Kebangkitan Mobil Nasional?

Kebangkitan Mobil Nasional?
Mudrajat Kuncoro, GURU BESAR ILMU EKONOMI FEB UGM
Sumber : KOMPAS, 6 Februari 2012


Mobil karya pelajar SMK Surakarta patut diapresiasi di tengah minimnya inovasi bidang industri dan teknologi otomotif di Tanah Air. Mobil Kiat Esemka hasil rakitan SMKN 2 Solo, SMKN 5, dan SMK Warga Solo, Jawa Tengah, berkapasitas 1.500 cc dan tergolong kelas sport utility vehicle memiliki 80 persen muatan lokal. Inovasi terlihat di bagian badan mobil. Mereka juga mengerjakan seluruh bagian mesin hingga interior dan suku cadang lokal. Meski baru prototipe dan belum diproduksi massal, mengapa kita tak memanfaatkan hadirnya mobil Esemka sebagai momentum menciptakan perubahan mendasar industri otomotif nasional?

Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), tren penjualan mobil di Indonesia meningkat setiap tahun. Sepanjang 2011, sedikitnya 834.948 mobil diproduksi di Indonesia. Selama 2007-2011, penjualan mobil per tahun tumbuh sekitar 26 persen. Segmen terbesar mobil Indonesia tipe 4 x 2 dengan angka penjualan 530.762 unit dan pikap/truk yang terjual 271.943 unit, masing-masing menguasai 63,3 persen dan 32,5 persen dari total produksi mobil.

Jika dicermati, industri otomotif Indonesia sebenarnya masih tahap merakit dan belum punya merek asli Indonesia. Dominannya merek Jepang (Toyota, Honda, Daihatsu, Mazda, Nissan, Suzuki, Mitsubishi, dan Isuzu), Eropa (BMW, Mercedez, Audi, VW), Korsel (Hyundai, KIA) menunjukkan betapa industri mobil dikuasai pemain global. Para pemain otomotif utama Indonesia adalah jawara kaliber global yang mengendalikan kebijakan suplai bahan baku/komponen, model, pemasaran, serta pengembangan teknologi otomotif.

Kebijakan industri otomotif di Indonesia masih mengacu agen tunggal pemegang merek (ATPM). Tak mengherankan, industri otomotif nasional masih terbatas pada perakitan, minim ekspor, dan transfer teknologi dari prinsipal. Industri mobil nasional masih menjadi ”anak tiri” dalam struktur industri di Indonesia.

Reformasi Kebijakan Industri

Komisi VI DPR, minggu lalu, sepakat membentuk panja pengembangan industri otomotif nasional guna mendesak pemerintah dan swasta mendukung pengembangan program mobnas. Komisi VI minta Kementerian BUMN, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Riset dan Teknologi, serta lembaga pemerintah non-kementerian bidang ristek terus-menerus berkoordinasi mengembangkan inovasi, membantu desain dan rancang bangun mobnas.

Benarkah pemerintah tak serius kembangkan mobnas? Dalam Perpres No 28/2008 tentang Kebijakan Industri Nasional dan buku putih Kementerian Perindustrian memang tak disinggung tentang mobnas secara eksplisit. Strategi jangka panjang industri kendaraan bermotor hingga 2025 adalah memperkuat basis produksi kendaraan niaga, kendaraan penumpang kecil, dan sepeda motor, meningkatkan kemampuan teknologi produk dan manufaktur industri komponen kendaraan bermotor, memperkuat struktur industri pada semua rantai nilai melalui pengembangan kluster otomotif, pengembangan keterkaitan rantai suplai melalui kluster, pengembangan desain rekayasa, pengembangan produk komponen otomotif, serta manufakturing penuh sepeda motor utuh.

Kalau kita serius mau mengembangkan mobnas, mau tak mau, arah kebijakan industri nasional, khususnya kluster industri alat angkut, perlu direformasi. Selain mobil Esemka, sebenarnya terdapat sejumlah mobnas lain, seperti Komodo (PT Fin Komodo), GEA (PT Inka), Arina (UNS Semarang), Mobira (PT Sarimas Ahmadi Pratama), dan Mahator (PT Maha Era Motor). Mobil berkonsep city car Tawon juga diproduksi PT Sumber Grasindo Jaya di Rangkasbitung, Banten, dan sudah berstandardisasi Euro 3 serta hampir 100 persen komponennya lokal meski mesin masih impor. Pemprov Sulawesi Selatan bersama Universitas Hasanuddin dan PT Inka tak mau kalah dengan Esemka, mencipta mobil lokal bernama Moko.

Bukan sekarang saja mobil lokal berusaha jadi tuan rumah di negeri sendiri. Mulai dari mobil Timor dengan program mobnas era Orde Baru, minibus Texmaco Macan, bajaj Kancil, hingga mobil Marlip buatan LIPI. Semua tenggelam. Jadi, apa yang perlu dilakukan agar mobnas laku di pasaran dan jadi tuan di negeri sendiri?

