Rasionalitas Ujian Nasional
Th Rosid Ahmad, MANTAN KETUA MGMP BAHASA INGGRIS SMK
KOTA (DAN EKS KARESIDENAN) SEMARANG
Sumber : SUARA MERDEKA, 10 Februari 2012
SEMESTER genap baru saja dimasuki tapi banyak sekolah, bahkan sejak jauh hari, sudah melakukan berbagai langkah strategis mengantisipasi pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun ini. Kritik dan penolakan terhadap ujian itu silih-berganti mewarnai dunia pendidikan. Muncul segudang argumen kritis rasional pun demi mendukung penolakan itu.
Mereka menilai UN merampas kewenangan sekolah dalam menentukan kelulusan, juga tidak memenuhi kriteria akuntabilitas keadilan karena mencampakkan siswa tidak lulus sebagai korban yang dicap bodoh. Selain meningkatkan angka putus sekolah, UN dianggap menggagalkan Wajib Belajar 9 Tahun.
Mereka menilai UN merampas kewenangan sekolah dalam menentukan kelulusan, juga tidak memenuhi kriteria akuntabilitas keadilan karena mencampakkan siswa tidak lulus sebagai korban yang dicap bodoh. Selain meningkatkan angka putus sekolah, UN dianggap menggagalkan Wajib Belajar 9 Tahun.
Yang cukup mendasar, pelaksanaan UN dinilai bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sidiknas) dan keputusan Mahkamah Agung tanggal 19 September 2009. Dengan bersikukuh melaksanakan UN yang memboroskan anggaran (tahun 2011 Rp 667 miliar), pemerintah dianggap menutup telinga atas masukan masyarakat pendidikan
Anggaplah semua argumen mereka itu benar tapi semata-mata berpegang pada alasan penolakan saja bisa menjerumuskan karena berarti kebenaran hanya dilihat dari satu sisi. Demi penglihatan yang lebih proporsional, selayaknya juga melihat dari sisi lainnya, yakni penyelenggaraan UN.
Tidak bisa dimungkiri, ujian itu turut memberi efek positif dalam pembelajaran. Salah satunya, apa yang dikenal dengan istilah incentive learning, pemacu semangat belajar, baik di kalangan siswa, guru, maupun sekolah. Lewat penyelenggaraan ujian itu, banyak sekolah bekerja keras menyiapkan murid agar lulus secara maksimal. Mereka menerapkan berbagai kiat dan program, dari pemetaan materi esensial sesuai standar kompetensi lulusan (SKL), mapping dan drill soal, bimbingan belajar, sampai klinik belajar.
Sementara itu, sekolah yang memiliki mental juara justru menjadikan ujian itu sebagai ajang bergengsi dalam berkompetisi demi menghasilkan lulusan dengan predikat nilai tertinggi secara nasional.Saat ini sebagian sekolah menambah jam pelajaran sore hari khusus untuk mata pelajaran UN: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Sekolah lain mengajak siswa masuk jam ke nol, mulai pukul 06.00-07.00.
Kredibilitas Sekolah
Lantas, bagaimana jika UN dihapus? Bila itu dilakukan, apalagi waktunya sudah sangat terlambat seperti saat ini, bisa-bisa terjadi chaos di dunia pendidikan: Bagaimana siswa segera bisa studi lanjut ke jenjang lebih tinggi, atau bekerja sebagaimana dirancang sebelumnya? Untuk mengatasinya, mesti diciptakan satu aturan baru dan itu tidak gampang direalisasikan.
Boleh saja berandai-andai, tiap lembaga pendidikan menyelenggarakan ujian sekolah sendiri. Mungkin saja, mayoritas sekolah lantas berhasil meluluskan 100% siswanya. Tapi bagaimana dengan tanggapan masyarakat, khususnya perusahaan yang akan merekrut lulusan? Bisakah sertifikat kelulusan dari tiap sekolah diterima adil tanpa membeda-bedakan sekolah favorit dan sekolah gurem?
Bisa jadi, sekolah yang kurang dikenal menjadi korban. Gara-gara ijazah mereka diragukan, lulusan menemui hambatan melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan. Banyak faktor menjadi penyebab, salah satunya terkait rendahnya kualitas penyelenggaraan ujian.
Sekiranya harus ada perubahan menyangkut UN, selayaknya dilakukan pada awal tahun pelajaran. Dengan mempertimbangkan semua aspek terkait, tidak ada pilihan lain UN harus tetap terlaksana. Yang penting, kegiatan berlangsung tertib tanpa kebocoran sehingga mampu mengukur kompetensi siswa secara benar dan adil. Dengan begitu, kita bisa meningkatkan kualitas pendidikan nasional, dan memotivasi siswa untuk belajar secara optimal. ●