Menata Ulang Struktur Sosial Lewat Reforma Agraria


Menata Ulang Struktur Sosial
Lewat Reforma Agraria
Khudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA,
ANGGOTA KELOMPOK KERJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014)
Sumber : KORAN TEMPO, 8Februari 2012


Tanah merupakan harta tak ternilai. Bagi petani, bukan hanya bagian hidup, tanah adalah sumber kehidupan, serta simbol martabat dan identitas. Di kalangan masyarakat Jawa ada prinsip sadumuk bathuk sanyari bumi ditohing pati (meskipun sejengkal, tanah bagian kehormatan yang dibela hingga mati). Artinya, tanah memiliki kedudukan penting.

Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain itu, ada modal manusia dan modal uang. Tapi, bagi petani, modal tanah amat menentukan akses terhadap modal lainnya. Itu sebabnya, redistribusi tanah (land reform) menjadi agenda hampir semua negara di dunia. Semua negara yang struktur politik, ekonomi, dan sosialnya kukuh dan baik, seperti Cina, Jepang, Korea, dan Amerika Serikat, memulai pembangunan ekonominya dengan land reform. Land reform menjadi bagian penting untuk menata struktur politik-ekonomi-sosial yang feodalistik.

Indonesia memulai land reform pada 1961, bersamaan dengan Taiwan. Cita-cita pendiri bangsa saat itu adalah menata ulang struktur agraria nasional yang feodalistik dan kolonialistik serta terkonsentrasi pada segelintir kelompok—menjadi struktur agraria yang berkeadilan sosial. Land reform dilakukan setelah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 disahkan bersamaan dengan lahirnya UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Sayang, land reform yang menurut Bung Karno merupakan “bagian mutlak revolusi” ternoda oleh konflik vertikal dan horizontal yang dipicu polarisasi ideologi massa-rakyat. Kelompok “kiri”pendukung land reform bersitegang dengan kelompok “kanan”penolak land reform. Stabilitas politik terguncang. Land reform era Bung Karno terhenti seiring dengan pergantian rezim. Berbeda dengan Bung Karno, Soeharto tak menjadikan land reform sebagai agenda penting. Soeharto menempuh jalan pintas dengan mengadopsi Revolusi Hijau. Sepanjang 30 tahun land reform dimusuhi dan diberangus. Bahkan para penganjurnya dicap “kiri”.

Ketetapan MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) amat tepat menggambarkan kondisi agraria hasil 30 tahun Orde Baru. Pertama, kepemilikan dan penguasaan tanah dan kekayaan alam kian timpang. Kedua, konflik penguasaan dan pengelolaan atas tanah dan kekayaan alam makin masif. Ketiga, peraturan yang terkait dengan agraria/sumber daya alam bersifat eksploratif, sektoral, sentralistis, lebih berpihak kepada pemodal besar dan pemegang kuasa, dan tidak ada pengaturan memadai guna melindungi hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat/lokal. Keempat, peraturan yang terkait dengan konservasi SDA tidak memberi jalan keluar yang diharapkan untuk pemulihan fungsi SDA sebagai landasan pengembangan ekonomi jangka panjang.

Dampaknya, tumpang-tindih peraturan membuat tak jelasnya otoritas atas SDA dan salah urus pengelolaan SDA. Akibatnya, terjadi pengurasan dan pengerukan SDA tanpa batas. Hutan produktif, hutan lindung, dan lahan-lahan produktif dialihfungsikan. Akibatnya, lahan terdegradasi, ekosistem rusak dan keanekaragaman hayati merosot, pencemaran dan dampak lingkungan meningkat, serta pelanggaran HAM dan perampasan hak-hak masyarakat adat/lokal kian masif. Hasilnya adalah kemiskinan mayoritas rakyat.

Pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berjanji akan membagikan 8,15 juta hektare lahan kepada rakyat. Secara ekonomi, land reform yang ditopang program penunjang, seperti fasilitas kredit, penyuluhan, latihan, pendidikan, teknologi, pemasaran, manajemen, dan infrastruktur—yang dikenal dengan reforma agraria—akan membuat rakyat lebih berdaya, seperti terbukti di Jepang (Hayami, 1997) dan Zimbabwe (Waterloos dan Rutherford, 2004). Reforma agraria akan bisa mengeliminasi soal-soal struktural, baik pengangguran, kemiskinan, konsentrasi aset agraria pada segelintir orang, tingginya sengketa dan konflik agraria, rentannya ketahanan pangan dan energi, menurunnya kualitas lingkungan hidup, serta lemahnya akses sebagian besar masyarakat terhadap hak-hak dasar warga.

Lima tahun berlalu, janji itu tak pernah ditunaikan. Struktur sosial-ekonomi tetap timpang. Ini bisa dilihat dari ketimpangan kepemilikan lahan. Ketimpangan kepemilikan aset di negeri ini amat akut: 56 persen aset nasional hanya dikuasai 0,2 persen dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional hanya dikuasai 440 ribu orang. Nyaris tak berubah dalam 60 tahun terakhir (Mohammad Tauchid, 1952). Konsentrasi aset itu 62-87 persen berupa tanah (Winoto, 2008). Sebaliknya, 49,5 persen petani di Jawa dan 18,7 persen petani luar Jawa tunatanah (tak berlahan). Di sisi lain, 7,2 juta hektare tanah yang dikuasai swasta ditelantarkan.

Unjuk rasa sejumlah komponen yang menuntut pemulihan hak rakyat atas SDA, terutama lahan (Koran Tempo, 13 Januari 2012), bisa dimaknai sebagai usaha menagih janji Presiden Yudhoyono. Sebab, tanpa menunaikan reforma agraria, struktur sosial-ekonomi tetap timpang, dan Indonesia akan terus tersandera berbagai masalah struktural, salah satunya konflik agraria yang kian masif. Menurut Komisi Nasional HAM, sepanjang 2011 kasus sengketa lahan merupakan pelanggaran HAM tertinggi dibanding kasus lainnya, yang mencapai 603 kasus. Menurut Badan Pertanahan Negara (2007), ada 2.810 kasus tanah besar yang berbuah konflik dan merugikan negara-warga. Nilai tanah yang tersandera sengketa mencapai Rp 1.000 triliun (Winoto, 2008). Beranikah Yudhoyono menata ulang struktur sosial-ekonomi lewat reforma agraria?

◄ Newer Post Older Post ►