Kompetensi Wartawan Bukan Momok


Kompetensi Wartawan Bukan Momok
Petrus Suryadi Sutrisno, Direktur eksekutif Lembaga Kajian Informasi, wartawan utama, pengajar LPDS, dan penguji kompetensi wartawan, serta anggota Tim Perumus SKW - Dewan Pers
Sumber : JAWA POS, 9Februari 2012


STANDARkompetensi wartawan dan uji kompetensi wartawan (SKW/UKW) sejak 9 Februari 2010 merupakan trend-issue bagi komunitas wartawan atau media. Terutama setiap 9 Februari digelar perhelatan Hari Pers Nasional; pada 2010 di Palembang 2010, kemudian 2011 di Kupang, dan kini di Jambi.

SKW/UKW pada 2011 masih dianggap sebagai hal baru, sebagai ''momok'' bagi sebagian wartawan. Kini SKW/UKW sudah mulai dianggap hal yang biasa. Bahkan, itu menjadi keharusan sebagai syarat bagi seorang wartawan yang kompeten atau profesional.

SKW dideklarasikan dan langsung diratifikasi oleh 19 perusahaan pers nasional (termasuk Dahlan Iskan dari Jawa Pos Group, Red) pada Peringatan HPN 9 Februari 2010 di Palembang.

Meskipun sosialisasi penerapan SKW merupakan misi dan tugas Dewan Pers, Lembaga Pers dr Soetomo/LPDS, ''anak kandung'' Dewan Pers  sebagai lembaga penyelenggara pendidikan dan pelatihan jurnalistik, juga terlibat dan bahkan memelopori. Yakni, dalam pembuatan perangkat uji, prosedur pelaksanaan UKW, materi uji dan membuat panduan, metode, serta sistem penilaian UKW. Kelak itu digunakan sebagai model dan menjadi satu-satunya referensi bagi lembaga penguji lain.

LPDS melakukan uji coba-uji perdana UKW di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar dengan disponsori Yayasan Tifa. LPDS pun memperoleh predikat sebagai lembaga pelaksana UKW yang pertama di Indonesia pada Juli 2011. Setelah itu, organisasi PWI pusat dan Kantor Berita Antara mendapat status yang sama.

PWI pusat juga telah melaksanakan beberapa kali UKW. Sedangkan Antarayang sebelumnya pernah melakukan UKW internal juga kembali melakukan UKW dengan menggunakan standar Dewan Pers. Sementara itu, RRI dan AJI sedang mempersiapkan diri menjadi lembaga penguji kompetensi wartawan.

Hingga kini, belum ada rekapitulasi Dewan Pers yang mendata mana di antara 19 perusahaan yang meratifikasi Piagam Palembang 2010 yang telah menerapkan SKW dan melakukan UKW. Namun, dalam catatan Dewan Pers, kelompok media Kompasdan Tempo pernah dan telah menerapkan SKW mereka sendiri.

Kelompok media Jawa Pos telah mengawali melakukan UKW bekerja sama dengan LPDS pada 23-26 Mei 2011. Sebanyak 27 wartawan dalam  kelompok Jawa Pos -Wahana Semesta Merdeka- melakukan UKW bagi 32 orang wartawan muda, madya, dan utama. Kemudian, pada 30-31 Januari 2012, acara yang sama diadakan untuk 50 orang wartawan. Bahkan, 47 orang di antara mereka adalah pemimpin redaksi.

Kelompok Harian Pikiran Rakyat, Bandung dan kelompok harian Bali Postjuga telah meminta LPDS untuk melaksanakan UKW.

Hingga akhir 2011, data tidak resmi LPDS tentang peserta UKW sampai akhir 2011 berjumlah 299 wartawan. Sedangkan yang digelar PWI berjumlah 508 wartawan.

Kita belajar dari pengalaman UKW kelompok wartawan utama yang umumnya para pemimpin redaksi, wakil pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, dan redaktur senior dari Jakarta, Bandung, Jogja, Solo, Makassar, Medan, Surabaya, dan Balikpapan serta Bali. Fakta menunjukkan bahwa setelah hari kedua UKW dilaksanakan, ketakutan dan gamang para peserta UKW mulai berkurang. Peserta UKW mulai memahami makna dan tata cara, serta dapat mengikuti ritual UKW sesuai dengan panduan uji.

Situasi di atas membuktikan bahwa sosialisasi merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari pelaksanaan UKW itu sendiri. Bahkan, peserta UKW merasa tidak punya cukup waktu untuk membaca semua panduan UKW yang tersedia. LPDS menggunakan pola 3 (tiga) hari, yakni satu hari penuh digunakan untuk sosialisasi SKW dan panduan mengikuti UKW serta 2 (dua) hari digunakan untuk uji materi kompetensi.

Meskipun Dewan Pers telah belasan kali melakukan sosialisasi SKW/UKW, tetap saja pada hari pelaksanaan UKW itu sendiri rasa takut, gamang, dan ngeri umumnya tetap menyelimuti para peserta UKW. Situasi itu membuktikan bahwa, pertama, sosialisasi yang digunakan Dewan Pers belum menggunakan format komunikasi sosialisasi yang baku dengan metode terukur. Kedua, sosialisasi yang selama ini diadakan cenderung hanya terpusat di ibu kota provinsi atau kota-kota besar. Padahal, wartawan Indonesia yang jumlahnya sekitar 40 ribu juga tersebar di lebih dari 500 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Ketiga, peserta program sosialisasi SKW/UKW tidak serta merta juga menjadi peserta UKW itu sendiri.

Sebetulnya UKW bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan. Prosedur atau tata cara melaksanakan UKW, bahkan materi UKW, sebelumnya bisa dibaca sendiri dalam buku panduan UKW yang diterbitkan LPDS.

Pemenuhan standar kompetensi wartawan (SKW) sudah dianggap sebagai syarat mutlak bagi seorang wartawan untuk memenuhi standar kualifikasi profesional. Standar itu akan lebih menjamin terciptanya fungsi pers yang maksimal, adanya kebebasan pers sejati. Pers tidak terkooptasi dengan kepentingan penguasa, pengusaha, dan pemilik modal -penyalahgunaan pers untuk kepentingan tertentu.

Kebebasan pers yang dilandasi SKW bisa jadi merupakan ancaman dan ketidaknyamanan  bagi para koruptor, politisi busuk, dan pengusaha yang kolutif (Majid Tehranian, 2001). Pers atau wartawan yang sudah dinyatakan kompeten mestinya tidak akan pernah bisa dibeli, dibungkam, atau direkayasa oleh siapa pun. ●

◄ Newer Post Older Post ►