Demokrasi Sandera Kaum Muda


Demokrasi Sandera Kaum Muda
Zaedi Basiturrozak, KETUA DPP IMM; MAHASISWA PASCASARJANA
UNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 8Februari 2012


Politik memang sangat ampuh kalau ditempuh dengan cara demokrasi. Namun, demokrasi bi asanya akan memancing perlawanan dalam wacana negara dan kekuasaan. Situasi ini terlihat jelas dalam partai politik yang terus-menerus mengeluarkan staminanya ketika mengambil sikap dalam merespons isu-isu krusial yang pada dasarnya relatif kolaboratif.

Dalam konteks ini, praktik demokrasi dan politik yang cenderung kolaboratif secara konstan belakangan ini nyaris tidak berubah. Kendati aromanya tetap (untuk mendapatkan kekuasaan), namun gagal mengakomodasi kaum muda, bahkan sebaliknya memperlemah kapasitas kaum muda lewat manipulasi politikakrobatik. Penetrasi politik terhadap kaum muda dalam iklim demokrasi justru menampilkan konflik yang melahirkan reproduksi kelas yang berkuasa.

Sistem hukum yang lemah turut mewarnai gambaran pemuda hari ini yang terisolasi dan secara tidak langsung mereduksi perannya sehingga terpinggirkan di balik sirkuit-sirkuit kontrol sosial. Tidak mengherankan jika pemuda sebagai simbol komitmen jangka panjang hanya dipandang sebagai pelengkap ketimbang aset masa depan yang harus dilestarikan.

Pandangan Dalam Cermin

Melihat “politikus muda yang terjerat korupsi“ kepala berita di media massa belakangan ini mendorong pemahaman kita untuk merevitalisasi makna tentang siapa sesungguhnya pemuda. Apakah pemuda yang selama ini kita artikan secara konvensional atau pemuda yang kita definisikan berdasarkan konteks sosial saat ini agar ada pernyataan tegas pemuda sebagai agen perubahan.

Misalnya, agen perubahan yang bertindak menebarkan energi positif di tengah perbedaan antarkeyakinan di tengah masyara kat sebagaimana dicita-citakan oleh pemuda lintas agama dalam puncak perayaaan Interfaith Religious Council Indonesia. Atau, pemuda yang dipersepsikan Henry Giroux (2009) dalam bukunya Youth in A Suspect Society sebagai mercusuar harapan melalui solidaritas sosial yang memiliki kesempatan menjadi agen perubahan demokrasi modern yang berada dalam jangkauan neoliberalisme.

Pengertian pemuda yang diberikan Giroux pada dasarnya ingin menawarkan pasar ide bahwa pemuda dalam konteks pendidikan politik di tengah struktur dominasi dan penindasan melahirkan konsep power pemuda. Fungsinya me lengkapi wacana budaya dan politik tandingan dengan meletak kan ide dasar perubahan yang ter kait nilai-nilai sosial. Jika ini pe sannya, memungkinkan terbu kanya peluang memahami kontur periode sejarah baru di mana perang sedang gencar dilancarkan terhadap kaum muda.

Oleh sebab itu, pandangan da lam cermin (daily mirror) dapat di jadikan referensi untuk memutuskan dampak dramatis dari pot ret pemuda memang pantas ditempatkan dalam surat kabar yang mengedepankan sisi keseimbangan dan politik di sisi lain. Hal ini dapat dijadikan cermin sosial jika reproduksi makna pemuda ingin segera diredefinisi di saat demokrasi telah menyandera peran pemuda melalui kekuatan sistem politik sebuah negara.

Dalam kacamata studi budaya dan komunikasi, pada level teknis pemberitaan tentang kaum muda yang berafiliasi dengan partai politik betul-betul membuat gambar tersebut lebih mudah untuk ditaf sirkan secara cepat dan istimewa. Akhirnya, pembaca, pendengar, serta realitas saling berkomunikasi yang mengonstruksi pandangan kita tentang realitas dan dunia (Carey dalam John Fiske, 2007).

