Epistemologi Santri Urban


Epistemologi Santri Urban
Wahyu Iryana, PENGAJAR UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG;
PENGURUS ICMI ORWIL JABAR 2011-2012
Sumber : REPUBLIKA, 10 Februari 2012



Setidaknya untuk meng identifikasi siapakah santri di butuhkan pemetaan khusus atas generasi santri di Indonesia dari awal hingga sekarang. Istilah santri sebenarnya melekat pada mereka yang pernah belajar di pesantren. Pernah belajar pada seorang kiai atau ajengan dan pernah belajar kitab kuning yang menjadi ciri khas suatu pondok. Sedangkan yang dinamakan santri urban adalah orang yang dahulunya nyantri kemudian melakukan proses urbanisasi (Nur Khalik Ridwan, 2003:4-5).

Sedikitnya ada dua kelompok santri urban untuk generasi awal.
Pertama, di kalangan generasi pemurnian yang berbasis di perkotaan, mereka adalah Ahmad Dahlan, A Hassan, dan yang seangkatan. Kedua, dari kalangan pesantren yang berbasis di pedesaan, generasi awal adalah Hasyim Asy'ari, Bisri Syansuri, Wahab Hasbulloh, dan yang seangkatan. Setelah angkatan pertama generasi kedua dari kalangan santri pemurnian adalah Natsir, Isa Anshari, Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, dan yang seangkatan.

Sedangkan untuk kalangan pesantren di pedesaan digawangi oleh Wahid Hasyim dan yang seangkatan. Generasi ketiga di kalangan pemurnian diwakili oleh para tokoh seperti Amien Rais, Nurcholis Majid (Cak Nur), Ahmad Sumargono, Yusril, dan Dawam Raharjo. Sedangkan di kalangan pesantren generasi ketiga diwakili oleh Gus Dur, Hasyim Muzadi, dan Masdar Farid Mas'udi.

Setelah Gus Dur dan Cak Nur meninggal, sekarang ini posisi dan wacana keislaman sepenuhnya masih dipegang oleh generasi ketiga, sebagai rujukan utama Amien Rais, Masdar F Masudi, dan kalaupun bisa ditambahkan nama Said Aqil Siraj, Mahfud MD, Din Syamsudin, Suryadharma Ali, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Ahmad Gaus AF, Ahmad Baso, bisa masuk ke dalam jajaran nama-nama sesudah angkatan ketiga.

Pertanyaannya sekarang, apa peran santri urban untuk bangsa Indonesia? Ada berbagai peran penting yang telah diberikan untuk menggerakkan wacana keislaman di Tanah Air, yang sarat dengan kepentingan, pertarungan, diskusi, dan berhadapan dengan wacana-wacana yang lebih mendunia.

Semakin lama, jumlah dan wacana yang dikemukakan semakin memiliki gaung yang besar. Setidaknya, golongan penerus kaderkader muda yang mengikuti jejak angakatan sebelumnya telah berperan dalam kantong-kantong gerakan nonformal, seperti LSM, kelompok-kelompok diskusi, dan kelompok partikelir yang dengan sendirian pula bisa menembus ke media massa untuk menulis dan berwacana.

Pertumbuhan santri urban mengalami berkembang pesat sampai sekarang. Hal ini tidak terlepas dari pertumbuhan pesantren di seluruh Indonesia. Alasan konkret dari menjamurnya pesantren adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional, karena salah satu great traditional yang dikembangkan di Indonesia adalah tradisi pengajaran agama Islam, seperti yang muncul di pesantren.

Salah satu pengajaran khas di pesantren adalah transformasi keilmuan kitab kuning yang membahas ilmu alat. Dalam penjabaran yang lebih luas ilmu alat ini mencakup tata bahasa Arab tradisional, seperti nahu (sintakstis), sharaf (infleksi), balaghah (retorika), di samping itu juga ada ilmu mantiq (logika) dan ilmu tajwid (ilmu untuk membaca Alquran dengan baik dan benar).

Pengembaraan santri urban yang datang dari pesantren tradisional ke kota bisa jadi karena wawasan dan skill yang dimiliki para santri tersebut kurang mendapat tempat dalam struktur organisasi di daerahnya. Ini karena kurangnya wadah yang pas untuk menampung alumnus santri yang mempunyai progres yang tinggi.