Pertama, perlu komitmen penuh dan perencanaan jangka panjang dari pemerintah. Simak bagaimana Malaysia merencanakan mobnas atau dikenal dengan merek Proton. Proton adalah Perusahaan Otomobil Nasional yang didirikan 1983 atas perintah mantan PM Mahathir Mohamad. Mahathir merancang National Automotive Policy (NAP) dengan tujuan akhir menumbuhkan penciptaan nilai ekonomi secara berkelanjutan.

Perlu Dukungan Penuh

Industri mobnas perlu dukungan penuh pemerintah agar dapat kompetitif secara internasional. NAP memfasilitasi transformasi yang dibutuhkan dan integrasi industri mobnas dalam jejaring industri mobil regional dan global. Kebijakan kunci NAP: (1) sejumlah paket hibah (industrial adjustment fund) dan insentif agar mobnas bisa mencapai skala operasi, keterkaitan industri, dan pengembangan komponen lokal dan kapabilitas Bumiputra; (2) agar dapat diproduksi massal perlu partisipasi semua pihak dalam rantai nilai produksi.

Kedua, mendorong kemitraan strategis dengan para pemain global dalam pengembangan mobnas. Sebagai pemain baru, Malaysia menggandeng Mitsubishi Motors untuk transfer teknologi, mengembangkan industri mobnas, dan suku cadang. Produksi mobnas pertama adalah Proton Saga, September 1985, dari pabrik manufaktur di Shah Alam, Selangor. Awalnya produksi komponen mobil seluruhnya oleh Mitsubishi, tetapi bertahap komponen lokal dipergunakan karena teknologi dan keterampilan telah ditransfer.

Produksi 100.000 unit dicapai Januari 1989. Pada 1993, model Proton Wira diluncurkan dengan modifikasi dari Mitsubishi Lancer/Colt. Lebih dari 220.000 unit terjual selama 1996-1998. Proton Perdana, yang didasarkan atas model Mitsubishi Galant/Eterna, diperkenalkan 1995; diikuti Proton Waja (Proton Impian di pasar UK) diluncurkan 2001 sebagai model mobil pertama yang didesain Proton. Hingga 2002, Proton pernah memegang pangsa pasar 60 persen di Malaysia.

Ketiga, mengembangkan mobnas tidak hanya sekadar prototipe, desain, dan produksi mobil yang aman bagi konsumen dan ramah lingkungan, tetapi juga harus lulus berbagai uji sebelum diproduksi massal. Saat ini, mobil Esemka hanya tinggal merampungkan uji emisi. Untuk uji kelayakan dari Kementerian Perhubungan sudah lolos. Namun, masih kurang uji emisi yang menjadi bagian dari uji kelayakan untuk mendapatkan sertifikat uji tipe. Jika sertifikat uji tipe didapat, produksi massal pun bisa dimulai.

Pengalaman China mengembangkan mobil yang bersih dan efisien perlu disimak. Hingga akhir 2007, China merencanakan mengurangi rata-rata konsumsi BBM per 100 kilometer untuk semua jenis kendaraan sebesar 10 persen. Untuk itu, prioritas diberikan untuk penelitian dan pengembangan mobil listrik dan hibrida serta menggunakan energi alternatif, terutama gas (CNG/LNG).

Kota-kota mega, seperti Beijing dan Shanghai, telah menerapkan standar emisi Euro 3. China pun menandatangani perjanjian patungan dengan American Motors Corporation untuk memproduksi mobil penumpang di Beijing, produksi Volkswagen Jerman di Shanghai, dan Peugeot dari Perancis di Guangzhou.

Industri Terkait dan Pendukung

Keempat, mengembangkan industri terkait dan pendukung dengan aliansi antara pemerintah, industriawan, investor, dan peneliti. Mobil Kiat Esemka hasil kreasi pelajar SMK bukanlah saingan bagi industri otomotif dalam negeri. Gaikindo dan semua anggotanya perlu memberikan dukungan kepada para pelajar, seperti bantuan komponen mesin dan pelatihan pembuatan kendaraan, serta peneliti di sejumlah universitas dan 
lembaga penelitian otomotif.

Kementerian Riset dan Teknologi serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu memfasilitasi Riset Unggulan Nasional untuk pengembangan rancang bangun, komponen lokal, dan kluster industri mobnas dari hulu hingga purnajual. Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Industri perlu proaktif menawarkan insentif fiskal (keringanan pajak, seperti Pajak Penjualan atas Barang Mewah), pembebasan bea masuk atas impor komponen tertentu, negosiasi di forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan menentukan arah kebijakan industri mobnas jangka panjang.

Tanpa keempat hal tersebut, mobnas hanyalah angin surga dan impian semata. Atau memang Indonesia adalah surga bagi para raksasa otomotif global? Habis Timor terbitlah Kiat Esemka? ●

◄ Newer Post Older Post ►