Kemerdekaan Pers Masih Memburuk


Kemerdekaan Pers Masih Memburuk
Sabam Leo Batubara, WARTAWAN SENIOR
Sumber : KORAN TEMPO, 9Februari 2012


Lembaga independen pemantau kemerdekaan pers Reporters Without Borders (RWB), di Paris, 30 Januari 2012, melaporkan indeks kemerdekaan pers 179 negara pada 2011-2012. Peringkat kemerdekaan pers Indonesia menurun 29 poin menjadi ke-146, dibanding ke-117 pada 2010. Ironisnya, posisi kemerdekaan pers Indonesia kini menjadi lebih buruk dari Singapura dan Malaysia. Sementara itu, peringkat kemerdekaan pers pertama hingga kelima adalah Finlandia, Norwegia, Estonia, Belanda, dan Austria. Adapun peringkat terburuk ke-174 hingga 179 Cina, Iran, Syria, Turkmenistan, Korea Utara dan Eritrea.

Menganalisis hasil penilaian tahunan RWB, sepertinya faktorfaktor yang mempengaruhi baikburuknya peringkat kemerdekaan pers di suatu negara adalah, pertama, kebijakan, peraturan, perundang-undangan negara itu mengancam atau melindungi pers? Negara yang politik hukumnya mengkriminalkan pers dinilai masih berpaham otoriter.

Kedua, negara melindungi atau tidak pelaksanaan profesi wartawan. Negara yang melakukan pembiaran kekerasan terhadap wartawan yang melakukan kegiatan jurnalistik berdampak sangat kontributif terhadap memburuknya indeks kemerdekaan pers. Ketiga, tingkat keprofesionalan pers. Penyalahgunaan kemerdekaan pers bukan untuk kepentingan umum juga disoroti oleh RWB.

Memburuknya peringkat kemerdekaan pers Indonesia posisi 2011-2012—menurut saya—karena dua hal berikut ini. Pertama, diundangkannya UU Intelijen (2011) yang beberapa pasalnya mengancam pers menunjukkan pemerintah dan DPR masih menilai pekerjaan jurnalistik juga sebagai kejahatan. Kedua, laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan LBH Pers menunjukkan frekuensi kekerasan terhadap wartawan tiga tahun terakhir semakin buruk. Pada 2009 ada 40 kasus, 2010 sebanyak 46, dan 2011 terjadi 96 kasus. Dari 96 kasus itu, 70 kasus berkategori kekerasan fisik. Enam pelaku utama kekerasan fisik oleh TNI 11 kali, Polri 10, preman 8, petugas keamanan 6, massa 6, dan pelajar 6.

Apa nalarnya peringkat Indonesia lebih buruk dari Singapura dan Malaysia? Membandingkan ketiga negara itu menarik untuk dicermati. Pertama, dari segi UU Pers, kemerdekaan pers Indonesia lebih baik. UU Nomor 40/1999 tentang Pers berpaham demokrasi; meniadakan campur tangan negara dalam penyelenggaraan pers; meniadakan izin untuk penerbitan pers, sensor, dan pembredelan; serta melindungi pers untuk mengontrol penyelenggaraan negara serta melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Kekuatan pers Indonesia sebagaimana dikemukakan tidak dimiliki oleh Singapura dan Malaysia.

Kedua, indeks kemerdekaan pers Indonesia (ke-146), Singapura (ke-135), dan Malaysia (ke122) dinilai sama sangat buruk, jika dibandingkan dengan Timor Leste (86). Mengapa? Karena Timor Leste sudah menyesuaikan politik hukum negaranya dengan ketentuan United Nations Human Rights Committee, yang menyebut: “Penggunaan UU Pidana dengan sanksi penjara bagi gugatan defamation atau libel--seperti fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, dan penistaan--sebagai pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi“.

Ketiga, peringkat kemerdekaan pers Indonesia, Singapura, dan Malaysia sama-sama buruk, tapi Indonesia lebih buruk karena--menurut saya--RWB merekam bahwa, di Indonesia, negara melakukan pembiaran terhadap semakin meningkatnya kekerasan terhadap wartawan. Pemim pin redaksi mingguan Pelangi, Alfrets Mirulewan, di Maluku Barat Daya, pada De sember 2010, ter bunuh. Di Tual, Maluku, (21 Agustus 2010) wuran antara pe terjadi tawuran antara pemuda desa A dan B. Wartawan Sun TV, Ridwan Salamun--kebetulan warga desa A--yang meliput tawuran dibunuh oleh kelompok desa B. Majelis hakim Pengadilan Tual (9 Maret 2011) memvonis bebas tiga terdakwa pelaku pembunuhan. Terkesan, penegak hukum takut memvonis penjara terdakwa karena akan berdampak membuat kelompok desa B marah.

Terkait dengan penyalahgunaan kewenangan wartawan, Singapura dan Malaysia lebih baik. Beberapa tahun lalu wartawan senior Rosihan Anwar (almarhum) di satu surat kabar mainstream dalam artikel “80 Persen Wartawan Melakukan Pemerasan“memberi peringatan ma sih beroperasinya wartawan pemeras. Sekarang ini para pejabat, politikus, dan pengusaha semakin direpotkan karena dana untuk wartawan amplop harus ditambah. Wartawan “abalabal”—yang sebenarnya tidak melakukan kegiatan jurnalistik—semakin banyak dan semakin menekan untuk mendapatkan amplop.

Pembiaran terhadap beroperasinya wartawan pemeras, wartawan amplop, dan wartawan “abal-abal”juga menyumbang terhadap peringkat buruk kemerdekaan pers kita.  

Rekomendasi

Kemerdekaan pers dalam paradoks. Sejak 2004, di setiap acara puncak Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari, Presiden SBY selalu mengapresiasi dan menyatakan melindungi kemerdekaan pers. Tokoh dan masyarakat pers pun puas. Sementara itu, menjelang HPN, Reporters Without Borders selalu me-releasetemuannya, peringkat kemerdekaan pers Indonesia belum juga semakin baik. Kini sudah tiba saatnya tokoh dan masyarakat menyongsong HPN di Jambi, 9 Februari 2012, dengan berbuat sesuatu agar peringkat kemerdekaan pers Indonesia membaik. Pers terpanggil menyusun agenda, antara lain memperjuangkan amandemen konstitusi agar kemerdekaan pers menjadi hak konstitusional warga negara, negara tidak lagi mengkriminalkan pers; mengupayakan agar penegak hukum melindungi wartawan dalam pekerjaan profesinya; dan agar Presiden SBY mengeluarkan peraturan yang melarang pejabat negara mengamplopi wartawan. ●
◄ Newer Post Older Post ►