Menggagas Sosiologi Pancasila


Menggagas Sosiologi Pancasila
Satrio Wahono, SOSIOLOG DAN MAGISTER FILSAFAT UI
Sumber : SINAR HARAPAN, 10 Februari 2012


Jika ada satu hal yang paling patut disesalkan dari kekuasaan Orde Baru, itulah penyimpangan Pancasila dari ideologi negara menjadi ideologi penguasa. Rezim Soeharto kala itu memperalat Pancasila sebagai justifikasi untuk memberangus aspirasi warga negara demi melanggengkan kekuasaan semata.

Alhasil, tercipta stigma buruk bagi Pancasila. Bahkan, segala ikhtiar ilmiah untuk membuat ideologi itu aktual, seperti konsep Ekonomi Pancasila oleh Mubyarto, hanya mengundang cibiran. Padahal, segala usaha ilmiah tersebut sebenarnya menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang terbuka terhadap kritik sebagaimana fitrah ilmu pengetahuan.

Lagi pula, sebagai pandangan hidup, Pancasila merupakan landasan filosofis kuat bagi siapa pun yang ingin mengembangkannya dalam aras ilmu pengetahuan. Jadi, tentu sah bagi kita merintis “Pancasilaisasi pengetahuan”. Asalkan jangan kebablasan seperti ada istilah menggelikan “Sepak Bola Pancasila” di zaman Orde Baru.

Adapun salah satu bidang yang belum tergarap benar dalam upaya Pancasilaisasi pengetahuan adalah sosiologi. Sebagai ilmu yang menganalisis relasi antara faktor dan aktor sosial dalam fenomena kemasyarakatan, sosiologi selama ini didominasi pemikiran Barat.

Karena itu, jika kita menyepakati Pancasila sebagai pandangan hidup, sudah sepatutnya satu sosiologi khas masyarakat Indonesia—sosiologi Pancasila—dirumuskan.

Mazhab Sosiologi

Dalam pemikiran Barat, berbagai teori sosiologi bisa dikelompokkan ke dalam tiga mazhab arus utama (mainstream). Pertama, mazhab struktural fungsional. Mazhab ini menganggap masyarakat sebagai struktur yang terdiri dari orang-orang yang memiliki fungsinya masing-masing.

Oleh karena itu, masalah sosial diakibatkan tidak berjalannya salah satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut. Sebagai contoh, jika terjadi korupsi, seorang sosiolog akan mencari apakah ada masalah dalam fungsi-fungsi kemasyarakatan, seperti pendidikan dan ekonomi.

Sang sosiolog, misalnya, lantas bisa mengatakan korupsi terjadi akibat pendidikan karakter kita yang bermasalah.

Kedua, mazhab interaksionis-simbolis. Jika mazhab pertama bersifat makro, mazhab ini lebih mikro. Cara kerja sosiolog mazhab ini adalah menganalisis interaksi antaraktor dalam masyarakat, kemudian berusaha meluaskan analisis mikro ini pada tingkatan makro.

Umpamanya, kasus tawuran karena perebutan lahan parkir akan dianalisis lewat interaksi antaraktor utama yang saling bertikai. Jika ditemukan para aktor itu berpandangan masing-masing telah melanggar “daerah kekuasaan” lahan parkir, sang sosiolog akan berusaha meluaskan pandangannya bahwa “daerah kekuasaan” merupakan simbol yang wujudnya bisa bermacam-macam dalam beraneka kasus.

Ketiga, mazhab konflik. Mazhab ini beranggapan masyarakat hanya terdiri dari dua kelas, yaitu kelas borjuis yang menguasai alat produksi dan menjalankan modus produksi kapitalis, dan kelas proletar (buruh) yang tertindas dan tidak memiliki alat produksi.

Berdasarkan ini, masalah pendidikan mahal, misalnya, bisa didekati seorang sosiolog dengan menganalisis apakah sebenarnya ongkos tinggi itu dirancang kaum borjuis demi melanggengkan kekuasaannya atas kaum proletar.

