Etika (Pejabat) Politik


Etika (Pejabat) Politik
W Riawan Tjandra, DIREKTUR PROGRAM PASCASARJANA;
DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMA JAYA, YOGYAKARTA
Sumber : KOMPAS, 11 Februari 2012



Ruang publik di Tanah Air kembali dihangatkan suhu politiknya setelah muncul nama Anas Urbaningrum. Beberapa nama politisi Senayan juga disebutkan berkali-kali dalam persidangan di pengadilan tindak pidana korupsi dalam kasus korupsi wisma atlet SEA Games. Kasus itu sebelumnya menyeret mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin sebagai terdakwa.

Kali ini, nama Anas disebutkan dalam keterangan resmi dalam persidangan, baik oleh terdakwa maupun beberapa saksi di persidangan. Misalnya, keterangan Direktur Pemasaran Grup Permai Mindo Rosalina Manulang tentang korupsi bersama yang dilakukan beberapa anggota Partai Demokrat, diperkuat keterangan saksi kunci, Yulianis, tentang aliran uang ke Ketua Umum Partai Demokrat (PD).

Dalam hukum acara pidana, keterangan-keterangan tersebut bisa jadi alat bukti yang kuat untuk membongkar semua konspirasi dugaan korupsi dalam pembangunan wisma atlet.
Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya serius mendalami kasus dugaan korupsi proyek pembangunan gedung dan sarana olahraga senilai Rp 1,2 triliun di Hambalang, Bogor. Semua nama yang diduga terlibat dalam proyek tersebut dijadwalkan akan dipanggil untuk pemeriksaan lebih lanjut, termasuk Anas.

Sebagaimana diketahui, nama Anas beberapa kali disebut Nazaruddin sebagai dalang dalam proyek Hambalang. Hal itu diperkuat pernyataan Ketua Badan Legislasi DPR Ignatius Mulyono yang mengaku pernah dimintai tolong oleh Anas untuk melobi Kepala Badan Pertanahan Nasional agar membebaskan lahan Hambalang.

Bukti-bukti yang semakin mengarah ke petinggi Partai Demokrat itu telah menyampaikan pesan di ruang publik politis mengenai semakin kenyalnya persenyawaan antara politik dan konspirasi ekonomi, yang bersimbiosis mutualisme. Tak mungkin kuasa politik akan diraih tanpa dukungan politik uang, yang hanya bisa diperoleh melalui eksploitasi proyek-proyek, dan pada ujungnya telah membelokkan aliran uang negara dari APBN ke arena transaksi politik di kalangan elite.

Kisah Century yang tak tuntas hingga kini seharusnya jadi cambuk untuk menuntaskan pengungkapan kasus-kasus korupsi politik, yang selama ini tak mudah dibongkar karena dominannya kepentingan politik. Akibatnya, ayunan pedang dewi keadilan tak jarang melemah.

Ayunkan Pedang Keadilan

Kini hanya pedang Damocles, seperti yang pernah diletakkan di atas takhta Raja Dionysius di Syracuse Sisilia (406-307 SM), yang membuat Damocles insaf akan bahayanya sebuah kekuasaan jika pedang dewi keadilan tersandera kepentingan politik.
Agar pedang dewi keadilan bisa berayun menegakkan keadilan, harus diawali dengan hadirnya etika politik. Etika politik tak hanya berkutat pada perilaku para politisi, tetapi juga berkelindan dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, serta struktur sosial, politik, dan ekonomi.

Dari dalam diri sang pelaku/politisi harus lahir keutamaan yang merupakan faktor stabilisasi tindakan. Keutamaan itu akan berpengaruh terhadap efektivitas praktik penegakan hukum, peran institusi penegak hukum ataupun institusi politik.

Institusi hukum, politik, ataupun ekonomi gagal melaksanakan peran sesuai mandat karena absennya etika (pejabat) politik. Kuasa selalu membutuhkan dana untuk menopangnya. Hal itulah yang telah menjadikan negeri ini melaksanakan demokrasi yang tengah mengalami defisit integritas dan akuntabilitas, menegakkan hukum minus keadilan, dan sejenisnya.

Anthony Giddens menyatakan bahwa kejahatan struktural selalu dimulai dari kejahatan moral di ranah privat individu dan kolektif. Guna memutus mata rantai kejahatan struktural perlu dimulai dari kesadaran individual dan kolektif dari para pejabat politik untuk menegakkan etika (pejabat) politik. ●
◄ Newer Post Older Post ►