Upah Buruh Naik, Pasti Bisa


Upah Buruh Naik, Pasti Bisa
Premita Fifi Widhiawati, PENDIRI DAN PENGURUS
LEMBAGA EDUKASI, BANTUAN, DAN ADVOKASI HUKUM JURIST MAKARA
Sumber : SINDO, 10 Februari 2012



Pada 27 Januari 2012 demo buruh kembali meruak. Apa yang dituntut para buruh adalah hal yang sangat wajar. Seperti kutipan di awal tulisan ini: hal yang paling diinginkan buruh hanyalah lebih banyak kesempatan untuk mengolah sisi baik kemanusiaan mereka.

Pendapat tersebut dikemukakan Samuel Gompers, pemimpin dan presiden pertama Federasi Buruh Amerika Serikat (AS). Demo besar-besaran buruh di Bekasi kali ini dipicu oleh putusan PTUN Bandung yang memenangkan gugatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) untuk membatalkan SK Gubernur Banten mengenai kenaikan upah minimum kota (UMK).

Kegagalan buruh mendapatkan kenaikan UMK terasa getir mengingat pemerintah rajin mengklaim berbagai indikasi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai keberhasilan pemerintahan Presiden SBY. Sejalan dengan membaiknya ekonomi Indonesia, seharusnya membaik pula nasib buruh sebagai salah satu tulang punggung ekonomi.

Kenyataannya tidak demikian. Penetapan upah buruh dilakukan berdasarkan usulan dari Dewan Pengupahan sebagai buah Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 2004. UMK ditetapkan berdasarkan usulan dari Dewan Pengupahan Kota (Depeko).Keanggotaan Depeko terdiri atas wakil-wakil pemerintah, organisasi pengusaha, serikat buruh/serikat pekerja, dengan perbandingan 2:1:1, ditambah dengan wakil perguruan tinggi dan pakar.

Penentuan upah buruh bergantung pada banyak faktor, terutama angka kebutuhan layak hidup (KHL). Penetapan KHL dilakukan berdasarkan survei Depeko terhadap beberapa komponen kebutuhan hidup. Melihat rumusan di atas, seharusnya semua baik-baik saja, sejak awal perumusan upah sudah melibatkan semua stakeholder. Kenyataannya buruh sering kali merasa tidak terwakili dalam hasil keputusan Depeko.

Sejatinya, upah buruh (hanya) merupakan salah satu faktor dari total biaya perusahaan. Masih banyak biaya lain yang harus dikeluarkan pengusaha untuk kelancaran dan kelanjutan usahanya, termasuk biaya izin dan pungutan dari pemerintah pusat dan daerah. Besarnya biaya izin dan banyaknya pungutan inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara dengan ekonomi berbiaya tinggi.

Ketidakmampuan pemerintah untuk menekan berbagai biaya izin dan pungutan erat kaitannya dengan budaya korupsi yang sangat marak dan mendarah daging. Lantas bagaimana pengusaha menyiasati berbagai biaya tersebut? Salah satu cara yang terpaksa dilakukan adalah memperkecil upah buruh.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah mungkin menaikkan upah buruh sebanyak yang mereka minta? Mengapa pengusaha keberatan untuk menaikkan upah buruh? Apakah pengusaha Indonesia sangat kikir dan kejam terhadap buruh? Atau adakah anasir lain yang menyerap sebagian besar keuntungan pengusaha yang seharusnya menjadi bagian milik buruh? Untuk menjawab pertanyaanpertanyaan di atas, barangkali sekarang saatnya kita semua melihat lebih dalam.

Pihak mana yang sesungguhnya paling diuntungkan oleh buruknya hubungan buruh dan pengusaha? Pihak buruh sudah pasti tidak, mereka bahkan sebenarnya tidak ingin berdemo. Pihak pengusaha apalagi.Kelancaran proses produksi sangat terkait dengan keuntungan perusahaan yang menjadi tujuan pengusaha. Jika dua pihak yang paling berkepentingan tidak mendapatkan keuntungan dari kisruh demo,bisa jadi ada pihak ketiga yang senang mengail di air keruh.

Melihat pada predikat ekonomi berbiaya tinggi dan kokohnya korupsi di negara kita,besar kemungkinan para koruptorlah yang paling diuntungkan oleh demo buruh. Seperti dikatakan oleh pengamat dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Euginia Mardanugraha, “Pengusaha tidak mampu membayar upah minimum karena biaya-biaya lainnya tinggi, termasuk pungutan- pungutan liar dan izinizin berusaha yang tinggi sehingga persoalan upah minimum terkait dengan biaya nonproduksi itu.”

Pengusaha yang baik pasti memiliki keinginan kuat untuk menaikkan upah buruh dan pegawai mereka. Sedari awal pengusaha sadar bahwa buruh adalah mitra penting dalam mencapai tujuan perusahaan. Menaikkan upah buruh adalah hal logis yang akan mereka lakukan, sama sekali tidak ada keengganan untuk itu. Kendalanya adalah jika keuntungan perusahaan terus tergerus oleh banyak dan mahalnya biaya izin dan pungutan yang harus dikeluarkan pengusaha.

Sangat elok jika pengusaha dan buruh bersama-sama menghadapi masalah yang membelit mereka.Jelas bahwa dengan segala hiruk-pikuk demo,merekalah pihak yang paling dirugikan. Pengusaha harus lebih mengakomodasi kepentingan buruh dan buruh juga lebih mengapresiasi perusahaan dengan meningkatkan kinerja.Kenaikan laba perusahaan pada gilirannya akan menaikkan upah buruh.

Yang terpenting adalah keduanya harus bahu-membahu membentengi perusahaan dari perilaku koruptif pihak ketiga yang merugikan perusahaan. Kenaikan upah buruh pasti bisa dilakukan jika pemerintah mampu memberikan iklim berusaha yang baik. Segala aturan pemberantasan korupsi tidak akan ada gunanya bila pemerintah tidak mampu menghilangkan berbagai pungutan yang membebani pengusaha.

Kriteria dan ukuran reformasi birokrasi dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 11/2011 tidak akan berdampak apa pun jika belum tercipta pelayanan publik yang lebih baik.

Sudah saatnya pemerintah (pusat dan daerah) melakukan berbagai pembenahan juga penindakan, terlebih dengan sudah digunakannya Indeks Integritas Nasional (IIN) sebagai tolok ukur pelayanan publik kepada pengusaha dan masyarakat.
◄ Newer Post Older Post ►