Orientasi Jurnal Ilmiah


Orientasi Jurnal Ilmiah
Agus Mutohar, MAHASISWA PROGRAM PASCASARJANA LEARNING TECHNOLOGIES 
UNIVERSITY OF TEXAS AT AUSTIN
Sumber : SUARA MERDEKA, 8Februari 2012


KEMENDIKBUD lewat Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti), baru saja menerbitkan peraturan yang mengharuskan mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 menerbitkan karya ilmiah sebagai salah satu syarat kelulusan. Dalam Surat Edaran Nomor 152/E/T/2012, Dikti mengharuskan mahasiswa program sarjana menerbitkan makalah di jurnal ilmiah lokal. Mahasiswa program master harus menerbitkan makalah di jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi Dikti. Adapun mahasiswa program doktor harus menerbitkan karya ilmiah di jurnal internasional.

Upaya memajukan roh penelitian dunia akademis itu menuai berbagai kontroversi dari berbagai pihak, termasuk beberapa kampus. Seharusnya kebijakan tersebut patut diapresiasi karena budaya menulis dan meneliti masih sangat rendah di kalangan akademisi Indonesia. Berdasarkan data Dikti 2010, hanya ada dua jurnal ilmiah yang terakreditasi A, dan 26  jurnal ilmiah terakreditasi B. Bahkan menurut Dirjen Dikti, terbitan jurnal ilmiah Indonesia masih sepertujuh dari jurnal ilmiah Malaysia (Kompas, 03/02/12).

Langkah maju menggenjot budaya penelitian kampus Indonesia patut ditanggapi positif. Namun, perlu beberapa pembenahan untuk memuluskan inisiatif tersebut. Rendahnya hasil karya ilmiah mahasiswa di kampus tidak dapat dilepaskan dari rendahnya budaya meneliti para dosen. Mahasiswa perlu bimbingan bagaimana cara meneliti dan menulis yang baik agar mereka bisa menjadi peneliti andal.

Produktif

Sebagai contoh, ada ungkapan menarik berkaitan dengan budaya menulis dan meneliti di kalangan pengajar di universitas Amerika Serikat yaitu publish or perish: terbitkan atau binasakan. Untuk bisa menjadi pengajar atau profesor tetap di universitas di Amerika atau sering disebut tenure, seseorang harus mampu mengajar dan juga memublikasikan karya ilmiah. Jika dua kualitas tersebut tidak terpenuhi, pihak universitas bisa memberhentikan pengajar tersebut kapan saja. Tak ayal jika tiap tahunnya, seorang pengajar sangat produktif menghasilkan karya ilmiah.

Dikti bisa mengadopsi aturan itu, misalnya membuat aturan seperti memberikan penghargaan untuk dosen yang menerbitkan karya ilmiah di tingkat internasional untuk memacu kinerja mereka sekaligus menyuburkan budaya meneliti di kampus. Jika sebuah universitas memiliki dosen-dosen mumpuni dalam penelitian, pastilah lahir pula mahasiswa yang mumpuni dalam meneliti.

Bergulirnya aturan yang mengharuskan lulusan perguruan tinggi menerbitkan karya ilmiah di jurnal, bisa memunculkan jurnal abal-abal dan tidak berkualitas karena hanya dianggap orientasi persyaratan. Untuk mencegah munculnya jurnal abal-abal, perlu upaya sistematis mengenai aturan proses penerbitan jurnal ilmiah.

Salah satu contohnya adalah proses review jurnal. Aturan penerbitan jurnal kelas internasional biasanya mengharuskan proses peer review atau review oleh beberapa ahli. Proses itu untuk menjaga kualitas dan kredibilitas sebuah jurnal ilmiah. Biasanya proses itu dilakukan secara tertutup atau blind review, artinya penerbit menyembunyikan identitas penulis karya ilmiah dalam prosesnya untuk mengedepankan aspek netralitas di kalangan editor. Dalam hal ini, Dikti harus berperan aktif dalam proses akreditasi jurnal di beberapa kampus agar menghasilkan karya ilmiah berkualitas baik. Jika tidak, akan menjamur jurnal abal-abal seperti menjamurnya sertifikat palsu dalam proses sertifikasi guru.

Kualitas

Kekhawatiran mengenai tidak cukupnya jurnal ilmiah yang akan menampung karya mahasiswa Indonesia (Kompas, 04/02/12)  sangat tidak beralasan karena ada ribuan jurnal di dunia yang siap menerima tulisan asal sesuai dengan kualitas dan standar penerbit.

Namun, bahasa bisa menjadi kendala besar karena rata-rata jurnal internasional mengharuskan karya ilmiah ditulis dalam Bahasa Inggris. Karena itu, pihak kampus perlu mengajarkan tata cara menulis karya ilmiah dalam Bahasa Inggris, selain Bahasa Indonesia, untuk meningkatkan kualitas mahasiswa Indonesia di kancah global. Perguruan tinggi sudah saatnya menjadi barometer budaya meneliti. Tri darma perguruan tinggi yang salah satunya adalah penelitian harus benar-benar diaplikasikan dalam wujud nyata.

Laporan dari organisasi internasional, seperti UNESCO dan OECD menyatakan bahwa budaya penelitian sebuah negara berbading lurus terhadap kemajuan ekonomi negara tersebut. Hasil satu penelitian bisa menciptakan jutaan lapangan kerja jika ditangani serius.

The University of Texas at Austin contohnya, dari hasil berbagai penelitian dan inisiatif lain dari universitas, tiap tahunnya memberikan dampak 7.4 miliar dolar Amerika terhadap ekonomi lokal dan nasional dengan dibukanya pusat penelitian dan pabrik baru yang bisa membuka jutaan lapangan kerja.
Berdasarkan data Dikti, saat ini terdapat 114 perguruan tinggi negeri dan 301 perguruan tinggi swasta. Ratusan perguruan tinggi tersebut bisa menjadi kekuatan ekonomi bangsa Indonesia jika mampu menelurkan penelitian dan karya ilmiah yang bisa membuka lapangan kerja dan meningkatkan kualitas sektor lain, seperti pendidikan. ●

◄ Newer Post Older Post ►