Menjawab Perubahan


Menjawab Perubahan
Kandyawan WP, DOSEN PRODI ILMU KOMUNIKASI FISIP UNS SURAKARTA
Sumber : SUARA MERDEKA, 11 Februari 2012


HARI ini, Sabtu, 11 Februari 2012, Suara Merdeka genap berusia 62 tahun. Sebagai media cetak yang relatif matang dalam usia dan pengalaman, harian ini telah menunjukkan keberhasilannya melayani publik Jawa Tengah. Tidak sekadar sebagai pemenuh kebutuhan informasi, koran ini dalam batas tertentu telah melakukan multitasking mulia sebagai pencerdas, penerang, pendidik, penasihat, perunding, pengorganisasi, penginisiasi, penghubung, dan penampung kepentingan publik. Tagline ‘’Perekat Komunitas Jawa Tengah’’ telah diemban dengan penuh tanggung jawab, tak heran koran ini menjadi salah satu best brand poduct media cetak Tanah Air.

Keberhasilannya memenuhi tanggung jawab sosialnya lebih dari 6 dasa warsa merupakan refleksi kemenangan dan soliditas pergulatan manajemen internal dalam menghadapi tantangan  tiga rezim politik berbeda. Meski begitu, tiap era memiliki tantangan tersendiri. Keberhasilan strategi penyelesaian masalah pada zaman tertentu tidak akan menjamin keampuhannya untuk menghadapi era berikutnya. Kandungan problematika berbeda menuntut solusi resep yang berbeda. Inilah tantangan yang perlu diantisipasi media cetak masa kini, termasuk Suara Merdeka.

Pada awal pertumbuhannya, tantangan terbesar yang dihadapi koran ini adalah persoalan struktural politik kepartaian yang menghanyutkan pers nasional menjadi partisan, di samping rendahnya likuiditas usaha yang memungkinkan pers tetap sehat secara ekonomi. Pers sangat bebas tapi tidak objektif. Menjadi pers bebas dan objektif yang tidak menginduk pada partai merupakan pilihan sulit sekaligus berani pada masanya karena akan menghadapi tekanan partai dan kesulitan likuiditas.

Pada era Orde Baru tekanan struktural politik negara dan kooptasi kepentingan penguasa menyebabkan fungsi kontrol pers sangat sulit diaktualisasikan. Pers tidak bebas sekaligus tidak objektif. Agenda negara sangat menentukan agenda media (berita). Dalam konteks ini, pers harus memiliki kiat tertentu untuk melakukan kontrol. Lahirlah pers kepiting, pers undur undur, ‘’pers pembangunan’’: intinya fungsi kontrol harus dilakukan dengan sangat hati-hati, penuh eufimisme agar pers tidak diberedel (breidel). Menjadi berani akan mati, menjadi penakut akan larut. Hebatnya, dalam dua era itu Suara Merdeka  berhasil melampui.

Tantangan Baru

Tantangan pers pada dua era tersebut bisa disederhanakan sebagai faksionalisasi kepartaian dan  hegemoni negara. Lalu apa tantangan baru yang dihadapi media cetak kini? Tantangan itu adalah kebebasan publik. Gerakan globalisasi yang bersandar pada pemanfaatan teknologi komunikasi-informasi melahirkan proses demokratisasi di seluruh dunia. Publik  sangat dimanjakan dan memiliki kebebasan penuh dalam merepresentasikan kebutuhannya, termasuk dalam mengakses, mengolah, menyimpan, dan mendayagunakan informasi yang dibutuhkan.

Terkait dengan kebutuhan informasinya, publik menuntut tiga hal: informasi harus cepat, akurat, dan maslahat. Tuntutan khalayak yang kelihatan pragmatis tersebut sebenarnya menyisakan kompleksitas problema yang mesti dicermati sekaligus strategi solusi yang harus segera diambil penjaga gawang media cetak.

Dulu pers selalu identik dengan paper based media, dengan waktu tunda antara proses produksi dan proses konsumsi informasi. Kalau asumsi ini tetap dipertahankan, pers akan ditinggalkan khalayak. Tuntutan kecepatan real time news meniscayakan —perlahan tapi pasti— pers harus mengganti format dan media distribusi informasinya dari menggunakan media konvensional menjadi media baru (internet).

Pengelola pers tidak perlu menangisi hilangnya media cetak, karena ‘’kematiannya’’ sudah banyak diramalkan para ahli  (Bill Gates, 1990; Dawson, 2010). Yang perlu dipersiapkan adalah segera mengintegrasikan antara format cetak dan digital (on line news). Integrasi yang terkesan amat teknologis ini sebenarnya bentuk pelayanan paripurna kepada pembaca baru. Pembaca baru membutuhkan media yang memiliki kemampuan digitality, interactivity, hypertextuality, dispersal, dan virtuality (Lister, 2003 : 13).

