu, dalam konteks sosial bernegara, keberpihakan pada penguatan civil society merupakan bagian dari misi profetis media itu. Tanpa keberpihakan pada civil society, media hanya berjuang untuk kepentingan eksistensi dirinya. Padahal, eksistensi media tidak bisa dilepaskan dari eksistensi masyarakat pembacanya.
Maka, tatkala dorongan masyarakat begitu kuat untuk membongkar kasus korupsi, penegakan supremasi hukum, penyelesaian kasus kekerasan dan lain-lain, media wajib menjembataninya. Media tampil menjalankan misi profetisnya yang meletakkan dirinya bukan sekadar sebagai corong berita, namun harus mampu mendesak pengusutan tuntas secara informatif berbagai kasus pelanggaran itu. ●