Negara Hukum Seharusnya Bagaimana?


Negara Hukum Seharusnya Bagaimana?
Suhartono Ronggodirdjo, MANTAN DIPLOMAT; PEMERHATI MASALAH INTERNASIONAL
Sumber : KOMPAS, 9 Februari 2012


Suatu hari pada Februari 1992, Stella Liebeck bersama cucunya—dalam perjalanan di Albuquerque, New Mexico, AS—mampir beli kopi panas di restoran cepat saji McDonald’s.

Di mobil, nenek Liebeck hendak menuang krim ke kopinya, kopi pun tumpah mengenai paha dan pinggulnya. Kopi yang masih sangat panas itu membuat kulit pahanya mengelupas sehingga ia harus dirawat di rumah sakit selama satu minggu.
Karena kejadian itu, Liebeck dengan bantuan pengacara menuntut McDonald’s membayar ganti rugi. Liebeck memenangi perkara dan McDonald’s harus membayar 480.000 dollar AS. Kasus ini terjadi di Amerika Serikat. Dari sudut pandang kita dan berdasarkan pengalaman di Indonesia, kasus ini terbilang aneh, tetapi di Amerika Serikat penyelesaian kasus semacam ini banyak terjadi.

Mengapa Amerika Serikat? Ini hanya untuk mempermudah contoh kasus karena selama ini kita menganut sistem kenegaraan yang ”sama”, yakni demokrasi, kapitalis liberal (walau secara resmi tidak pernah diakui), dan negara yang mengutamakan supremasi hukum. Bahkan, para petinggi kita sering mengatakan bahwa kita ini negara hukum.

Namun, tampaknya ada kekurangjelasan dalam pengertian negara hukum. Bisa dimaklumi karena mayoritas rakyat Indonesia tidak pernah belajar ilmu hukum, apalagi jadi ahli hukum. Akan tetapi, untuk mengetahui sesuatu kejadian itu ada pelanggaran hukum atau tidak rasanya common sense bisa merasakan.

Sejumlah kasus akhir-akhir ini, seperti di Mesuji, Bima, dan kasus serupa di tempat-tempat lain, jelas merupakan pelanggaran hukum dan baru terkuak setelah media menjadikannya laporan dan berita. Seandainya tidak jadi berita publik, barangkali kasus itu ”tidak ada”.

Tanggung jawab Siapa?

Permasalahan yang jelas, tetapi jadi tak jelas karena tak pernah disinggung dan terpikirkan adalah ”siapa bertanggung jawab atas kejadian yang merugikan seseorang karena lingkungan”.

Sebagai contoh, kejadian ketika seorang mahasiswi yang terperosok ke saluran air di pinggir jalan yang terbuka dan tertutup air karena hujan sehingga kelelep dan meninggal; seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh karena jalan aspal yang berlubang cukup dalam sehingga terluka parah; karena hujan deras baliho reklame besar roboh menimpa manusia dan kendaraan; serta baru-baru ini seorang mahasiswi satu universitas swasta nasional meninggal dunia akibat tertimpa pohon yang tumbang karena angin.

Semua ini terjadi di Jakarta, pusat pemerintahan. Logikanya, jalan umum itu milik siapa dan siapa yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pengawasan jalan itu, dialah yang bertanggung jawab. Siapa yang memiliki dan bertanggung jawab atas pemeliharaan got atau saluran air di jalanan umum?

Mengapa sampai terjadi got terbuka dan tidak diperbaiki sehingga menghilangkan nyawa seseorang. Siapa pula yang bertanggung jawab atas jalan umum yang berlubang? Juga siapa yang bertanggung jawab atas pengawasan dan pemeliharaan serta penertiban baliho dan pohon-pohon besar di pinggir jalan yang tumbang karena ”tidak diurus” hingga menyebabkan seseorang kehilangan nyawa? Di negara beradab, nyawa seseorang yang tidak berdosa itu sangat mahal.

Juga tidak kalah penting ”makanan”. Sudah sering ditemukan dan dipublikasikan makanan-makanan yang dijual di pasar menggunakan zat-zat berbahaya yang dapat merusak kesehatan, seperti formalin, zat pewarna, dan pengawet dari bahan kimia. Benar operasi pasar pernah dilakukan, tetapi tak pernah ada tindakan tegas kepada penjual dan pembuatnya. Apa yang akan dilakukan jika makanan-makanan itu menelan korban? Dan, masih banyak lagi, termasuk malapraktik kedokteran.

Sekali lagi Indonesia adalah negara hukum dan dalam Pembukaan UUD 1945 Ayat 4 berbunyi, ”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia....” Mungkin kasus-kasus semacam itu tidak termasuk ranah ”negara hukum” dan secuil Ayat 4 Pembukaan UUD 1945 ini tidak jelas mengarah ke perlindungan warga negara dalam kasus-kasus seperti itu sehingga penyelesaian kasus seperti pada awal tulisan ini tidak terjadi di Indonesia. ●

◄ Newer Post Older Post ►