Perkembangan online news memaksa (reporter) media cetak mengadopsi gaya broadcast, di mana reporter menulis untuk video, still images, dan suara . Teknologi internet memungkinkan berita (news) dipublikasikan dengan menggunakan format hyper text markup language (HTML).

Format berita (teks, gambar/foto, video, audio, animasi) disajikan secara digital sehingga pembaca dapat mengakses dari komputer dengan cepat dan seketika pada halaman web (web pages). Fasilitas radio on demand dan video on demand dalam online news merupakan kekuatan yang bisa mempertahankan loyalitas pembaca koran dari godaan televisi. Jadi, Suara Merdeka harus melawan tantangan kecepatan dengan (manajemen kloning) teknologi.

Perkawinan antara (iklim) kebebasan dan persaingan sengit (usaha) pers melahirkan degradasi mutu produk pers. Keluhan tentang pers kebablasan  merupakan ekspresi skeptisme publik kita akan derajat akurasi pers dalam menjalankan fungsinya.

Akurasi itu tidak sekadar menyoal produk dan teknis penyusunan berita, namun secara fundamental menyentuh aras politik dan agenda pemberitaan. Kasus program ‘’Silet’’ di salah satu media elektonik menjadi pembelajaran bagi insan media.

Belum ada penelitian komprehensif tentang profesionalitas dan akurasi kinerja pers nasional kita. Namun, studi-studi reflektif American Society of National Editor (ASNE) di Amerika Serikat bisa digunakan untuk meraba kelemahan pers kita. ASNE mengakui pers di Amerika bekerja jauh dari ideal (www.dailysource.org). Ini ditengarai munculnya beberapa masalah: pergeseran orientasi fungsi utama pers dari media penerangan-pendidikan menjadi penghibur; konsekuensinya, balutan sensasionalitas informasi lebih mengemuka dibanding utilitasnya. Pertarungan sengit antarpemodal besar kadang menenggelamkan agenda publik mayoritas menjadi isu minoritas, digantikan persoalan mereka. Agenda media terkadang bukan representasi agenda publik. Sindrom seperti itu tampaknya juga terjadi di lembaga pers kita.

Tantangan Riil

Meski sampai saat ini Suara Merdeka telah menjalankan fungsi sosialnya dengan baik, cerdas, sekaligus santun, tidak ada salahnya melakukan refleksi kritis atas kinerja dan produk informasinya. Sesanti Bill Kovach dalam Nine Element of Journalism  perlu  makin diideologisasi, didesiminasi, dan diaktualisasi kepada para reporter-redaktur baru: pers harus selalu menjaga kebenaran, melayani kepentingan publik, tak kenal lelah memverifikasi fakta, menjaga kebebasan berekspresi, mengontrol kekuasaan, menyediakan forum, dan memberi penyadaran. Pers harus membuat peristiwa tidak sekadar penting, namun relevan dan menarik. Tidak hanya itu berita harus dikemas secara komprehensif, objektif, dan proporsional. Dengan cara tersebut akurasi yang dituntut publik bisa dipenuhi.

Keberhasilan pers bekerja secara akurat memberi jaminan produk informasinya mengandung kemaslahatan (bagi publik). Hal itu ditandai dengan kemampuan (informasi pers) dalam mengurangi ketidakpastian dan dapat digunakan sebagai alat pengambil keputusan (Schramm,1945; McQuail, 2005). Artinya dengan asupan informasi yang sehat, publik menjadi bertambah cerdas, keputusan yang diambil cukup rasional dan tepat dalam menyikapi dinamika sosial dan  politik budaya lingkungannya.

Menurut hemat penulis, dua tuntutan terakhir publik  (tentang bakuan akurasi dan manfaat informasi) secara historis telah dapat dipenuhi Suara Merdeka dengan baik. Sebaliknya, tuntutan  pertama (tentang kebutuhan akan kecepatan informasi) berbasis online menjadi pekerjaan rumah sangat serius bagi semua pengelola.

Perubahan  lanskap khalayak baru dalam memenuhi kebutuhan informasi memicu ketidakpastian hidup dan survivalitasnya koran online. Kebutuhan akan kloning dan adaptasi teknologi menjadi keniscayaan. Hanya pers yang cukup adaptif yang akan bertahan. Inilah tantang riil yang dihadapi pers kita saat ini. Selamat ulang tahun Suara Merdeka, semoga tetap mampu mempertahankan kejayaannya dalam format dan media baru yang dituntut publik. ●
◄ Newer Post Older Post ►