Perseteruan Upah Minimum Pekerja


Perseteruan Upah Minimum Pekerja
Umar Juoro, EKONOM
Sumber : REPUBLIKA, 6Februari 2012


Penentuan upah minimum sering kali menjadi ajang perseteruan antara pekerja dan pengusaha. Para pekerja menduduki jalan tol di Cikarang memprotes putusan PTUN Bandung yang memenangkan gugatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terkait upah minimum. Apindo mengajukan gugatan karena upah minimum kabuputen (UMK) yang ditetapkan Gubernur Jabar lebih tinggi dari kesepakatan semula. Setelah pemogokan akhirnya disepakati UMK Bekasi sebesar Rp 1.491.000 untuk Kelompok I, Rp 1.715.000 Kelompok II, dan Rp 1.849.000 untuk Kelompok III yang hampir sama dengan ketetapan Gubernur.

Penentuan UMK dilakukan melalui Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota yang melibatkan pemda, serikat pekerja, dan Apindo. Mereka menetapkan besaran nilai kebutuhan hidup layak (KHL) berdasarkan survei dan mengajukannya kepada Gubernur sebagai dasar penentuan UMK.

Serikat pekerja tentu saja menuntut UMK yang lebih tinggi dari KHL. Sebaliknya, Apindo menginginkan kenaikan secara bertahap dan tidak secara langsung di atas KHL. Pemda pada umumnya lebih memihak kepada pekerja, terutama atas dasar pertimbangan sensitivitas politik.

Sulitnya adalah pekerja pada umumnya sering kali tidak sependapat dengan serikat pekerja karena banyaknya jumlah serikat pekerja di tingkat perusahaan ataupun secara sektoral. Serikat pekerja yang tidak terwakili di Dewan Pengupahan biasanya berbeda pandangan dengan yang terwakili. Keadaan ini menyulitkan dalam proses negosiasi antara pengusaha dan serikat pekerja. Serikat pekerja yang mana yang dianggap representatif. Namun, satu hal pekerja mempunyai pandangan sama, yaitu kenaikan UMK.

Kenaikan UMK di satu sisi menaikkan kesejahteraan pekerja, tetapi di sisi lain meningkatkan biaya perusahaan, terutama yang padat karya. Daya saing perusahaan ini banyak ditentukan oleh tingkat upah.

Belakangan ini banyak investor memindahkan pabriknya dari Cina ke Indonesia karena upah minimum di Cina lebih tinggi daripada di Indonesia. Namun, dengan naiknya upah minimum di Indonesia, kecenderungan ini kemungkinan akan terhambat. Apalagi, dilihat dari produktivitas pekerja di Indonesia lebih rendah daripada di Cina.

Di Indonesia, UMK berbeda-beda. Untuk daerah industri padat karya, UMK di Jawa Tengah lebih rendah daripada di Jabar, Banten, Jatim, dan Batam (Keppri). Karena itu, semakin banyak industri yang memilih lokasi di Jateng, bagi industri padat karya, seperti elektronik, tekstil, garmen, dan alas kaki, upah minimum sangat menentukan daya saingnya.

Sedangkan, bagi industri yang lebih membutuhkan keterampilan lebih tinggi, seperti kendaraan bermotor, pada umumnya upah pekerja sudah di atas UMK.

Pada saat Indonesia mengharapkan pindahnya industri padat karya dari Cina, besarnya UMK ini sangat penting. Tentu saja pertimbangan lainnya, seperti kemudahan berbisnis dan infrastruktur juga penting, tetapi pertimbangan utamanya adalah upah minimum.

Dalam keterbukaan sosial politik dewasa ini, pendekatan top down tidak dapat dilakukan lagi, termasuk dalam penentuan upah. Apakah argumentasinya daya saing, atau hal lainnya, pengusaha tidak dapat lagi menentukan upah secara sepihak. Keputusan gubernur untuk menentukan upah minimum juga problematis karena banyak mendistorsi penentuan upah, terutama dilihat dari kepentingan pengusaha.

Sebaiknya UMK tidak perlu ditetapkan pemda. Upah sebaiknya merupakan hasil kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, bisa pula melalui serikat pekerjanya. Jika terjadi perselisihan, pemerintah pusat dan daerah dapat menjadi fasilitator dalam penyelesai annya. Dengan demikian, upah merefleksikan nilai eko nomisnya dan juga hak dari pekerja untuk mendapatkan upah yang layak. Yang penting adalah pekerja mendapatkan hak, termasuk keleluasaan dalam memperjuangkan haknya sehingga demikian hubungan pengusaha dan pekerja menjadi lebih seimbang.

Tugas pemerintah selain se bagai fasilitator dalam penyelesaian permasalahan perburuhan juga berperan dalam menyediakan infrastruktur dasar yang penting bagi perusahaan dan pekerja. Apakah itu berkaitan dengan perang kat keras, seperti transportasi, ataupun perangkat lunak, seperti pendidikan dan latihan.

UMK dan peraturan tenaga kerja yang terlalu mengikat, seperti kompensasi yang terlalu tinggi pada saat pekerja diberhentikan, membuat perusahaan enggan mempekerjakan pekerja secara permanen dan cenderung melakukan outsourcing. Dalam hal ini, ke stabilan perusahaan dan pekerja menjadi terganggu. Sementara itu, dengan jumlah pekerja yang demikian besar, sektor formal jauh dari optimal dalam menciptakan kesempatan kerja.

Hubungan peng usaha/manajemen dengan pekerja jangan sampai antagonistis karena akan merusak kinerja perusahaan. Sekalipun berada pada posisi yang berbeda, keduanya harus bersinergi untuk menciptakan kinerja perusahaan yang optimal.
◄ Newer Post Older Post ►