Jalan pikirannya sebagai berikut. Kaum kapitalis menguasai alat produksi, termasuk alat produksi untuk menghasilkan pengetahuan yang bermanfaat bagi dunia kerja, yaitu sekolah.

Selanjutnya, supaya kelas proletar tidak bisa mengancam kekuasaan kaum borjuis, kaum borjuis pun mengkomersilkan pendidikan agar hanya orang berduit yang mempunyai akses ke sana. Akibatnya, mayoritas orang pintar adalah orang berduit dan kekuasaan kaum borjuis pun dapat dipertahankan.

Tiga Asumsi Dasar

Kita lihat betapa ketiga mazhab di atas mengandung ketimpangan. Ada yang terlalu menekankan pada struktur dan menafikan aktor di satu sisi, dan ada yang menekankan pada aktor di sisi lain.

Karenanya, satu sosiologi yang ideal—harapannya Sosiologi Pancasila—adalah yang mampu menyeimbangkan keduanya. Untuk itu, kita perlu memeriksa tiga asumsi dasar yang selalu niscaya dalam sosiologi.

Pertama, asumsi tentang sifat manusia. Fachry Ali dalam Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik (1984) menyatakan Pancasila memandang manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi sehingga manusia bersifat pemelihara.

Artinya, segala bentuk hubungan antara manusia dan lingkungannya adalah fungsional dan memiliki kesalingterkaitan. Ini sekaligus bermakna manusia harus selalu mengembangkan kemampuan-kemampuannya yang berguna untuk dirinya sendiri dan sesama. Dalam asumsi ini, sosiologi Pancasila mirip mazhab struktural fungsional.

Kedua, asumsi tentang masyarakat. Pancasila menolak pandangan yang memberikan penekanan kuat pada individualitas manusia dan paham yang terlalu mengutamakan masyarakat. Pertemuan antara asumsi ini dan realitas bahwa Indonesia memiliki kemajemukan budaya membuat Pancasila tidak mendukung multikulturalisme ataupun uniformisme.

Multikulturalisme adalah pandangan yang memberikan hak bagi semua kaum untuk mengunggulkan budayanya masing-masing secara eksklusif. Sementara itu, uniformisme adalah paham yang ingin menyeragamkan semua kemajemukan budaya ke dalam satu kebudayaan saja, misalnya Jawa.

Bertolak dari jalan tengah ini, sosiologi Pancasila meyakini pertukaran dan dialog sehat antara kebudayaan demi melahirkan simbol-simbol kultural yang bisa ditoleransi bersama.
Sebagai contoh, konsep ukhuwah dalam Islam bisa disimbiosiskan dengan konsep persatuan demi mendukung simbol kebangsaan yang lebih universal. Dalam asumsi ini, sosiologi Pancasila lebih dekat dengan mazhab interaksionis-simbolis.

Ketiga, asumsi tentang fungsi ilmu. Menurut Pancasila, tujuan satu masyarakat adalah memeratakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pendeknya, segala fungsi dalam masyarakat—termasuk ilmu pengetahuan—bertujuan melakukan perubahan sosial lewat upaya penguakan kesadaran kritis masyarakat terhadap ketidakberesan.

Ilmu pengetahuan jadinya bersifat praksis dan membebaskan, berbeda dengan asumsi struktural-fungsional yang sebatas preservatif (melestarikan struktur yang ada) atau interaksionis yang interpretif (hanya menafsirkan). Karena itu, asumsi ketiga ini mendekati mazhab konflik.

Berbekal ketiga asumsi di atas, sosiologi Pancasila ternyata mampu meramu kekuatan-kekuatan dari tiga arus utama dalam mazhab sosiologi Barat. Jika ikhtiar pembuka jalan ini dapat dikembangkan lebih jauh, semoga kita di masa depan benar-benar dapat memiliki suatu bentuk sosiologi Pancasila yang lebih mapan! ●
◄ Newer Post Older Post ►