Antara Jembatan Lebak dan Max Havelar


Antara Jembatan Lebak dan Max Havelar
Endang Suryadinata, ALUMNUS ERASMUS UNIVERSITEIT ROTTERDAM-BELANDA
Sumber : SINAR HARAPAN, 9Februari 2012


Nyaris setiap hari selalu ada kisah pilu di negeri ini. Salah satu kisah pilu yang baru-baru ini jadi sorotan adalah jembatan gantung di atas Sungai Ciberang yang menghubungkan Desa Sangiang Tanjung, Kecamatan Kalanganyar, dengan Desa Pasir Tanjung, Kecamatan Rangkasbitung.

Jembatan gantung yang rusak itu menjadi sangat terkenal setelah diberitakan koran Inggris Daily Mail. Jembatan “Indiana Jones”, begitulah  nama yang diberikan oleh koran asal Inggris itu. Dinamai demikian karena tiap hari anak sekolah dan warga yang hendak menyeberangi jembatan, harus membahayakan keselamatan diri seperti dalam film Indiana Jones.

Lalu televisi-televisi  Indonesia mem-blow-up jembatan itu. Stasiun televisi China, CCTV 4 juga menayangkan masalah ini.Pesepak bola profesional asal Belgia Vincent Kompany yang bermain di klub Manchester City juga miris melihat anak-anak sekolah harus berjuang melintasi jembatan itu. 

Pesan 

Bupati Lebak, Mulyadi Jayabaya memang sudah menutup jembatan itu mulai Senin (23/1).Tapi jembatan rusak itu sudah telanjur membawa pesan betapa amburadulnya pengelolaan negara ini sehingga hanya menyejahterakan segelintir elite, tapi menyengsarakan rakyat banyak, khususnya wong cilik.

Simak berbagai komentar di  Facebook atau Twitter yang  mengecam para elite, yang tega menikmati fasilitas mewah dan berlimpah di tengah penderitaan warga.
Entahlah, ketika melihat jembatan itu di You Tube, ingatan penulis langsung melayang pada Max Havelaar (Selanjutnya disingkat MH).

Seperti diketahui, MH adalah judul sebuah novel yang ditulis Eduard Douwes Dekker yang memakai nama samaran Multatuli atau “Aku Sudah Banyak Menderita” (1820-1887). Buku yang ditulis dalam tempo sebulan pada 1859 di sebuah losmen di Belgia itu, lalu diterbitkan pada 1860.

MH ditunjuk jadi wakil residen di Keresidenan Lebak yang membawahi beberapa kabupaten di Banten pada 1850-an. Sebagai orang Belanda yang baru tiba di tanah jajahan, ia gemar mengamati dan mengkritik keadaan. Entah apa komentarnya, andai dia melihat jembatan rusak di atas, pasti dia prihatin.

Dulu, MH begitu prihatin melihat perilaku dan mentalitas birokrat seperti ditunjukkan Bupati Lebak, Raden Adipati Karta Natanegara. Sebagai asisten residen yang baru, sesaat setelah tiba di Rangkasbitung, MH melihat rakyat Lebak hidup sengsara dan miskin akibat diperas sang bupati, keluarga dan menantunya yang menjabat sebagai Demang Parangkujang. MH menilai bupati telah memeras rakyat (knevelarijn). 

Hati MH secara khusus amat terpukul melihat penderitaan para kuli di perkebunan kopi. Mereka diperas oleh para mandor, para demang, dan para bupati. MH tak mau sekadar prihatin atau berempati. Dia berusaha mencari bantuan agar penjajahan atas manusia kuli di perkebunan kopi bisa diakhiri.

Dia melaporkan ke atasan atau pejabat yang lebih tinggi, namun tak ada jawaban memuaskan. Akhirnya MH mendesak Gouverneur-general, penguasa tertinggi di  Hindia Belanda agar ada hati nurani untuk para kuli di perkebunan kopi.

Tentu saja MH tak lupa menentang “Indische Baten”, suatu keuntungan yang dinikmati Belanda dari sistem tanam paksa (cultuurstelsel), sistem yang diperkenalkan oleh Van den Bosch tahun 1830. Tulang punggung sistem ini adalah kaum bangsawan feodal.

