Kedaulatan di Dalam Konstitusi


Kedaulatan di Dalam Konstitusi
Gugun El Guyanie, STAF PENELITI DARI PUSAT KAJIAN KONSTITUSI
FAKULTAS HUKUM UGM YOGYAKARTA
Sumber : SUARA MERDEKA, 8Februari 2012


’’PERUBAHAN pasal-pasal dalam UUD 1945 melalui amendemen 2002, dinilai menjadi penyebab bangsa kurang mempunyai kemerdekaan, berdaulat, dan kurang memperoleh keadilan serta kemakmuran.’’ (SM, 31/01/12). Itulah kesimpulan yang disampaikan para tokoh dalam acara Pekan Konstitusi beberapa hari lalu. Konklusi itu menarik untuk dicermati, tentunya setelah sekian lama orang tidak memperdebatkan persoalan amendemen konstitusi.

Sebagaimana kita ketahui, perubahan atau yang sering dikenal dengan amendemen konstitusi, merupakan pencapaian terpenting dalam sejarah politik ketatanegaraan Indonesia. Hal itu mengingat sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyatakan kembali ke UUD 1945, konstitusi dianggap final dan sakral, sehingga haram disentuh, apalagi diubah.

Walaupun sebenarnya kebutuhan untuk menyempurnakan UUD 1945 sebagai undang-undang dasar kilat, mutlak diperlukan jika ingin membangun negara yang demokratis. Artinya bahwa, amendemen konstitusi melalui empat tahapan tahun 1999-2002, bisa disebut tidak memuaskan, namun juga tidak bisa disebut gagal. Dalam bahasanya Mahfud MD, argumen itu tidak bisa dijadikan alasan untuk kembali kepada UUD 1945 yang lama. Dalam teori konstitusi, perubahan konstitusi sangat dimungkinkan, dengan catatan tidak semudah mengubah undang-undang biasa.

Ekonomi Kerakyatan


Maksudnya, konstitusi bukanlah kitab suci yang sakral melainkan resultante keadaan politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta perubahannya memerlukan prosedur yang berat. Kembali pada kesimpulan Pekan Konstitusi itu, yang paling menonjol dipersoalkan adalah perubahan Pasal 33 yang berbicara perekonomian nasional. Benarkah setelah terjadi amendemen, perekonomian nasional dikuasai pihak asing, sehingga kedaulatan ekonomi kerakyatan hancur? Mari kita menengok sejarah amendemen Pasal 33. Dalam bukunya Manifesto Ekonomi Kerakyatan (20099: 122), Revrisond Baswir mencatat bahwa upaya amendemen pasal tersebut semula dimaksudkan untuk mengganti Pasal 33 secara keseluruhan.

Persiapan ke arah itu telah dilakukan oleh MPR dengan menggali masukan dari berbagai kalangan, termasuk dari para pejabat pemerintah, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), dan dari berbagai perguruan tinggi. Tetapi melalui perdebatan yang sengit, terutama sebagai akibat dari aksi protes yang dilakukan oleh Mubyarto, Ayat 1, 2, dan 3, berhasil dipertahankan.

Walaupun demikian, kalimat penting yang berbunyi ’’Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi’’, yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945, turut menguap bersama hilangnya penjelasan tersebut.  Berbicara Pasal 33 UUD 1945 sebelum perubahan berarti berbicara soal kedaulatan ekonomi atau demokrasi ekonomi. Maka ketika berbicara kedaulatan ekonomi untuk rakyat, tidak bisa dilepaskan dari peran Bung Hatta. Persinggungan Bung Hatta dengan ekonomi kerakyatan setidak-tidaknya berlangsung sejak 1922, yakni tahun pertama ia berada di Belanda. Dari latar belakang pemikiran itulah, dapat dipahami bila dalam kedudukannya sebagai seseorang yang turut mempersiapkan dan menyusun UUD 1945, Hatta berusaha sekuat tenaga untuk memasukkan gagasan besar ekonomi kerakyatan sebagai dasar penyelenggaraan perekonomian Indonesia.

Namun apa boleh buat, jika perjuangan tersebut mendapatkan pengkhianatan dari orde kekuasaan yang satu ke orde berikutnya. Kita merdeka hendak lepas dari imperialisme dan kolonialisme, tetapi justru masuk perangkap agenda ekonomi neoliberal dan pasar bebas yang makin membikin rakyat jauh dari cita-cita merdeka.  Hari ini rakyat sudah kehilangan lahan pertaniannya, diusir dari gubuknya sendiri. Skema pertanian yang diciptakan negara dengan didikte oleh pemodal asing; pupuk tanpa subsidi, kelangkaan bibit, dan beras impor.

Penghancuran industri nasional dan komoditas dalam negeri seperti keretek, beras, gula, garam, berjalan sangat sistemik. Sungguh ironi di negeri yang kaya raya gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja, terjadi impor beras, impor gula, impor garam dan sebagainya.

Bahkan industri keretek yang menghidupi jutaan petani tembakau, jutaan buruh pabrik, diserang dengan isu-isu kesehatan melalui lembaga-lembaga internasional. Negara tak hadir untuk melindungi, tetapi justru ikut ambil bagian menjadi agen asing untuk menghancurkan ekonomi kerakyatan. Memang ada benarnya; jika amendemen konstitusi menjadi pintu masuk hancurnya kedaulatan ekonomi kerakyatan, jika tidak menyerap aspirasi dan cita-cita politik rakyat, namun tunduk kepada kepentingan asing dalam meloloskan agenda ekonomi neoliberal.

Dalam bahasanya Jimly Asshiddiqie, kita mempunyai konstitusi, tetapi sesungguhnya kita tidak menganut paham konstitusionalisme, yakni paham yang menganut prinsip pembatasan kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia. Di manakah perlindungan terhadap hak ekonomi rakyat yang katanya berdaulat? ●

◄ Newer Post Older Post ►