Keterbukaan Informasi Masih Tersandera


Keterbukaan Informasi Masih Tersandera
Siti Nuryati, ALUMNUS PASCASARJANA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA IPB
Sumber : SUARA KARYA, 9Februari 2012



Dalam suatu diskusi publik bertema "Respon Badan Publik atas Pemberlakuan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)", baru-baru ini muncul ragam persoalan yang dijumpai para pengelola layanan informasi. Khususnya, dari berbagai institusi publik, baik kementerian, lembaga MPR, DPR, DPD, MA, MK, kejaksaan, kepolisian, BUMN, parpol, perguruan tinggi, lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Badan publik dimaksud menurut definisi UU KIP adalah, lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/ atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/ atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/ atau luar negeri.
Meski sudah diundangkan sejak 1 Mei 2010, nyatanya baru sekitar 12 persen badan publik di Tanah Air yang sudah menerapkan UU KIP yang mengamanatkan, segera membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) sebagai instrumen pengelola informasi. Nyatanya, belum direspon dengan antusias oleh badan-badan publik. Salah satu penyebabnya, adanya kekhawatiran bahwa keberadaan PPID justru akan menelanjangi badan publik. Itu sebabnya, kenapa badan publik masih tergagap-gagap memahami dan menerjemahkan UU KIP, yang kelahirannya memang ditujukan untuk membawa perubahan paradigma badan publik dalam mengelola informasi.
Sebelum UU KIP berlaku, pengelolaan informasi dilakukan dengan paradigma tertutup. Hampir seluruh informasi adalah tertutup, kecuali yang diizinkan terbuka. Namun, setelah berlaku, paradigma pengelolaan informasi bergeser menjadi pengelolaan informasi secara publik. Artinya, seluruh informasi adalah terbuka (informasi publik), kecuali yang dikecualikan.
Pemberlakukan UU KIP tidak perlu dikhawatirkan, karena akan meningkatkan kredibilitas badan publik dalam pengelolaan dan pelayanan informasi sehingga kepercayaan meningkat kepada badan publik. Sungguh beragam kesulitan akan ditemui badan publik ketika dirinya tidak membentuk PPID. Badan publik akan kesulitan mengomunikasikan pengumpulan dan dokumentasi data, mengembangkan layanan informasi, menghambat kinerja badan publik yang tidak membidangi hal tersebut.
Ketiadaan PPID juga berpotensi menghambat partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan publik serta berpotensi meningkatkan sengketa informasi publik. Asal badan publik memiliki komitmen untuk membenahi kinerjanya maka sesungguhnya tidak sulit untuk melaksanakan UU KIP ini.
Menjamurnya kasus korupsi di tubuh pemerintah ataupun di partai politik (parpol) saat ini sesungguhnya bisa dicegah andai UU KIP ini dilaksanakan dengan baik. Karena, publik bisa mengontrol apa yang dilakukan pemerintah maupun parpol berikut aliran dananya. Indikasi adanya penyelewengan bisa dideteksi lebih dini oleh masyarakat.
Logikanya, kalau memang bersih, mengapa risih? Aktivis FITRA dalam diskusi publik ini mengatakan tak sedikit parpol yang merasa risih ketika dimintai informasi terkait laporan keuangan parpol. Padahal, UU KIP mengamanatkan bahwa laporan keuangan badan publik merupakan informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala.
Tampaknya belum menjadi kebiasaan badan publik di Tanah Air untuk mengumumkan laporan keuangannya secara terbuka. Misalnya, dengan meng-upload di website badan publik bersangkutan. Padahal, langkah tersebut merupakan cara untuk menunjukkan kepada publik bahwa tidak ada masalah dengan pengelolaan keuangan di badan publik. Intinya, pemberlakuan UU KIP bisa menjadi momen percepatan reformasi birokrasi di tubuh badan publik di Tanah Air, terutama terkait dengan kualitas pelayanan informasi. Sayangnya, ketidaksiapan badan publik menjadi hambatan utama.
Ketidaksiapan badan publik melaksanakan UU KIP juga turut disumbang saat awal pembahasan UU ini oleh DPR RI. Karena menyangkut berbagai aspek penyelenggaraan negara, semestinya UU ini tidak hanya digodok di Komisi I DPR, melainkan perlu dibahas lintas komisi. UU ini pun terkesan kejar tayang sehingga banyak aspek yang terlewatkan/tidak terwadahi, di antaranya tidak secara jelas mengatur sanksi bagi pemohon informasi yang tidak bertanggung jawab. Kelemahan ini kian lengkap saat pemerintah tidak berupaya dengan sungguh-sungguh mendorong penerapan UU ini oleh badan-badan publik, melakukan pembinaan dan monitoring sehingga kendala-kendala implementasinya dapat dideteksi sedini mungkin.
Kemungkinannya, ke depan UU KIP perlu direvisi agar didapatkan formula terbaik, bagaimana memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada publik untuk mengetahui apa dan bagaimana sebuah badan publik bekerja. Juga, membangun nuansa bahwa pemohon informasi saat meminta informasi ke badan publik itu karena memang suatu bentuk keingintahuan. Diharapkan setelah mengetahui, ia bisa berperan dengan baik sebagai warga masyarakat. Atau, sekaligus sebagai bentuk kepedulian untuk turut membangun dan memperjuangkan hak-hak publik, dan bukan untuk mengambil keuntungan tertentu.
UU KIP ini sangat penting dalam menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana, program, proses, alasan pengambilan keputusan publik termasuk yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Manfaat lainnya adalah untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik serta mendorong penyelenggaraan negara secara transparan, efektif, efisien, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sayang sekali, jika tujuan-tujuan mulia ini kandas di tengah jalan lantaran masih banyaknya lubang-lubang dalam UU KIP.

◄ Newer Post Older Post ►