Amandemen Konstitusi
Moh Mahfud MD, GURU BESAR HUKUM KONSTITUSI
Sumber : SINDO, 11 Februari 2012
Pekan lalu, selama sepekan, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bekerja sama dengan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) menyelenggarakan Pekan Konstitusi.
Kegiatan yang dikemas dalam bentuk perjamuan ilmiah secara maraton selama lima hari itu difokuskan pada kajian konstitusi kita, UUD 1945, baik dasar-dasar filosofi dan konseptualnya maupun dalam implementasinya. Seperti bisa diduga,karena salah satu penyelenggara perjamuan ilmiah itu adalah DPD, pembicaraan selama lima hari itu mencari celah bagi kemungkinan dilakukannya perubahan atas UUD 1945 yang sebenarnya sudah diubah dalam empat tahap perubahan (1999-2002).
DPD sebagai lembaga negara yang lahir dari hasil perubahan UUD 1945 memang gencar memperjuangkan dilakukannya amendemen kembali atas UUD 1945 yang sudah diamendemen itu. Ada yang menilai langkah DPD mengusulkan amendemen kembali (kelima) itu dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan DPD atas fungsinya yang sumir sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat.
Namun, naskah akademik yang diusung DPD sebenarnya mencakup banyak hal lebih komprehensif yang berintikan pada gagasan penguatan sistem pemerintahan presidensial dalam kerangka checks and balances yang ketat. Apa yang diusung DPD tentang perubahan lanjutan atas UUD 1945 hanyalah salah satu arus yang berkembang di dalam masyarakat setelah hampir 13 tahun kita berkonstitusi dengan UUD 1945 hasil amendemen.
Masih ada dua arus lain yang juga muncul di tengahtengah masyarakat,yakni arus yang ingin agar kita kembali ke UUD 1945 yang pertama yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dan arus yang menghendaki agar yang ada sekarang dipertahankan. Arus yang mengehendaki agar kita kembali ke UUD 1945 yang pertama beralasan, hasil perubahan UUD 1945 yang berlaku saat ini menimbulkan kerancuan ketatanegaraan dan terbukti tak bisa membuat Indonesia menjadi lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum UUD 1945 diamendemen.
Sedangkan arus yang menghendaki agar UUD 1945 yang ada sekarang dipertahankan berargumen, konstitusi yang ada sekarang merupakan hasil maksimal yang dicapai sebagai kesepakatan.Menurut penganut arus ini, semua gagasan yang kini disodorkan sebagai gagasan amendemen lanjutan atas UUD 1945 sebenarnya sudah pernah diperdebatkan di dalam forum resmi MPR, tetapi yang disepakati sebagai resultante adalah yang ada dan berlaku sekarang ini.
Adanya diskusi terbuka atas kemungkinan mengubah kembali atau mempertahankan konstitusi yang sedang berlaku seperti yang kita saksikan saat ini merupakan kemajuan dalam kita bernegara. Ini menunjukkan ada kesadaran bahwa bernegara adalah berkonstitusi. Pada masa lalu konstitusi disakralkan, bahkan diberhalakan, sehingga amat sulit dan hampir tak mungkin membicarakan kemungkinan mengubah konstitusi yang sedang berlaku.
Padahal di mana pun di dunia ini tak ada konstitusi yang sakral dan tak bisa diubah. Konstitusi adalah produk situasi era dan area tertentu. Kata begawan konstitusi KC Wheare ia adalah resultante alias kesepakatan para pembentuknya berdasar kebutuhan dan situasi politik, sosial, dan ekonomi pada saat dibuat. Konstitusi bisa berubah karena perubahan waktu dan perbedaan situasi tempat.
Sebab itu, biarlah debat publik tentang eksistensi konstitusi ini berlangsung.Tak boleh ada di antara kita yang mengharamkan gagasan perubahan konstitusi sebab sikap seperti itu sama belaka dengan menjadi Orde Baru yang baru. Begitu pun harus diingat pula oleh mereka yang menginginkan perubahan kembali bahwa apa pun hasil perubahan itu kelak pasti ada lagi yang tak menyetujuinya. Dalam pengalaman kita bernegara sudah berkali-kali kita mengubah konstitusi, tetapi begitu disahkan selalu ada yang tak puas atas hasilnya.
UUD 1945 yang pertama, yang disahkan pada 18 Agustus 1945, sudah kontroversi sejak awal sehingga selain oleh Bung Karno disebut sebagai UUD kilat yang harus diterima dulu demi kemerdekaan di dalam Aturan Tambahan pun ditentukan bahwa UUD tersebut harus dibicarakan kembali oleh MPR hasil pemilu. Konstitusi RIS yang diberlakukan sejak 27 Desember 1949 sudah dimosi (ada Mosi Integral Natsir) sebelum sampai empat bulan sejak berlakunya.
Begitu juga UUD Sementara 1950 yang diberlakukan sejak Agustus 1950 sejak awal sudah banyak yang menolak sehingga diberi embelembel kata ”sementara”. Jadi yang harus diingat, kenyataan bahwa konstitusi adalah hasil kesepakatan pembentuknya yang berwenang yang sebenarnya tidak bisa dikatakan baik atau buruk dan tidak bisa dikualifikasi sebagai benar atau salah.
Konstitusi harus ditaati dan ditegakkan oleh negara bukan karena secara hakiki ia baik atau benar, melainkan karena disepakati oleh mayoritas pembentuknya untuk diberlakukan berdasar prosedur yang konstitusional pula. Jika terhadap konstitusi yang sudah diberlakukan secara sah itu ada yang memandang perlu untuk dilakukan perbaikan,peluang itu harus dibuka secara demokratis sebab sebagai produk era dan area konstitusi itu memang bisa berubah jika era atau situasi poleksosbud areanya berubah.
Yang penting konstitusi yang sudah diberlakukan secara sah dan belum diubah harus ditaati dan ditegakkan secara konsekuen. Itulah makna dari dalil bahwa ”bernegara adalah berkonstitusi”. ●