Myanmar dan San Suu Kyi


Myanmar dan San Suu Kyi
Ismatillah A Nu’ad, PENELITI HUKUM, BEKERJA DI KEMITRAAN/PARTNERSHIP, JAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 11 Februari 2012


Pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi menegaskan, akan mencalonkan diri untuk kursi parlemen dalam Pemilihan Umum Myanmar pada April. Banyak pengamat politik internasional mempertanyakan apakah ini sebagai efek domino dari peranan diplomatik AS yang dewasa ini sangat intens di Myanmar, sehingga seakan-akan Suu Kyi melunakkan diri dalam arus kekuasaan militer di Myanmar.

Sebab, keputusan Suu Kyi untuk kembali terlibat dalam arus kekuasaan politik bukanlah kali pertama. Pada 1990, partainya, LND, pernah memenangi Pemilu Myanmar meskipun kemudian pemerintahan militer di sana tidak merestuinya.
Peraih Nobel Perdamaian 1991 itu malah dikenai tahanan rumah karena kemenangannya. Pengaruh politiknya dianggap membahayakan kekuasaan militer. Sejak itulah, sejarah kelam politik dan demokrasi di Myanmar dan Asia Tenggara umumnya berada dalam titik nadir.

Sepanjang masa penahanannya, putri pahlawan kemerdekaan Burma itu pernah menghirup udara bebas pada 2002. Tapi, itu tak lama karena pada 2003 ia kembali menjadi tahanan rumah. Anaknya yang menetap di London tak pernah bisa menemui dia selama 10 tahun terakhir karena junta militer selalu menolak visanya.

Perjuangan Suu Kyi menegakkan demokrasi dan menentang rezim militeristik selalu menghadapi risiko yang berbahaya karena dianggap melawan arus.

Saat dibebaskan, dia disambut ratusan pendukungnya di pintu rumahnya setelah tujuh tahun berada dalam status tahanan rumah. Suu Kyi telah menghabiskan 15 tahun dalam 21 tahun terakhir dalam tahanan rumah. Hukuman tahanan rumah terakhir dijatuhkan pada Agustus 2010 setelah pengadilan memvonisnya melanggar hukum karena membiarkan seorang diplomat Amerika John W Yettaw menginap di rumahnya selama dua malam.

Kekuasaan militeristik di Myanmar masih eksis, maka demokrasi Myanmar mengalami apa yang diistilahkan Samuel Huntington dalam The Third Wave Democratization (1998) sebagai penurunan gelombang demokrasi. Jika demokrasi ibarat pendulum, demokrasi Myanmar yang kini di posisi bawah mengalami penurunan yang sangat drastis. Demokrasi haruslah diperjuangkan karena merupakan sebuah sistem yang lebih baik. Demokrasi memang bukanlah sebuah sistem yang final digagas manusia, melainkan lebih baik dibanding sistem-sistem lainnya, seperti sistem otokrasi, otoriterisme, monarki, dan sebagainya.

Ciri-ciri negara demokratis, menurut Huntington, salah satunya adalah kekuatan militer harus kembali ke barak. Tugas militer ialah mengamankan negara dari kemungkinan “serangan musuh“, baik dari dalam maupun luar. Tugas kekuasaan diberikan kepada masyarakat sipil yang representatif dan memenuhi syarat sebagai pemimpin.

Ciri negara demokratis lainnya adalah kebebasan untuk menyuarakan pendapat, pers dijamin dan diberi kebebasan oleh undang-undang, terjadinya pemilu secara jujur dan adil, serta adanya otonomi masing-masing kelembagaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif (trias politica).

Masing-masing lembaga itu bekerja sesuai kinerja yang diatur oleh undang-undang dan satu dengan yang lainnya independen tanpa ada campur tangan yang akan melunturkan otonomi kelembagaan.

Lewat rezim militer pimpinan Jenderal Than Swee, di satu sisi kehidupan politik Myanmar memang kuat, terutama soal keamanan. Tapi, di sisi lain, seperti mekanisme berkenegaraan jelas menjadi tak sehat, otoriterisme menyeruat, serta rakyat ditebar teror-teror penculikan, penahanan, bahkan pembunuhan.

Hal itu memang menjadi pemandangan umum di negara-negara yang dikuasai militer. Hal tersebut juga pernah terjadi di Indonesia ketika masih dikuasai oleh rezim militer Orde Baru. Mekanisme berkenegaraan yang menakutkan itu pernah dirasakan oleh para mantan aktivis prodemokrasi.

Pengalaman di Indonesia yang kini menjadi negara demokrasi termaju di Asia Tenggara semasa pemerintahan militer Orde Baru ialah pada setiap lini kehidupan tidak memungkinkan rakyat untuk mengaspirasikan suara dan pendapatnya. Semua kebijakan dikuasai oleh penguasa. Jelas, kebijakan itu tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita rakyat.

Setiap ada perbedaan, pasti diselesaikan dengan cara-cara kekerasan, teror, dan penistaan terhadap HAM. Banyak kasus-kasus kekerasan dan penghilangan nyawa yang dilakukan oleh rezim militer Orde Baru ketika itu, terutama yang terjadi antara 19651966 hingga kini, belum terusut (Cribb: 2003).

Selain itu, belum lagi kasuskasus kekerasan, seperti di Tanjung Priok, kasus Lampung, DOM di Aceh, serta kasus-kasus yang terjadi mengiringi masa-masa reformasi. Pendeknya, jika militer berkuasa maka negara yang dikuasainya akan dibungkam serapat mungkin.

Pada era negara-bangsa modern ini, Myanmar masih dikuasai rezim militer. Tentunya akan banyak terjadi fenomena kekerasan yang terjadi di sana, paling tidak karena masyarakat sipil akan terus dibungkam hak-haknya atau setidaknya ada tiga konsekuensi logis yang akan dihadapi secara internal dalam negara Myanmar sendiri.

Pertama, terjadi penutupan dan pemberangusan hak-hak pendapat dan suara masyarakat sipil. Kedua, sistem pemerintahan trias politica membeku dan diperkosa oleh keinginan-keinginan diktator-militeristik. Undang-undang demokratis jelas diubah oleh peraturan yang berdasar dan selaras dengan kepentingan rezim militer yang ada.

Dan ketiga, ada pembatasan atau pelarangan serta pemberangusan media-media cetak dan elektronik, selanjutnya media massa akan dikuasai oleh satu gerbong yang dimiliki penguasa militer.

Sedangkan, relasi antara negara Myanmar dan pergaulan internasional, terutama di kawasan ASEAN, dapat dipastikan mengalami kesenjangan. Dari titik itu pula, sesungguhnya komunitas internasional harus terus menekan Pemerintah Myanmar. Karena, bagaimanapun demokrasi di Myanmar sungguh mengalami ancaman serius dan harus segera dipulihkan. Jika terlambat menyelamatkannya maka proses kepemimpinan militer akan terus mengakar.

Komunitas internasional harus segera menghentikan rezim militeristik. Bagaimanapun, proses demokratisasi di Myanmar tak boleh terus terpuruk. Negara-negara ASEAN mestinya sudah steril dari kekuasaan militeristik yang otoriter dan diktator, serta membangun kekuasaan demokratis, sehingga proses untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera bisa terwujud secara nyata di kawasan ini. ●
◄ Newer Post Older Post ►