Menyikapi Penolakan Produk Kelapa Sawit


Menyikapi Penolakan Produk Kelapa Sawit
Teddy Lesmana, PENELITI LIPI
Sumber : REPUBLIKA, 9Februari 2012


Amerika Serikat (AS) secara resmi menolak produk kelapa sawit dan turunannya dari Indonesia. Menurut Badan Perlindungan Ling kung an (Environmental Protection Agency) AS, kelapa sawit Indonesia dinilai tidak ramah terhadap lingkungan. Penolakan ini diberlakukan secara efektif sejak 28 Januari 2012.

Meskipun AS bukan merupa kan negara importir kelapa sawit yang besar, pengaruh AS yang masih cukup besar di dunia dikha watirkan akan merugikan para pelaku usaha kelapa sawit. Sebelumnya, Uni Eropa juga pernah melakukan hal yang sama.
Apalagi, belum lama ini terjadi kasus pembantaian satwa langka di Kalimantan dan konflik sosial di sekitar area perkebunan kelapa sawit. Bagaimana kita seharusnya menyikapi penolakan tersebut?

Minyak kelapa sawit saat ini secara luas digunakan sebagai bahan baku, mulai dari kosmetik hingga berbagai produk pangan. Dan, sekarang di tengah-tengah krisis energi, upaya pengembang an energi alternatif muncul kembali dan salah satu bahan baku biofuel yang potensial adalah minyak kelapa sawit. Meskipun, data menunjukkan bahwa saat ini hanya satu persen dari minyak kelapa sawit untuk biofuel.

Meskipun demikian, pada masa mendatang, peningkatan permintaan dari kekuatan ekonomi baru Cina dan India sebagai pembeli utama minyak sawit, mening katnya kesadaran kesehatan untuk minyak nabati yang sehat di negara-negara Barat, dan tumbuhnya pasar biofuel di Uni Eropa (UE) menyebabkan meningkatnya permintaan minyak kelapa sawit. Fakta-fakta tersebut mengirimkan sinyal untuk memperluas perkebunan kelapa sawit di negara-negara tropis.

Badan pangan dunia/FAO (2009) menyebutkan, luas lahan minyak kelapa sawit dunia meningkat empat kali lipat dari 3,6 juta hektare (1961) menjadi 9,13 hektare pada 2007. Lebih dari 80 persen perkebunan sawit dunia ditanam di Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia).

Tingginya permintaan minyak kelapa sawit menawarkan keuntungan ekonomi yang menggiurkan. Namun demikian, ada harga yang harus dibayar sebagai konsekuensi perluasan perkebunan kelapa sawit, yakni kerusakan lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Hal ini menimbulkan dilema, di satu sisi, kelapa sawit menawarkan manfaat ekonomi, terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia dalam upaya mening kat kan kesejahteraan rakyatnya. Namun, pada saat yang sama, sekitar 13 persen dari total penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Studi yang dilakukan Koh dan Ghazoul (2010) menyebutkan bahwa dengan harga sekitar 750 dolar AS per ton, jika Indonesia ingin meningkatkan produksinya menjadi 80 juta metrik ton, Indonesia perlu mengalokasikan lahan tambahan untuk perkebunan kelapa sawit sekitar 3,1-3,5 juta hektare. Ini akan menghasilkan net present value (NPV) sekitar 30 miliar-53 miliar dolar AS selama usia ber buah perkebunan kelapa sawit yang berkisar 30 tahun.

Selain itu, industri ini akan da pat menyerap sekitar 4,5 juta tenaga kerja dan memiliki multiplier effect yang diharapkan dapat mengurangi sepertiga penduduk miskin, terutama di daerah pede saan. Oleh karena itu, pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah bagaimana menyeimbang kan manfaat ekonomi yang berasal dari usaha perkebunan kelapa sawit seraya memelihara ke anekaragaman hayati dan kelestarian lingkungan.

Dewasa ini, Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit ter besar di dunia yang diikuti Malaysia. Kedua negara menguasai sekitar 80 persen dari produksi minyak sawit di dunia. Indonesia memiliki sekitar 9,7 juta hektare perkebunan sawit dimana sekitar 40 persennya dimiliki petani kecil. Departemen Pertanian AS mencatat, produksi mi nyak kelapa sawit di Indonesia pada 2010 mencapai 19,8 juta metrik ton dan pada 2011, produk si minyak sawit Indonesia diperkirakan mencapai 22,5 juta metrik ton.

