Pemerintah Galau


Pemerintah Galau
A Tony Prasetiantono, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK
UGM, YOGYAKARTA
Sumber : KOMPAS, 6 Februari 2012


Status investment gradeyang diberikan oleh lembaga pemeringkat Fitch dan Moody’s kepada Indonesia mulai memberikan hasil. Indeks Harga Saham Gabungan, pekan lalu, kembali menembus 4.000. Level psikologis yang sangat dibutuhkan untuk membantu kinerja perekonomian Indonesia tahun ini. Mata rantai berikutnya, kurs rupiah kembali menguat ke level Rp 9.000 per dollar AS.

Selain status investment grade, hal positif lain ditunjukkan oleh inflasi Januari 2012 yang hanya 0,76 persen. Biasanya pada Januari inflasi selalu tinggi, sekitar 1,0 persen. Secara tipikal, hujan deras dan banjir pada Januari serta gangguan transportasi berujung pada inflasi. Namun, tahun ini kondisi cuaca tidak terlalu ekstrem sehingga inflasi juga cenderung ”jinak”.

Inflasi year on year kini hanya 3,65 persen. Berarti, tren inflasi rendah masih berlanjut. Bahkan, Bank Indonesia (BI) juga kembali punya opsi untuk menekan BI Rate yang kini 6,00 persen. Harapannya agar bank menurunkan suku bunga dan mendorong kegiatan kredit lebih agresif. Ekspansi kredit kini 25 persen, sudah termasuk tinggi dalam sejarah perbankan kita.

Bisa dimengerti jika BI ingin ekspansi lebih besar. Pertama, rasio kredit berbanding produk domestik bruto kita yang hanya 30 persen, jauh dibandingkan negara emerging market lain yang di atas 100 persen.

Kedua, untuk mendorong bank agar tidak menyimpan likuiditasnya di BI dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia. Masih banyak bank—terutama bank besar—yang rasio kreditnya (loan to deposit ratio/LDR) rendah, yakni di bawah 70 persen. LDR bank yang moderat adalah 80 persen dan agresif pada 90 persen ke atas.

Namun, masalahnya, BI juga harus berhitung lebih cermat. Jika BI Rate diturunkan menjadi 5,75 persen, apakah tidak mengusik ketenangan rupiah? Jangan sampai jika suku bunga deposito diturunkan, para penabung justru mengalihkan dana mereka ke dollar AS. Akibatnya, kurs dollar AS akan menguat, sebaliknya rupiah akan melemah.

Sejak krisis subprime mortgage 2008 di Amerika Serikat, dinamika mata uang dunia punya pola yang menarik. Kurs dollar AS tiba-tiba bisa menguat justru karena berbagai situasi buruk. Saat saham-saham di Wall Street berguguran menyusul kebangkrutan Lehman Brothers, medio September 2008, dollar AS justru menguat. Alasannya karena investor global menarik dana mereka dari pasar modal di seluruh dunia dan dikembalikan ke New York.

Hal sama terjadi saat krisis zona euro kian kritis, dengan jatuhnya ekonomi Yunani (2010) dan Italia (2011), dollar AS juga terindikasi menguat. Juga saat ekonomi Spanyol ikut kritis dengan pengangguran 23 persen, dampaknya euro melemah dan dollar AS menguat. Rupiah pun melemah.

Lalu, kapan rupiah menguat? Rupiah menguat saat investor global mulai melakukan konsolidasi. Ke mana dananya mesti dialirkan. Pilihannya, tentu kepada negara-negara emerging market yang paling stabil dan prospektif, yakni China, India, Brasil, dan Indonesia. Saat itulah rupiah menguat lagi.

Kalkulasi yang perlu dilakukan BI adalah sampai seberapa rendah—how low can you go—suku bunga Indonesia masih menarik bagi investor agar tetap memegang rupiah? Sementara itu, data yang harus dipertimbangkan adalah cadangan devisa kini 110 miliar dollar AS. Level ini relatif konstan beberapa bulan terakhir, tetapi jauh dari 124,5 miliar dollar AS pada Agustus 2011.

Rekomendasi saya, BI Rate tetap 6 persen, melihat perkembangan. Jika rupiah stabil dan menguat serta dana global masuk lebih cepat sehingga cadangan devisa naik, saat itulah BI Rate layak diturunkan menjadi 5,75 persen.

Dalam kepentingan lain, rendahnya inflasi saat ini sebenarnya merupakan momentum bagus bagi pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Jika dibiarkan, tahun ini subsidi BBM sebesar Rp 150 triliun, ditambah subsidi listrik Rp 50 triliun.

Setidaknya, timbul tiga kegalauan dalam hal ini. Pertama, jumlah subsidi itu tak masuk akal dibandingkan dengan volume APBN 2012 sebesar Rp 1.418 triliun. Ini jelas tidak sehat dan mengancam keberlanjutan APBN.

Kedua, subsidi BBM yang terus-menerus dan membesar menyebabkan masyarakat lengah untuk tidak efisien. Efisiensi bukanlah hal yang dapat dilakukan secara sukarela atau diwacanakan, tetapi perlu ”agak memaksa”.

Ketiga, kesalahan alokasi subsidi BBM akan terus berlanjut. Ini tidak adil karena sebagian orang kaya justru menikmati subsidi BBM. Kegalauan ini harus dihentikan.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengusulkan agar pemerintah memberi subsidi secara konstan. Artinya, harga BBM bersubsidi akan dinaikkan, tetapi kemudian harganya akan berfluktuasi menyesuaikan dengan dinamika harga minyak dunia.
Apa pun alasannya, ide ini kemajuan. Jauh lebih bisa diterima daripada ide membatasi konsumsi BBM yang sangat rawan kericuhan. Sementara itu, ide konversi ke bahan bakar gas perlu dilakukan sebagai strategi jangka menengah dan panjang karena perlu persiapan infrastruktur yang tak sederhana.

Meski demikian, ide Menkeu masih luput menyerap aspirasi keadilan. BBM bersubsidi hendaknya terarah ke kelompok miskin. Kelompok menengah yang memiliki mobil pribadi perlu ”dilatih” agar ke depan membeli BBM yang tak bersubsidi.

Usul saya, BBM bersubsidi (fully subsidized) dengan harga Rp 4.500 per liter hanya pada sepeda motor. Sedangkan untuk mobil pribadi diterapkan periode transisi. Mereka wajib membeli BBM setengah subsidi (partially subsidized), misalnya Rp 6.500 per liter. Sebagian mobil pribadi pasti terpaksa ke pertamax, sebagian lagi terpaksa ”turun kelas” ke sepeda motor.

Ke depan, jika momentumnya baik, harga ini pelan-pelan ditingkatkan mendekati harga keekonomian. Skema ini menjawab beberapa kegalauan sekaligus: (1) menyelamatkan APBN; (2) memaksa masyarakat berhemat dan efisien; serta (3) mewujudkan keadilan subsidi agar tidak terjadi salah alokasi. Kapan saatnya? Secepatnya. Mumpung inflasi sedang rendah. ●

◄ Newer Post Older Post ►