DPD Masih Ancam Pers


DPD Masih Ancam Pers
Sabam Leo Batubara, KOORDINATOR MPPI 1998-2003; WARTAWAN SENIOR
Sumber : KOMPAS, 6 Februari 2012


Apakah sikap Dewan Perwakilan Daerah terhadap kebebasan pers sudah lebih reformis dibanding MPR, DPR, dan pemerintah?

Selama ini MPR, DPR, dan pemerintah masih berkultur tak melindungi kebebasan pers, malah masih bertradisi mengekang dan mengancam pers. Dari Naskah Perubahan Kelima UUD 1945 Februari 2011 terkait kebebasan pers, usulan DPD ternyata masih mengancam kebebasan pers, malah mundur ke paradigma otoriter Orde Baru.

Mengancam Pers

Dalam naskah perubahan, Pasal 27F Ayat (2) DPD mengusulkan, ”Negara wajib menjamin kebebasan pers dan kebebasan media lainnya.” Usulan itu masih mengancam pers karena DPD tak menegaskan apakah puluhan UU—seperti KUHP dan Undang-Undang Intelijen—dilarang diberlakukan terhadap pers atau tidak? Jika masih berlaku, usulan amandemen DPD masih mengancam pers. Amandemen pertama konstitusi AS (1791) jelas menjamin kebebasan pers: ”Congress shall make no law... abridging the freedom of the speech, or of the press.” Amandemen yang secara tegas melarang pembuatan UU yang mengancam pers justru diberi payung hukum sebagai hak konstitusional rakyat AS.

Salah satu penyebab keterpurukan rezim Orde Lama dan Orde Baru karena pers tak diberi kebebasan memberi peringatan dini atas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Untuk mencegah ini terulang, sejumlah aktivis kebebasan pers yang tergabung dalam Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) mengajukan Rancangan Ketetapan MPR tentang Kebebasan Informasi ke Sidang Istimewa MPR November 1998. 

Beberapa isi pokok Rantap diakomodasi di Tap MPR agar ”segala peraturan dan perundang-undangan yang membatasi kebebasan pers dilarang,” ditolak oleh MPR.
MPPI melanjutkan perjuangan agar kebebasan pers jadi hak konstitusional, dengan mengakomodasi usulan ini dalam Amandemen II pada Sidang Tahunan (ST) MPR Agustus 2000 ataupun Amandemen IV pada ST MPR Agustus 2002. MPR tetap menolak usul amandemen MPPI.

Pada ST MPR Agustus 2000, MPR menetapkan Amandemen II UUD 1945 yang memberi kebebasan sekaligus ancaman terhadap pers. Berdasarkan Pasal 28E dan 28F—dapat diinterpretasikan—pers berhak mengungkap dugaan tentang pejabat, politisi, dan pengusaha yang bermasalah, misalnya dalam kasus tindak korupsi. Namun, Pasal 28G dan 28J juga memberi hak kepada pejabat yang disoroti pers itu untuk mendapat perlindungan hukum. Berdasarkan KUHP pers terkait dapat dipidana penjara dengan tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik.

Akibatnya, karena pasal itu mengancam, pers menghentikan mengungkap, misalnya temuan kasus rekening gendut yang dipublikasikan PPATK. Untuk merevisi Amandemen II, delegasi Dewan Pers menemui Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan menyampaikan surat berisi usulan terhadap Amandemen UUD 1945 (7/8/2007). Usulan berupa penambahan kalimat pada Pasal 28F Amandemen II setelah perkataan ”segala jenis saluran yang tersedia,” ditambahkan ”termasuk melalui pers yang bersumber dari kemerdekaan pers dan disertai jaminan tidak dikenakan adanya undang-undang dan peraturan yang dapat mengurangi kemerdekaan pers.”

Fakta menunjukkan, selama 66 tahun ini DPR dan pemerintah telah menerbitkan puluhan UU yang mengancam pers dan satu UU yang melindungi kebebasan pers, yakni UU No 40/1999 tentang Pers. Pada tahun 2008 saja, DPR dan pemerintah menerbitkan lima UU yang sejumlah pasalnya mengancam pers.

Langkah Mundur

Ketika RUU Pers diperdebatkan di publik, kemudian dibahas di DPR tahun 1999 terkait desain Dewan Pers muncul pilihan apakah melanjutkan ketentuan UU Pokok Pers No 21/1982 dan PP No 1/1984 bahwa Dewan Pers dipilih Menteri Penerangan atau melakukan perubahan berdasar paradigma demokrasi? UU No 40/1999 tentang Pers memilih ”sembilan anggota Dewan Pers dipilih oleh komunitas pers.”

Dalam naskah perubahan kelima UUD 1945 pada Pasal 30G, DPD mengusulkan pembentukan ”Komisi Kebebasan Pers (KKP) berwenang memajukan, menjaga, dan melindungi kehidupan pers yang bebas.” Komisi ini hasil peleburan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia dan anggotanya dipilih DPR.

Usulan DPD agar komisi itu dipilih DPR sama dengan kembali ke paradigma rezim Orba yang otoriter. DPD tentu paham, sebagian besar anggota dewan, parpolnya sama dengan parpol pendukung pemerintah. Selain itu, menurut paham demokrasi, fungsi pers sebagai kekuatan keempat demokrasi adalah mengontrol legislatif, pemerintah, dan yudikatif, bukan sebaliknya.

DPD tak mengetahui tahun 1999 pemerintah mencoba menyatukan RUU Pers dan RUU Penyiaran dalam satu RUU Media Massa. Turunannya melebur Dewan Pers dan KPI dalam satu komisi. Aktivis prodemokrasi dan kebebasan pers menolak karena RUU tersebut mengatur dua media yang berbeda karakteristik.

Media penyiaran memerlukan frekuensi; lewat pesawat televisi dan radio kontennya bebas memasuki ruang keluarga. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang ketat oleh negara, antara lain persyaratan izin penyelenggaraan penyiaran. Izin itu dapat dicabut. Sementara media cetak tidak perlu frekuensi, tak memerlukan regulasi pemerintah, cukup dengan swaregulasi, dan tidak memerlukan izin penerbitan. Media cetak masuk ruang keluarga karena dikehendaki.

DPD juga kurang paham, sebagian besar konten media penyiaran hiburan bukan produk pers. Komisi mana yang mengawasinya? Sementara KKP tak berhak melakukan. Jika DPD punya kemauan politik memperjuangkan negara wajib jamin kebebasan pers berdasar paradigma demokrasi, amandemennya harus menempatkan kemerdekaan pers sebagai hak konstitusional warga negara dengan rumusan Pasal 28F dilanjutkan dengan ”termasuk melalui pers yang bersumber dari kemerdekaan pers dan disertai jaminan tidak dibenarkan adanya undang-undang dan peraturan yang dapat mengurangi kemerdekaan pers.”

Atau, merevisi usul perubahan Pasal 28F Ayat (2) jadi, ”Negara wajib menjamin kemerdekaan pers dan melarang segala peraturan dan perundang-undangan yang membatasinya.” Rumusan perubahan sebaiknya menggunakan istilah kemerdekaan pers agar sesuai kata kemerdekaan Pasal 28 UUD 1945. Amandemen dengan salah satu rumusan ini dengan sendirinya meniadakan usul perubahan Dewan Pers dan KPI menjadi satu komisi. ●

◄ Newer Post Older Post ►