Dengan kata lain, eksisensi kaum muda yang berada bersama dunia dan realitas amat memengaruhi peran, posisi, dan konteksnya. Adapun, relevansinya dengan wacana politik dan demokrasi gagasan tentang kaum muda di ruang publik memiliki efek buram ketika berhubungan dengan politik dan kekuasaan.

Dengan demikian, potret kaum muda tersebut menunjukkan medium yang vital guna memaknai yang tidak bisa dimaknai dan memersepsikan kelemahannya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Tentu saja, ini berarti diskursus kaum muda yang ambigu tak pelak lagi menghasilkan, --yang oleh mazhab pendidikan kritis dipandang sebagai kegagalan komunikasi pedagogis. Kegagalan itu bisa dibuktikan dengan paradigma pendidikan tinggi yang mempraktikkan konsep budaya corporate di mana kaum muda mendapatkan tradisi intelektual yang sudah kehilangan identitasnya.

Sebagai konsekuensi dari tekanan ini, pendidikan tinggi semakin menjauhkan hakikat sejarahnya sebagai ruang publik untuk bertanggung jawab mendidik kaum muda dan menyediakan lapangan kerja melalui wacana pedagogi kritis akan pentingnya pengalaman dalam mengembangkan wawasan demokrasi.

Akal Sehat

Kelahiran demokrasi bukan merupakan suatu peristiwa kebetulan. Ia lahir dari proses perkembangan pemikiran manusia yang melewati lintas batas negara. Demokrasi memberikan arti penting dalam bentuk pengetahuan, informasi, dan riset bagi semua orang dan kaum terpelajar. Namun, dalam perkembangannya demokrasi semakin tak memiliki makna, bahkan terdistorsi karena tidak mampu menjawab problem kemanusiaan.

Tidak jarang kita mendapatkan penjelasan tentang demokrasi lewat pengetahuan emosional, ter utama penerapan deskriptifnya, berupa penjelasan yang ditampil kan beberapa partai politik. Di samping itu kita juga memerlukan penjelasan demokrasi secara analitis dan sistematis. Bisa melalui pe ran kaum muda sebagai sosok yang diperhitungkan.

Di sini, kaum muda dapat memaknai demokrasi lewat pengetahuan akali (rasional). Menilai baik buruknya demokrasi lewat kerangka konseptual. Demokrasi bukan suatu hal yang menyimpang, tapi sebaliknya struktur ber pikir manusianyalah yang ti dak sehat. Pada akhirnya terjadi penyimpangan makna demokrasi sebagai gagasan dan demokrasi sebagai realitas.

Untuk itu, perlu upaya pedagogis bagaimana kaum muda me nerjemahkan konsep demokrasi dalam struktur pengalamannya. Pertama, demokrasi sebagai rea litas adalah gambaran yang jelas dan serbameliputi. Maka, dalam realitas ini perlu suatu gagasan alternatif (tandingan) bagaimana kaum muda memainkan posisi dan peran strategisnya. Jadi, realitas dapat dijadikan riset kaum muda dalam menelurkan gagasan demokrasi yang sesuai dengan konteks kekinian.

Kedua, demokrasi sebagai realitas yang terikat. Dalam pengertian ini, kendati demokrasi tidak terpisahkan dalam wacana politik, tapi pada dasarnya ia sangat terikat oleh fenomena yang ada dan terjadi. Ringkasnya, demokrasi dibatasi oleh suatu hal yang bersifat partikular (khusus). Misalnya, demokrasi dengan eksistensi kaum muda itu sendiri. Oleh sebab itu, demokrasi tidak akan memiliki makna jika hal-hal yang bersifat khusus ditinggalkan.

Inilah pandangan demokrasi yang perlu diuji kembali oleh kaum muda sebagai kekuatan politik yang aktif dan bukan suatu gagasan final. Untuk sementara, menimbang posisi, peran dan konteks kaum muda adalah salah satu cara memahami demokrasi dalam dimensi politik dan sosial secara sehat. Wallahu a’lam.

◄ Newer Post Older Post ►