Merenungkan Permintaan Maaf
Triyono Lukmantoro, DOSEN SOSIOLOGI KOMUNIKASI FISIP
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
Sumber : SINDO, 11 Februari 2012
Afriyani Susanti, pengemudi “Xenia Maut” yang menewaskan sembilan orang dalam peristiwa kecelakaan di Tugu Tani akhirnya dijerat dengan pasal pembunuhan oleh pihak kepolisian.
Dengan penerapan pasal itu, Afriyani terancam hukuman penjara selama 15 tahun.Awalnya Afriyani sekadar dikenai Pasal 283,Pasal 287 ayat 5,dan Pasal 310 ayat 1-4 Undang- Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan ancaman hukuman enam tahun penjara. Tuntutan semacam ini dianggap terlampau ringan oleh pihak keluarga korban. Bagaimana mungkin nyawa sembilan manusia “hanya” ditukar dengan mendekam di penjara dalam waktu yang dinilai sangat singkat itu?
Penerapan hukuman yang jauh lebih berat itu,tampaknya, sedikit memberikan kelegaan bagi keluarga korban.Mulyadi, seorang keluarga korban, pernah berkata akan menuntut lewat pengadilan dan bahkan mengancam akan membunuh Afriyani jika tersangka dijatuhi hukuman ringan. “Saya tidak main-main. Jika pelaku dihukum di bawah 10 tahun, saya sendiri yang akan menghukumnya. Saya mau dihukum 10 tahun penjara jika sudah membunuhnya,” ungkap Mulyadi (SINDO,25 Januari 2012).
Reaksi yang kurang-lebih serupa dikemukakan oleh keluarga korban lainnya. Dalam situasi keluarga korban yang dipenuhi kesedihan itu,Afriyani sempat memohon maaf. “Sesungguhnya saya telah merasakan penyesalan yang sangat terdalam kepada semua korban dari saat kejadian tersebut hingga akhir dari perjalanan hidup saya nanti. Terkhusus untuk seluruh keluarga korban… Saya tak lagi bisa berkata- kata untuk mengungkapkan rasa penyesalan yang teramat dalam.Maafkan saya atas semua kehilangan Anda, maafkan saya atas kehilangan cinta Anda, maafkan saya,” tulis Afriyani dengan tinta hitam di surat bermeterai Rp6.000.
Tidak Ditanggapi
Namun, permintaan maaf itu tidak ditanggapi secara baik oleh keluarga korban.Ada yang meminta supaya Afriyani datang sendiri untuk menyampaikan permohonan maaf.Mulyadi bahkan secara tegas tidak akan memberikan maaf.Sekalipun keluarga Afriyani mendatangi rumahnya dan meminta seribu maaf, Mulyadi tetap tidak akan memaafkannya.Apa yang dirasakan Mulyadi dan keluarga korban lain amat dapat dimengerti.
Hukuman dan minta maaf tidak bisa mengembalikan nyawa yang hilang. Meminta maaf yang dilakukan Afriyani sebenarnya memohon ampunan.Pada kejadian itu,pihak yang bersalah memohon ampunan kepada pihak lain yang dilukai.Pada kajian komunikasi, meminta maaf merupakan sebentuk ekspresi dari rasa penyesalan.
Hanya, apakah mungkin seseorang yang telah mengakibatkan kematian bagi anggota-anggota keluarga yang demikian dicintai gampang menerima ampunan? Bukan kenyataan yang janggal apabila mencuat perkataan: “Tiada maaf bagimu!” Itulah yang dikemukakan Mulyadi dan keluarga korban lainnya. Pada konteks demikian menjadi benar pernyataan yang dikemukakan Jacques Derrida (1930-2004) bahwa pada setiap pengampunan pada dasarnya ada persoalan tentang yang tidak bisa diampuni.
Dengan begitu, harus ditegaskan, ungkap Derrida dalam On Cosmopolitanism and Forgiveness (2001), pengampunan dengan sendirinya akan menyatakan tentang kemustahilannya sendiri. Pengampunan merupakan kemungkinan belaka dalam melakukan hal yang mustahil.Pengampunan sejati hanya terjadi pada pemberian maaf terhadap hal yang tidak mampu dimaafkan.
Pernyataan Derrida itu menunjukkan pengampunan memang harus disertai sikap ketulusan. Memaafkan sulit sekali dijalankan karena ada persoalan kejahatan yang memang sulit dimaafkan. Mengampuni atau tidak kesalahan yang telah dilakukan pihak lain merupakan hak individual. Kalkulasi yang bisa digulirkan adalah rasa ke-adilan. Pihak lain yang pernah membuat kesalahan seharusnya dihukum setimpal.
Mekanisme hukum sudah disediakan, terutama untuk kesalahan yang memuat nilai pemidanaan. Tapi, kesetimpalan itu bersifat ilusif.Tidak ada dendam yang bisa terbalaskan dendam. Namun, mungkin saja, ada individu-individu yang rela memaafkan tindakan orang yang telah menyebabkan kematian orang-orang tercinta. Hanya, memberi ampunan lebih menjadi pilihannya.
Mungkin kita bertanya mengapa individu itu lebih mengampuni meskipun dalam sikap bungkam daripada membiarkan dendam terus mencengkeram? Kenapa pembunuhan tidak pula direspons dengan pembunuhan pula? Terdapat lima alasan, sebagaimana diuraikan oleh Vincent R Waldron dan Douglas L Kelley(Communicating Forgiveness, 2008) kenapa individu memberi ampunan.
Pertama, pengampunan dapat memperbaiki relasi-relasi yang sudah rusak. Kedua, pengampunan bisa memperbaiki keadaanbaik individual itu sendiri. Ketiga, pengampunan dapat menjadi ekspresi cinta dan komitmen yang berlanjut. Keempat, pengampunan adalah wujud perilaku pertemanan. Kelima, pengampunan mampu memperbaiki keadilan relasional.
Pertalian Sosial
Pengampunan dalam dimensi itu lebih didorong berbagai kepentingan sosial.Pengampunan itu lebih dilandaskan pada keinginan untuk merajut kembali pertalian sosial yang sedang mengalami kekacauan. Dorongan sosial-eksternal menonjol akibat didasari perhitungan supaya dapat diterima pihak-pihak lain.
Sekalipun begitu, pengampunan atas dasar alasan sosial itu pun lebih baik daripada menciptakan pembalasan (retaliasi) yang hanya mengundang dendam tidak berkesudahan. Dimensi lain yang tidak terpisahkan dari pengampunan adalah nilai psikologis.Ketika perasaan kita terluka akibat perbuatan orang lain pastilah menciptakan trauma.
Pengalaman yang tidak menyenangkan itu apabila diingat kembali justru mengundang rasa marah atau pun setidaknya kejengkelan. Berbagai kejadian traumatis secara sadar sesungguhnya tidak dapat ditoleransi dan akhirnya ditekan dalam ingatan (memori).
Namun, seperti dijelaskan Sharon Heller (Freud A to Z, 2005),ketika trauma tersebut diingat kembali dalam terapi, di bawah hipnosis, kita kemungkinan bisa mengalami pelepasan atau kelegaan.Itulah yang disebut dengan katarsis (catharsis), yang dalam bahasa Yunani berarti “pembersihan” atau “penyucian”. ●