Tantangan untuk Kebebasan Pers


Tantangan untuk Kebebasan Pers
Felix Jebarus, PEMERHATI PERS DAN KOMUNIKASI POLITIK,
PENGAJAR DI STIKOM LSPR JAKARTA
Sumber : SINDO, 9Februari 2012



Pada hari ini bangsa Indonesia merayakan hari Pers Nasional. Setelah menikmati kebebasan sejak diberlakukannya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, belakangan ini mulai timbul pro-kontra terhadap kebebasan pers.

Ada sementara pihak yang menilai bahwa pers Indonesia sudah kelewat bebas,bahkan kebablasan. Namun ada pandangan sebaliknya, bahwa pers sudah menjalankan fungsinya dengan baik dan benar. Oleh karena itu, menurut kelompok yang belakangan ini revisi terhadap Undang-Undang Pers, sama sekali tidak diperlukan. Bagaimanapun,sistem pers sangat terkait dengan sistem politik yang berlangsung di setiap negara.

Negara-negara yang menganut sistem pe-merintahan otoriter, tentu akan menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat dan kaku terhadap kegiatan pers.Pers akan menjadi bagian atau menjadi alat kekuasaan. Perbedaan pendapat atau kritik terhadap penguasa merupakan sesuatu yang diharamkan. Sebaliknya, negara-negara yang menganut sistem politik demokratis pun akan membebaskan pers untuk melakukan kritikan.

Kemerdekaan pers untuk menyampaikan informasi, dijunjung tinggi. Secara teoretis,kajian yang menyangkut hubungan antara politik suatu negara dan kondisi kehidupan persnya, telah menjadi fokus perhatian Friederich Siebert dkk.Mereka meletakkan empat teori dasar mengenai sistem pers yaitu: sistem pers otoriter; sistem pers bebas; sistem pers komunis; sistem pers bebas bertanggung jawab.

Praktik pengaturan terhadap pers di setiap negara, mengacu pada teori-teori tersebut. Dalam pentas politik Indonesia terutama pada era Orde Baru, pemerintah memperkenalkan “sistem pers Pancasila”. Namun, betapapun menggunakan label Pancasila, sistem pers yang dibanggakan pemerintahan Orde Baru itu merupakan wujud sistem pers otoriter. Dalam praktiknya, begitu banyak surat kabar yang dicabut atau dilarang terbit selama rezim Orde Baru.

Bahkan, wartawan yang dianggap vokal serta berbeda pendapat dengan pemerintah tak jarang dicekal. Surat kabar Sinar Harapan, harian Prioritas, majalah Tempo,majalah Editor,serta tabloid Detik,termasuk contoh kecil media massa yang merasakan brutalnya tindakan rezim Orde Baru.Tidak heran bila para pekerja pers merasa trauma dengan pelbagai tindakan pemerintah yang sewenangwenang mengendalikan media massa.

Pers Reformasi

Tumbangnya rezim Orde Baru membawa angin segar bagi dunia pers. Serangkaian kebijakan terhadap pers pun turut mendukung terwujudnya kemerdekaan pers. Lahirnya UU Pers No 40 Tahun 1999 merupakan puncak dari semua kebijakan yang mendukung kebebasan pers. Kini, setelah pers mendapatkan kemerdekaan, atau terbebas dari rongrongan penguasa, lantas apakah tidak ada tekanan terhadap kebebasan pers? Ternyata penindasan terhadap para jurnalis/wartawan masih sering terjadi.

Dalam era reformasi, tekanan itu muncul dari masyarakat. Ketika terjadi pemberitaan yang dianggap tidak sesuai fakta, tak jarang ada warga masyarakat yang mudah marah dan melakukan tindakan “main hakim sendiri”. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ancaman kekerasan fisik terhadap kalangan jurnalis selama tahun 2011.

Berdasarkan pemaparan Ketua AJI Eko Maryadi dalam Catatan Akhir Tahun di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, pada 28 Desember 2011 jumlah kekerasan fisik pada 2011 meningkat dari 16 menjadi 19 kasus yang didominasi aparat pemerintah dan kelompok massa. Kekerasan fisik meliputi intimidasi, teror, pemukulan, penyerangan, pengeroyokan, pembakaran, sampai pembunuhan.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menunjukkan data yang bahkan lebih mencengangkan. Menurut lembaga ini, kekerasan terhadap wartawan pada 2011 (96 kasus) justru meningkat dibandingkan dengan tahun 2010 (69 kasus). Kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan menun-jukkan bahwa, masyarakat belum seluruhnya memahami atau menghargai profesi wartawan sebagai pekerja pers.

Padahal, UU Pers memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat melakukan “Hak Jawab” manakala merasakan adanya kesalahan dalam pemberitaan media massa (Pasal 1 ayat 11 UU No.40 tahun 1999) dan, wartawan pun dituntut untuk melayani “Hak Jawab”dari masyarakat (Pasal 5 ayat 2 UU No 40 Tahun 1999).

Pelanggaran Etika

Patut diakui,kekerasan terhadap pers kerap juga dipicu karena kurangnya pemahaman prinsip-prinsip etika jurnalistik di kalangan sebagian wartawan. Sering terjadi pelanggaran kode etik oleh para jurnalis. Dalam catatan Dewan Pers,selama tahun 2011 terjadi banyak pelanggaran kode etik secara serius oleh media. Sekitar 80% dari sekitar 500 kasus yang masuk ke Dewan Pers berkaitan erat dengan pelanggaran kode etik.

Bagir Manan mengakui penyebab terjadinya pelanggaran kode etik, selain karena kecerobohan dari pihak wartawan dan redaksi yang belum memahami betul kode etik jurnalistik, yang tidak kalah penting pula,karena adanya kepentingan redaksi dan kepentingan pemilik media itu sendiri.

Oleh karena itu, perlu ada peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan esensi dari kebebasan pers pada satu sisi, sementara itu pada sisi lain,menjadi hal yang mendesak bagi para pekerja pers (wartawan) untuk tetap patuh pada kode etik jurnalistik dalam pemberitaan. Hal tersebut patut direnungkan di hari Pers Nasional.Selamat Hari Pers Nasional!

◄ Newer Post Older Post ►