Apakah Wartawan Perlu Sertifikasi?


Apakah Wartawan Perlu Sertifikasi?
Ignatius Haryanto, DIREKTUR EKSEKUTIF LEMBAGA STUDI PERS DAN PEMBANGUNAN, JAKARTA
Sumber : SINAR HARAPAN, 10 Februari 2012


Dalam dua tahun belakangan, wacana soal sertifikasi wartawan sudah menjadi lebih praktis ketimbang ketika dibicarakan 13 tahun lalu, di masa pemerintahan Habibie.
Reaksi pertama yang kala itu muncul adalah penolakan. Banyak pihak khawatir sertifikasi yang dimaksudkan untuk menjamin adanya standar kompetensi tertentu para wartawan, akan mudah jatuh dan diselewengkan penguasa untuk kembali mengontrol pers.
Memang saat itu adalah masa yang masih belum lama keluar dari otoritarianisme Orde Baru, sehingga sindrom “emoh negara” memang masih sangat kental.

Pers kala itu masih punya ingatan segar akan pemberedelan pers, pemaksaan masuk dalam organisasi kewartawanan, sistem perizinan, sistem rekomendasi untuk jadi pemimpin redaksi atau pemimpin umum, dan lain-lain.

Kini setelah masa Reformasi berjalan hampir 14 tahun, apakah yang bisa kita pertimbangkan atas ide sertifikasi wartawan ini?

Sertifikasi wartawan jika dilihat dari proses pembuatannya harus kita lihat sebagai hal positif. Dewan Pers menginisiasi berbagai kegiatan untuk menyusun standar kompetensi wartawan, dan setelah standar tersebut disusun, dihasilkanlah sejumlah penatar atau penguji standar kompetensi tersebut.

Mereka yang berhasil lolos dari standar kompetensi ini layak menerima sertifikat. Ini semacam cap atau tanda bahwa mereka adalah wartawan yang memang profesional.
Namun dalam pelaksanaan di lapangan, ke mana arah sertifikasi ini? Ini yang harus cermat dilihat. Sertifikasi di satu sisi memberikan jaminan bagi kelompok masyarakat lain (juga bisa berarti narasumber para wartawan atau kelompok profesional lain) bahwa wartawan yang memiliki sertifikat adalah wartawan yang memang profesional.

Ia telah melewati proses panjang untuk menjadi seorang wartawan profesional. Tetapi kita harus tetap melihat hal ini sebagai suatu yang sifatnya sukarela dan bukan pemaksaan.

Dengan tetap sadar bahwa banyak masalah ada pada sejumlah komunitas wartawan, saya agak khawatir jika sertifikasi ini disalahgunakan untuk menjadi bagian dari cara baru bagi wartawan terlibat dalam aneka manipulasi. Sama seperti SIM atau KTP yang masih bisa dibuat karena pesanan tertentu, saya berharap proses sertifikasi wartawan jangan jatuh dalam kondisi serupa.

Di sini kata kuncinya adalah mekanisme kontrol dari pihak organisasi wartawan atau lembaga yang mengeluarkan sertifikasi dan juga mekanisme adanya pelaporan dari masyarakat atau pihak yang dirugikan atas wartawan yang tidak profesional, serta adanya sanksi yang tegas bagi para pelanggar kode etik jurnalistik atau para penyalah guna sertifikat wartawan.

Jika mekanisme semacam ini ada, kita bisa lebih berharap sertifikasi memang menuju pada perbaikan profesionalisme para wartawan di Indonesia.

Makna Kontekstual

Kita tentu berharap wartawan menjadi makin profesional. Bukan dalam arti penghasilannya bisa menyamai profesi-profesi lain, tetapi terutama dalam hal bagaimana mereka menjadi relevan bagi kehidupan publik saat ini. Di tengah derasnya persaingan dan hiruk pikuk dalam industri media, kita melihat para wartawan kerap terombang-ambing di dalamnya.

Lansekap media yang baru—dengan penuh teknologi canggih, kecepatan penyampaian berita, simpang siurnya informasi—membuat wartawan tidak mudah beradaptasi. Mungkin lebih banyak pertanyaan hadir ketimbang jawaban yang ditemui oleh para wartawan zaman sekarang.

Bagaimanapun juga kita perlu kembali pada etos kerja seorang jurnalis yang sesungguhnya. Kekuatan jurnalis terletak pada makna kontekstual yang ia bisa berikan kepada pembaca, penonton, atau pendengarnya.

Jurnalistik untuk kepentingan publik. Itulah pendasaran yang selalu ditekankan duo jurnalis senior Amerika, Bill Kovach & Tom Rosenthiel, baik dalam buku Elements of Journalism (2001) maupun Blur: How to Know the Truth in the Age of Information Overload(2010).

Pertanyaan mendasar yang harus diajukan pada masa sekarang harusnya demikian: dengan segala kemudahan teknologi yang ada, kecanggihan cara pengiriman berita, apakah hal ini mempertinggi mutu wartawan zaman sekarang, atau sebaliknya, malah para wartawan menjadi makin malas?

Ada beberapa contoh misalnya: ada wartawan yang merasa sudah puas untuk menghubungi narasumber atau mencoba meminta komentar narasumber hanya lewat SMS, atau mengirim pesan via BlackBerry.

Jika narasumber tak menjawab, ia cukup menulis “narasumber sudah kami kontak via SMS, BBM, namun mereka tidak merespons”. Apakah kerja jurnalistik seperti ini cukup memadai?

Kesungguhan kerja wartawan harusnya tetap dipertahankan. Cepat puas diri, malas, tidak mau mengembangkan diri, dan sok tahu adalah bagian dari perangai wartawan yang justru akan perlahan-lahan membunuh jurnalisme.

Tanpa keingintahuan yang makin tinggi, kemauan untuk terus belajar, wartawan akan berhenti berpikir. Jika sudah berhenti berpikir, ia pun akan setop menghasilkan karya-karya terbaik. Kalau sudah begini, publik juga yang akan dirugikan.

Kembali pada soal sertifikasi, wartawan yang sungguh-sungguh bekerja dengan memiliki etos yang kuat, tidak perlu khawatir soal sertifikasi. Pun tanpa sertifikasi, jika wartawan tersebut menunjukkan karya-karya yang baik dan relevan untuk publiknya, wartawan seperti ini sudah beyond dari soal sertifikasi.

Jadi buat saya perlu atau tidaknya sertifikasi harus dibuktikan dari pekerjaan sesungguhnya para wartawan, menghasilkan karya yang relevan bagi publik, menjadi instansi kritis bagi para penguasa, dan menjadi mata hati kehidupan masyarakat luas. Tanpa itu, lupakan sertifikasi, karena itu artinya pula jurnalisme telah mati. ●
◄ Newer Post Older Post ►