Peran Tionghoa dalam Keislaman
Achmad Fauzi, AKTIVIS MULTIKULTURALISME;
ALUMNUS UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA, YOGYAKARTA
Sumber : KORAN TEMPO, 8Februari 2012
Kajian sejarah kontribusi Tionghoa dalam proses penyebaran Islam di tanah Jawa sesungguhnya perlu digugat. Setiap membincangkan teori islamisasi selalu dikaitkan dengan Timur Tengah/Arab, India, Persia, ataupun Gujarat. Hampir dipastikan tidak ada sejarawan yang menulis secara eksplisit bahwa islamisasi berasal dari Tionghoa. Padahal derajat kesahihan Islam tidak akan berkurang manakala ada peran orang-orang Tionghoa di dalamnya. Di sini orang tidak sadar bahwa sesungguhnya keislaman Tionghoa jauh lebih tua ketimbang Jawa. Orang-orang Tionghoa telah mengenal Islam pada saat masyarakat Jawa hidup dalam dunia berhala dan klenik (Soemanto al-Qurtuby, 2005).
Sejak awal perkembangan Islam di tanah Jawa, muslim Tionghoa memang sudah eksis. Hal ini tidak hanya dibuktikan oleh kesaksian para pengembara seperti Marco Polo ataupun sumber teks-teks lokal Jawa, tapi juga peninggalan purbakala seperti konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik. Walisongo adalah keturunan Tionghoa. Novel Arus Balik (2001) gubahan Pramoedya Ananta Toer menulis bahwa Sunan Kalijaga adalah putra keturunan Tionghoa yang bernama asli Gan Si Cang, hasil perkawinan antara putra Raja Majapahit, Brawijaya, dan seorang Tionghoa muslimah bernama Retna Subanci.
Namun, pada saat Retna hamil tua, tanpa alasan yang jelas Brawijaya menyerahkan istrinya kepada Adipati Tuban, sehingga lahirlah putra bernama Jaka Seca, yang kelak menjadi Raden Sahid atau Sunan Kalijaga. Sunan Ampel juga bernama asli Bong Swi Hoo, Sunan Giri berasal dari keturunan Shih Chin Ching, dan Sunan Bonang bernama asli Bo Bing Nang. Bahkan almarhum Gus Dur berkali-kali mengaku bahwa dia adalah keturunan Tan Kim Han, yang pernah memimpin laskar Demak saat melawan Majapahit bersama Sunan Ngudung (ayah Sunan Kudus).
Hubungan baik Jawa-Cina sebenarnya sudah berlangsung berabad-abad. Hubungan tersebut terus berlangsung saat Cina dikuasai oleh Dinasti Ming (1368-1644 M) sebagai rezim yang menghargai betul eksistensi komunitas muslim di Cina. Ekspedisi tokoh legendaris Cheng Ho, yang dikenal saleh dan toleran dalam beragama, dengan melibatkan ribuan muslim Cina serta beberapa elite ekspedisi, seperti Hasan, Wang Ching Hung, Kung Wu Ping, dan Ma Huan, merupakan peristiwa fenomenal pada masa pemerintahan Yung Lo dari Dinasti Ming (Budiman, 1978). Ekspedisi itu berawal pada abad ke-15 dan setiap misi muhibahnya selalu menorehkan sejarah yang mengagumkan.
Dari seluruh ekspedisi Cheng Ho, jika ditelusuri lebih mendalam, sebenarnya tidak hanya membawa misi ekonomi dan politik, tapi juga menyertakan di belakangnya tugas dakwah yang begitu mulia, islamisasi. Jejak historis dari ekspedisi Cheng Ho ini diakui telah menaburkan benih-benih ajaran Islam penuh kelembutan, yang di dalamnya menyeruak aroma toleransi dan penghormatan terhadap budaya-budaya lokal.
Ajaran Islam yang tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), tawassuth (moderat), dan tasyawur (dialog) tersebut kemudian dimonumenkan oleh Walisongo pada saat membangun Masjid Demak. Babad Jaka Tingkir yang ditulis pada 1849 memaparkan bahwa proyek pembangunan Masjid Demak menunjukkan berbagai pernik alegori yang penuh makna. Bangunan suci itu digarap tanpa terlebih dulu ditentukan arah kiblatnya.
Baru setelah rampung, delapan wali yang terlibat dalam arsitektur masjid tertua di Pulau Jawa itu terperangkap dalam perdebatan sengit. Namun wali kesembilan, Sunan Kalijaga, berhasil memecahkan pokok perdebatan itu. Wali yang menurut karya sastra Jawa dianggap sebagai wakil “warna lokal“dalam Islam itu bertafakur sejenak. Kemudian tangan kanannya “menjangkau“ Ka'bah di Mekah dan tangan kirinya merengkuh pucuk (sirah gada) Masjid Demak. Ditarik keduanya hingga akhirnya bertemu, sewujud, dan bertaut: “Payok Ka'bah lawan sirah, gada masjid Dèn-nyataken sawujud, Cèples kenceng datan mènggok.“Nancy K. Florida da lam karya monumentalnya, Writing the Past, Inscribing the Future (2003), sebagai telaah atas puisi Jawa, Babad Jaka Tingkir, menyebut langkah Sunan Kalijaga itu sebagai upaya mempertautkan Islam universal (Ka’bah) dengan Islam partikular (Demak). Sebuah upaya menegosiasikan universalitas Islam yang diturunkan di Arab dengan lokalitas Islam di Indonesia tanpa berseberangan.
Sungguh peran muslim Tionghoa dalam proses islamisasi sangat besar. Namun, sayangnya, sejarah berusaha menggilas peran besar itu lewat kekuatan dua mesin raksasanya: politik segregasi kolonial dan ideologi “otentisitas Islam”. Sejak terjadi peristiwa pembantaian orang-orang Tionghoa di Jakarta pada 1740, yang menelan korban ribuan orang, mereka mulai tersisih dan terisolasi dari jangkauan publik. Mereka dikejar, disekap, dan dikerangkeng layaknya buron dalam sebuah tempat bernama Pecinan. Realitas politik yang memilukan itu semakin diperparah oleh menetasnya ideologi otentisisme pada abad ke-20, yang mengklaim Islam murni hanyalah yang datang dari Arab. Adapun keislaman yang berasal dari luar Arab (termasuk Cina) dianggap palsu. Maka setiap perbincangan seputar teori islamisasi di Pulau Jawa selalu dikaitkan dengan Arab.
Penghapusan peran Tionghoa dalam islamisasi sepertinya sudah ditebak oleh “sejarah” Sunan Kalijaga ketika membuat tiang Masjid Demak. Tiang itu bukan terbuat dari batu, bata, ataupun balok, melainkan dari tatal atau lapis kayu mengeriting yang dibuang pada saat permukaan papan diratakan dengan ketam. Ini menggambarkan bahwa Islam dibangun bukan oleh pokok kekuasaan yang kukuh dan sewenang-wenang, melainkan oleh mereka yang terbuang, tersisih, terpinggirkan, dan terlupakan jasa-jasanya. ●