Para santri kemudian saba kota untuk melakukan studi di universitas-universitas Islam, seperti di institut agama Islam negeri (IAIN) atau universitas Islam negeri (UIN) bahkan ada juga dari mereka yang belajar ke luar negeri, seperti ke Mesir, Irak, Yordania, dan Madinah. Setelah lulus mereka bergerak dalam pemberdayaan masyarakat, jurnalis, bahkan ada yang tetap menggeluti bidang akademis sebagai staf pengajar dan ada juga dari mereka yang bergerak dalam bidang politik sebagai wakil rakyat di parlemen.

Santri di Era Global

Globalisasi, menurut Anthony Giddens dalam British Economist menulis bahwa “The Third Way: The Renewal of Sosial Democracy“ adalah suatu kenyataan saat hubungan sosial mendunia tidak ada lagi hambatan dan jarak antara berbagai realitas, satu peristiwa yang terjadi secara lokal dengan kejadian lain yang berlangsung di belahan dunia lainnya.

Perkembangan zaman mengharuskan santri urban untuk melakukan rekonstruksi dakwah yang ideal pada zamannya. Santri urban harus tahu dan mengenal substansi dari peradaban global. Secara terminologi peradaban atau civilization sering diartikan sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang mapan dan organisasi sosial yang dinamis. Dalam arti lain, peradaban yang dimaksud adalah kemajuan budaya dari suatu masyarakat pada daerah tertentu dengan ciri organisasi sosial politik yang mapan, pengetahuan, kemajuan di bidang seni, iptek, dan pertumbuhan produkproduk material yang kompleks.

Sebagai bagian dari masyarakat global, santri urban memiliki tanggung jawab besar untuk merespons isu globalisasi. Karena, motif dari kelahiran santri urban sendiri tidak terlepas dari perkembangan masyarakat global, yang multietnik, politik, budaya, dan multiagama. Urbanisasi masyarakat desa ke kota dengan alasan rasionalnya bahwa kota sebagai pusat kegiatan.

Meminjam bahasa Rohadi Abdul Fatah, tujuan dari urbanisasi adalah city, large center of population organized as a community, walaupun pada akhirnya urbanisasi mengakibatkan problem baru yang berhubungan dengan tempat tinggal, pangan, fasilitas-fasilatas umum, bahkan kriminalitas yang semakin meningkat. Hal ini harus dipahami dengan kenyataan bahwa masyarakat terdidik, termasuk santri urban, harus mempunyai solusi konkret dalam mengawal keadaban pada era globalisasi tersebut.

Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah santri urban mampu mengelaborasi dakwah dalam era global? Tentunya santri urban harus mampu masuk dalam dunia media, santri hendaknya tidak gaptek terhadap teknologi yang berkembang. Media dakwah santri bisa melalui radio, televisi, media cetak, maupun dakwah via internet. Banyaknya kontes-kontes dai disadari atau tidak apabila tidak mampu melakukan akses menyeluruh terhadap perkembangan zaman, ia akan dijadikan boneka entertaiment belaka.

Pada dasarnya untuk melakukan dakwah tidak harus menjadi seorang kiai saja. Di manapun kita berada, seorang santri entah ia sedang berada di pemerintahan, kampus, kantor, ataupun di gedung parlemen, tanggung jawab moral untuk melakukan transformasi nilai-nilai Ilahiyah yang positif sudah selayaknya dilakukan, tentunya dengan diimbangi sikap pekerti santri.

Dalam hal ini posisi santri urban adalah sebagai mediasi antara relasi agama dan negara. Paling tidak ada dua landasan argumentasi yang melegalkan hal tersebut. Pertama, argumentasi normatif teologis dan yang kedua argumentasi historis, keduanya pernah disampaikan Gus Dur dalam satu seminar di Jakarta yang bertajuk “Relasi Negara dan Agama“.

Penulis berharap, pesantren tidak lagi dicap sebagai sarang teroris dan semoga dari pesantrenlah akan muncul pangeran bersarung (santri) sebagai pemimpin nasional untuk mengentaskan problem-problem bangsa. Wallahu a'lam.  
◄ Newer Post Older Post ►