Korupsi Sektor Swasta


Korupsi Sektor Swasta
Jamin Ginting, DOSEN TINDAK PIDANA KORUPSI FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
Sumber : KOMPAS, 9 Februari 2012


Korupsi tak hanya terkait dengan kerugian negara dan badan-badan usaha yang kekayaannya milik negara atau ada penyertaan keuangan negara. Korupsi sektor swasta juga dapat memengaruhi kerusakan perkembangan pembangunan di suatu negara.
Hal yang sering terjadi adalah korupsi dalam transaksi bisnis di sektor publik. Namun, juga tak kalah penting adalah korupsi di antara para pelaku bisnis di sektor swasta. Semakin korup sektor swasta, perekonomian sebuah negara kian sulit berkembang.

Rumusnya sederhana: investor tentu lebih memilih negara yang memihak pebisnis. Investor sangat menyukai negara yang pelayanan publiknya bebas pungutan liar, aturan pembayaran pajak transparan, serta adanya jaminan kepastian hukum terkait kemungkinan sengketa bisnis melalui jalur hukum. Sebaliknya, investor sangat tidak suka rantai birokrasi yang berbelit, adanya biaya tambahan dalam pengurusan kepentingan bisnis, serta aparat penegak hukum yang korup.

Berdasarkan Pasal 12 dan 21 Konvensi PBB Antikorupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC), yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No 7/2006, diatur tentang penyuapan di sektor swasta, termasuk tindak pidana korupsi. Bahkan, dalam OECD Anti-Bribery Convention diatur soal penyuapan oleh pejabat publik asing yang menyangkut transaksi bisnis internasional.

Meski UNCAC telah diratifikasi dengan UU No 7/2006, ketentuan tentang korupsi di sektor swasta belum dicantumkan dalam RUU Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Juga belum ada satu peraturan tentang korupsi di sektor swasta. Padahal, dalam melaksanakan bisnis diperlukan adanya kepatuhan, etika, dan kepercayaan di sektor swasta.

Berdasarkan laporan World Economic Forum, Indonesia menempati urutan ke-46 dari 142 negara yang disurvei dalam hal daya saing ekonomi. Posisi Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Singapura (2), Malaysia (21), Brunei (28), dan Thailand (39).

Salah satu penyebabnya terkait masalah korupsi dan etik, yang menempati urutan ke-69 (skor 3.24). Bandingkan dengan Singapura yang berada di urutan pertama (6.51). Masalah suap dan pembayaran yang tidak wajar di urutan ke-103 (Singapura urutan ke-3). Terlihat bagaimana etika dan korupsi sangat rendah, serta suap dan pembayaran yang seharusnya tak perlu jadi masalah jika saja pemerintah serius membuat pengaturan terkait korupsi di sektor swasta.

Regulasi Sektor Swasta

Regulasi terkait masalah korupsi di sektor swasta adalah suatu hal yang sangat mendesak dan penting untuk diatur. Hal ini demi kesinambungan perekonomian dan iklim investasi di Indonesia. Adanya aturan yang fairness, adil, terhadap pelaku bisnis swasta yang berusaha menyuap, bukan hanya pejabat publik melainkan juga pelaku bisnis swasta lain, sudah waktunya dibuat dan ditegakkan.

Untuk jangka pendek mungkin perusahaan penyuap mendapatkan keuntungan, tetapi dia akan jadi sasaran empuk untuk diperas oleh pejabat ataupun pelaku bisnis lain yang disuap tersebut. Pemberian imbalan akibat persekongkolan bisnis, baik bagi pejabat publik maupun swasta, akan menyisakan bukti-bukti yang harus ditutupi dengan biaya yang jauh lebih mahal daripada jika dilakukan dengan jujur.

Negara-negara di Afrika telah memiliki konvensi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi. Lewat apa yang disebut sebagai African Union Convention on Preventing and Combating Corruption 2003, diatur ketentuan tentang korupsi di sektor swasta.

Dalam Pasal 11 konvensi itu disebutkan: setiap negara harus mengambil tindakan-tindakan dalam rangka mencegah dan memberantas korupsi yang berkaitan dengan agen-agen di sektor swasta; membuat mekanisme untuk meningkatkan partisipasi sektor swasta untuk memerangi persaingan curang; menghormati prosedur tender dan hak atas kekayaan intelektual; serta mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan dalam rangka mencegah perusahaan-perusahaan dari pemberian suap untuk memenangi suatu tender di antara para pelaku bisnis.

Penyuapan sektor swasta di Estonia, misalnya, menunjukkan 34 persen pengusaha di sana menyuap penyelenggara tender untuk memenangi suatu tender yang dilakukan oleh pemerintah. Tindakan semacam itu dikategorikan sebagai penyuapan sektor swasta. Persekongkolan di antara peserta tender untuk memenangkan salah satu peserta, dengan melakukan penyuapan di antara mereka, juga dikategorikan sebagai korupsi oleh swasta.
Estonia tidak jauh berbeda dengan negara kita. Berdasarkan survei Transparansi International Indonesia (TII) pada 2008, 90 pebisnis paham UU Tindak Pidana Korupsi, tetapi praktik suap dan persekongkolan untuk memenangkan tender di antara mereka terus berjalan, bahkan amat merugikan pebisnis lain.

Jika suatu perusahaan menganggarkan 10 persen saja untuk uang pelicin dan suap, tentu akan berdampak pada biaya konsumen terhadap harga barang tersebut. Begitu pun jika seorang bankir merampok banknya sendiri tanpa diberi sanksi pidana, atau terjadi kartel di antara para pengusaha untuk mengatur harga barang-barang dengan mendapatkan keuntungan dengan saling suap di antara mereka. Praktik-praktik semacam itu, termasuk suap kepada para agen-agen penilai, dapat dikategorikan sebagai korupsi sektor swasta.

Model-model korupsi kalangan swasta tersebut seharusnya mendapatkan perhatian negara. Caranya? Segera revisi UU Tindak Pidana Korupsi dan mencantumkan korupsi sektor swasta sebagai suatu bagian dari tindak pidana korupsi di Indonesia. ●
◄ Newer Post Older Post ►