Relevansi

MH sudah menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Belanda. Melihat sikon Indonesia terkini, penulis jadi berpikir, buku itu seharusnya juga menjadi bacaaan wajib bagi para birokrat Indonesia saat ini. Pesan Max Havelaar jelas masih relevan dengan kondisi kita.
Mengapa? Karena kondisi Indonesia pada 2012 ternyata tidak beda jauh dengan kondisi 1860.  Misalnya, kini makin banyak suara di Tanah Air menyebutkan, penjajahan itu masih berlangsung. Malah penjajahan terasa kian pedih karena banyak yang merasa dijajah oleh  sesama anak bangsa, seperti dirasakan warga Mesuji, Bima, dan Papua.

Penjajahan itu bukan ilusi. Simak perilaku para pejabat pemerintah yang  lebih berorientasi melayani egosentrismenya ketimbang melayani rakyat. Simak beragam proyek seperti renovasi ruang Banggar, toilet, dan tempat parkir DPR yang bertujuan memanjakan ego para wakil rakyat. Apa yang dilakukan DPR (baca: Dewan Penindas Rakyat) itu jelas sungguh menyakiti rakyat. 

Memang menyedihkan jika jaksa, hakim, gubernur, menteri, hingga lurah di desa justru terus-menerus mencari sesuatu demi kesejahteraan diri, bukan kesejahteraan bersama (bonum commune). Inilah ironi sehingga negeri ini terasa kian absurd dan buram potretnya.

Bahkan dari kasus korupsi seperti kasus wisma atlet dan berbagai kasus lain yang menyeret polisi, jaksa, hakim, dan pengacara membuat rakyat makin muak. Moralitas para aparat, penegak hukum, dan pejabat publik benar-benar sudah busuk. Praktik politik yang mengabaikan etika marak di mana-mana.

Rakyat, khususnya “wong cilik” kini menjadi apatis dan kehilangan kepercayaan. Tidak ada lagi “jembatan” yang menghubungkan hati wong cilik dengan hati para elite dan penguasa. “Jembatan” itu sudah dirusak oleh para elite dan penguasa kita.

Bila kepercayaan rakyat pada pemerintah sudah rendah dan tidak ada perbaikan yang radikal serta mendasar, pemerintahan bisa terjun bebas menuju enthropic government yang tinggal menungggu keruntuhannya saja, seperti tesis Karl D Jackson dalam The Prospects for Bureaucratic Polity in Indonesia. Pemerintah atau DPR jangan menulikan telinga dari kritik yang mencoba mengingatkan.

Tapi apa yang terjadi? Pemerintah lebih suka membela diri dengan menonjolkan indikator pertumbuhan ekonomi yang diapresiasi pihak asing. Padahal, dalam konteks hilangnya kepercayaan rakyat pada pemerintah, jangan lagi bicara pertumbuhan ekonomi.

Rakyat, khususnya wong cilik tak peduli RI sudah naik peringkat. Seperti diketahui, lembaga pemeringkat internasional, Fitch Ratings baru menaikkan peringkat utang Indonesia ke level investment grade (layak investasi). Lembaga pemeringkat internasional Moody’s Rating juga baru menaikkan peringkat utang luar negeri Indonesia dari Ba1 menjadi Baa3.

Wong cilik hanya rindu harga kebutuhan pokok jadi murah, menyekolahkan anak tak kesulitan, transportasi aman, lancar serta tidak diperkosa, upah kerja layak, dan sebagainya. Apa artinya? Makro ekonomi membaik, tapi wong cilik terus  menjerit dan jauh dari kondisi sejahtera?

Maka rakyat sungguh merindukan sosok-sosok pemimpin yang bisa kembali berempati dengan penderitaan dan masalah rakyat. Mendesak ada pemimpin yang mampu membuat “jembatan” dengan hati rakyat yang sudah telanjur apatis dan kehilangan kepercayaan. Rakyat merindukan sosok pemimpin dengan spirit seperti MH. 

Meski bukan Mesias, asisten residen Lebak itu berani menyuarakan kebenaran sehingga tidak pernah sibuk membuat kebohongan atau menonjolkan politik pencitraan.

MH juga berusaha mengakhiri segala bentuk ketidakadilan bagi rakyat, tanpa risiko takut kehilangan jabatan. Karena jabatan sebenarnya adalah amanat dan mandat rakyat, bukan sesuatu untuk yang lantas dipamer-pamerkan, lalu dimanfaatkan untuk memperkaya diri di tengah penderitaan rakyat. ●
◄ Newer Post Older Post ►