Lampu Kuning untuk Bank Eks Century


Lampu Kuning untuk Bank Eks Century
Henny Galla Pradana, WARTAWAN EKONOMI BISNIS JAWA POS
Sumber : JAWA POS, 10 Februari 2012



NAMA Bank Mutiara (PT Bank Mutiara Tbk/BCIC) yang sebelumnya adalah Bank Century kembali mencuat. Namun, kali ini Mutiara mendapat isu positif. Bank yang sepenuhnya berada di bawah kendali Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu telah mendapat penawaran menarik dari Yawadwipa Companies.

Yawadwipa Companies merupakan korporasi yang didirikan Christopher Holm. Sebelum saat ini menjadi CEO, Holm juga pernah menduduki posisi direktur di Bank of America, Merrill Lynch, dan Citigroup.

Yawadwipa mengaku memiliki dana USD 1 miliar melalui pembentukan Java Fund, yang kini tengah menunggu persetujuan otoritas pasar modal. Yawadwipa menawar Bank Mutiara hingga USD 750 juta atau hampir setara dengan nilai bailout Bank Century Rp 6,7 triliun.

Tentu, pinangan Yawadwipa terhadap Mutiara tersebut merupakan berkah, namun bila tak hati-hati bisa jadi musibah. Jika Yawadwipa yang akan membeli saham Mutiara bukan perusahaan ''beres'', itu bisa menjadi pil pahit seperti yang ditelan Century pada 2008 silam.

Dikejar Deadline

Sebagai pengingat, pada 2008, Bank Century termasuk bank gagal yang perlu di-bailout tanpa campur tangan pemegang sahamnya. Laporan keuangan pada 2008 menyebutkan, bank itu merugi Rp 7,28 triliun. Tingkat kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) minus 22,29 persen. Modal bersih tercatat minus Rp 1,5 triliun. Tingkat profitabilitas (return on asset/ROA) minus 52,09 persen dan rasio pengembalian modal (return on equity/ROE) minus 981,63 persen. Tingkat kredit macet Century sangat tinggi, yakni 10,42 persen (maksimum 5 persen).

Dua tahun setelah di-bailout, pada 2010, Bank Century yang menjadi Bank Mutiara menunjukkan pembukuan yang positif. Laba bersih Rp 217,9 miliar; CAR 11,16 persen; dan kredit macet turun di level 4,84 persen. ROA dan ROE Century masing-masing terangkat di angka 2,39 persen dan 39,55 persen. Hingga akhir 2011, laporan unaudited menunjukkan laba bersih Bank Mutiara Rp 291 miliar.

Performa bank yang semakin baik itu menjadi deadline bagi LPS. Sesuai UU Nomor 24/2004 tentang LPS, jika ekuitas atau modal bank yang di-bailout sudah menunjukkan nilai positif, LPS harus menjual sahamnya kepada pihak luar dengan nilai minimal sama dengan nilai bailout (Rp 6,7 triliun).

Berdasar pasal 42, keputusan untuk menjual saham tersebut sebenarnya harus diambil LPS tiga tahun sejak bailout, yakni pada 2011. Tapi, LPS tak mampu menemukan pembeli. Deadline LPS pun mundur dua tahun ke 2013. Penjualan Mutiara yang molor justru merugikan pemerintah. Jika tidak tuntas pada 2013, selang setahun, LPS berwenang menjual saham tanpa mempertimbangkan nilai bailout pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi tanah air yang semakin positif sebetulnya merupakan suasana baik bagi Bank Mutiara. Anggota Board of Commissioner LPS Mirza Adityaswara menyebutkan, meski masih terbilang rendah, peringkat Mutiara dalam hal coverage berada di atas BTN (bank BUMN) dan Bukopin. Per September 2011, komposisi coverage Mutiara mencapai 63,8 persen. Sementara itu, BTN dan Bukopin masing-masing hanya 41,4 persen dan 47,4 persen.

Memang, Mutiara masih kalah jauh dibanding BCA yang coverage-nya 350,3 persen atau BRI (189,5 persen). Namun, dengan berbekal coverage yang meluas, potensi pangsa pasar yang dibidik Mutiara juga semakin besar.

Belajar dari BCA

Penjualan atau divestasi bank harus melalui alur panjang dan ketat. Mulai pembukaan penawaran di surat kabar, pengumuman langsung kepada calon investor, registrasi investor, penawaran awal yang bersifat tidak mengikat, uji tuntas (due diligence) oleh calon investor, hingga penawaran akhir. Pemerintah diharapkan transparan untuk proses itu. Trauma ketidakpercayaan karena kasus Century harus menjadi pengingat.

Mari belajar dari kasus BCA sepuluh tahun silam. Sebanyak 70 persen saham bank dengan nasabah terbanyak saat itu dimiliki Grup Salim. Namun, karena krisis ekonomi 1998, terjadilah rush. BCA pun kolaps. Atas desakan IMF, pada 2001, BCA dijual. Pembelinya adalah perusahaan investasi berbasis di Mauritius, yakni FarIndo Investment Ltd yang di-back up Farallon Capital (AS).

Setelah ditelisik, FarIndo Investment Ltd ternyata merupakan perusahaan patungan FarIndo Holdings dan Alaerka Investment Ltd milik PT Djarum yang berbasis di Mauritius. Dalam hal ini, Djarum mempunyai kedekatan dengan Grup Salim lewat Salim Oleochemical. Melalui konsorsium Bhakti Investama yang di dalamnya ada Grup Wings dan Lautan Luas, Djarum membeli Oleochemical dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Karena itu, pihak yang terkait dalam penjualan saham Bank Mutiara nanti harus betul-betul mengklarifikasi lebih jauh sumber pendanaan asli Yawadwipa Companies. Sebab, ini menyangkut kepentingan publik. Jangan sampai pemilik baru Bank Mutiara adalah ''orang lama yang bermasalah''. ●

◄ Newer Post Older Post ►