Mencari Penantang Arus di Dewan


Mencari Penantang Arus di Dewan
S. Djaja Laksana, MANTAN SEKRETARIS DPRD,
ANGGOTA FORKOMKON SEKWAN SE-INDONESIA
Sumber : JAWA POS, 8Februari 2012


BERTAHUN-TAHUNmengamati anggota DPR dan DPRD sejak era reformasi, menggeluti dan berdiskusi dengan para sekretaris DPRD provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia, tersimpul bahwa perilaku para legislator daerah tidak berubah. Yakni, dalam hal syahwat akan uang dan kemewahan.

Karena itu, saya tidak lagi heran ketika Dr Syukry Abdullah SE MSi mengatakan bahwa perubahan peraturan perundangan yang mengatur kewenangan DPRD dalam penganggaran daerah dari UU Nomor 22/1999 ke UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah tidak berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legislatif.

Dalam ujian terbuka program doktor di auditorium BRI Fakultas Ekonomi Bisnis UGM Jogja belum lama ini, dengan disertasi Perilaku Oportunistik Lagislatif dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Syukry menemukan bukti empiris dari penganggaran pemerintah daerah di Indonesia. Yaitu, peraturan perundangan itu tidak dapat mengubah perilaku orpotunistik anggota DPRD. (Kedaulatan Rakyat,29 Januari).

Inkonsistensi Jujur-Peduli

Anggota DPRD yang selama ini dilihat orang "masih punya malu" untuk memboroskan uang rakyat umumnya adalah dari Fraksi PKS. Anggota FPKS DPRD Kota Tegal, misalnya, pernah menolak berangkat bersama anggota DPRD lain untuk studi banding ke Bali, karena tak jelas manfaatnya dan dinilai hanya memboroskan uang rakyat.

Demikian pula anggota FPKS DPRD Kota Salatiga, tak seorang pun ikut berangkat ke Malaysia dan Singapura untuk studi banding RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional), karena menilai tak banyak berguna, sedang dananya besar. Dalam suatu rapat pembahasan ABPD di hotel luar kota bahkan ada yang berteriak agar biaya yang dikeluarkan apa adanya, tidak di-mark up.

Semua itu tampaknya sesuai dengan slogan mereka dalam kampanye pemilu tentang sikap partai yang "jujur dan peduli". Semua partai politik sekarang ini menyadari bahwa tingkat kepercayaan rakyat terhadap mereka berada pada titik nadir. Karena itulah, PKS dengan percaya diri selalu "menyihir" masyarakat bahwa dengan eksistensi partai dakwah ini "harapan itu masih ada".

Sayang dalam perjalanan waktu, "sikap jujur dan peduli" serta "harapan itu masih ada" tak bisa lagi secara konsisten dipertahankan. Sekarang ini tidak atau semakin jarang terdengar ada anggota DPR dan DPRD dari partai mana pun yang menolak studi banding. Akibatnya, anggaran studi banding DPR maupun DPRD provinsi dan kabupaten/kota mana pun di Indonesia dari tahun ke tahun senantiasa meningkat secara signifikan.

Bahkan, di tengah stagnan dan menurunnya pos belanja masyarakat karena dialokasikan untuk pembangunan pascabencana Merapi akhir 2010, anggaran DPRD Provinsi DI Jogjakarta terus melejit. Untuk studi banding saja mencapai Rp 8,3 miliar. Padahal, menurut Kepala Bagian Persidangan Sekretariat DPRD Provinsi DIJ M. Subandrio, hasil studi banding itu tidak pernah dilaporkan dalam sidang paripurna dan tak bermanfaat bagi pembangunan masyarakat.

Kegiatan itu, menurut Subandrio, merupakan sebuah dilema. Sebab, betapa pun gubernur mengimbau agar mengurangi studi banding, hak bujet ada di tangan dewan (Harian Jogja, 3 Oktober 2011). Terbukti kemudian setelah APBD Provinsi DIJ 2012 diajukan, Mendagri Gamawan Fauzi memangkas anggaran untuk studi banding DPRD itu sampai Rp 1 miliar. Demikian pula dalam rapat-rapat pembahasan APBD maupun RUU/raperda di hotel mewah, kini hampir tak ada anggota dewan yang menolak.

Takut Tak Tahu Diri

Menjadi anggota DPR/D memang tidak murah. Termasuk dalam Pemilu 2009 di Salatiga (besar dugaan juga berlangsung di daerah lain). Para simpatisan dan konstituen PKS yang sebelumnya tak mempan money politic bisa digoyang oleh serangan fajar dan serangan duha. Caleg PKS new comer, tapi berani mengeluarkan modal besar sehingga mampu meraih suara terbanyak. Dia mengalahkan caleg PKS incumbent yang telah lima tahun "berdarah-darah" membina simpatisan dan konstituen tersebut.

Itulah salah satu faktor mengapa kaum politisi sulit lepas dari perilaku yang berisiko korupsi. Anggota FPKS DPR Nasir Djamil, dalam diskusi Polemik Sindo Radio bertajuk Koruptor Kesohor di Jakarta 10 Desember lalu, mengakui hal itu. Menurut Nasir, yang juga wakil ketua Komisi III DPR, mereka tidak ingin dianggap tidak memiliki semangat esprit de corps, tidak tahu diri atau tidak solider.

Kalau memang demikian halnya, apakah itu berarti bahwa kini tidak ada lagi suara minoritas, suara nurani, dan kebenaran yang berani menentang mainstream? Padahal, Pemilu 2014 semakin dekat, dan semua partai membutuhkan dana besar. Ini mengingat masyarakat juga semakin pragmatis, cenderung permisif terhadap politik uang. Bisakah kita meyakini dan mengatakan bahwa harapan tetap masih ada? ●
◄ Newer Post Older Post ►