Faktor-faktor berikut ini me nyebabkan pesatnya pertumbuhan komoditas kelapa sawit dalam beberapa dekade terakhir. Pertama, produktivitas minyak sawit per hektare lebih tinggi daripada tanaman minyak nabati lainnya, seperti rapeseed, kedelai, dan minyak bunga matahari. Kedua, biaya per unit produksi sawit adalah terendah di antara tanaman minyak nabati lainnya.

Ketiga, minyak sawit didukung oleh kebijakan lingkungan ekonomi yang menguntungkan. Keempat, komoditas minyak sawit ini memiliki tingkat konsentrasi pasar yang tinggi dan kelima, hasil olahan kelapa sawit relatif independen dari pasar produk sampingan (Thoenes, 2006).

Ekspansi perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi terhadap cepatnya laju deforestasi (perusakan hutan) melalui pembabatan hutan, penanaman pada lahan yang dulunya berhutan yang telah dimanfaatkan untuk kayu lapis, kayu, pulp, dan kertas. Pendapat an yang dihasilkan dari eksploitasi hutan ini selanjutnya digunakan untuk menutupi biaya reboisasi. Selain itu, penyebab tidak langsungnya ialah pembukaan akses jalan di daerah hutan perawan yang sebelumnya terisolasi (Fitzherbert et al, 2008).

Akan tetapi, Wicke et al (2008) menunjukkan bahwa di Indonesia, cepatnya laju deforestasi belum tentu disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit. Pemicu yang mendasari cepatnya laju deforestasi, yaitu pertumbuhan penduduk, tingginya harga komoditas pertanian, kebijakan dan pertumbuhan ekonomi, serta faktor-faktor kelembagaan.

Situasi ini memicu keprihatin an dari banyak kalangan pemerhati lingkungan, baik di dalam mau pun di luar negeri, di mana perluasan perkebunan sawit akan menimbulkan ancaman serius bagi keberadaan keanekaragaman hayati. Hutan di Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar di mana sekitar 10 persen dari semua jenis ta nama n berbunga, 17 persen dari    semua spesies burung, 12 persen dari seluruh spesies mamalia, 16 persen dari seluruh spesies reptil, dan 16 persen dari seluruh spesies amfibi ( Collins et al, 1991).

Keberadaan spesies flora dan fauna Indonesia saat ini mungkin sudah jauh lebih berkurang seka rang sebagai akibat eksploitasi hutan yang cepat dan meningkatnya ekspansi perkebunan kelapa sawit. Makrofauna langka, seperti orang utan sumatra (Pongo abelii), orang utan borneo (Pongo pygmaeus), dan harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) akan kehilangan habitat mereka. Secara umum, aktivitas perkebunan kelapa sawit juga berpotensi menyebabkan kerusakan ekosistem dan marginalisasi masyarakat lokal.

Fenomena tersebut perlu kita sikapi dengan mencari jalan tengah yang dapat dicapai dalam mendamaikan kepentingan yang bersaing antara lingkungan dan masalah ekonomi. Selain, upaya untuk meningkatkan produktivitas dengan melakukan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan varietas tinggi.

Untuk mendukung kegiatan riset tersebut, sebagian pajak ekspor yang dikenakan terhadap komoditas kelapa sawit bisa dialokasi untuk penelitian perkelapasawitan. Selain itu, upaya untuk mendorong penerapan konsepkonsep, seperti pembayaran untuk jasa ekosistem, pendekatan high conservation value (HCV), advokasi penggunaan lahan, dan bank keanekaragaman hayati harus dilakukan secara bersamaan. Kampanye untuk menggunakan produk minyak sawit bersertifikat juga perlu diperluas dengan dukungan dari pemerintah.

Fasilitas seperti biokredit, misalnya, bisa dikembangkan untuk menjamin kepastian perlindungan keanekaragaman hayati di area se kitar perkebunan. Ini adalah bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang memanfaatkan sumber daya alam.

Demikian pula, praktik perkebunan yang ramah lingkungan dengan mengurangi input kimia dengan bahan organik. Pemerintah dan semua pemangku kepen tingan juga harus melakukan pemetaan yang komprehensif berdasarkan fakta di lapangan sehingga penerapan insentif ekonomi benar-benar mencapai upaya pelestarian lingkungan yang melibatkan masyarakat lokal.

Untuk mewujudkannya, diperlukan upaya bersama yang didukung pemerintah, produsen, LSM, lembaga keuangan, dan konsumen. Dengan demikian, diharapkan kita bisa memetik manfaat ekonomi dengan melestarikan keanekaragaman hayati. ●
◄ Newer Post Older Post ►