Mengamankan dan Melindungi Pancasila


Mengamankan dan Melindungi Pancasila
Noor Achmad, Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Wasekjen MUI Pusat
Sumber : SUARA MERDEKA, 10 Februari 2012



UNIVERSITAS Diponegoro (Undip), Sabtu, 11 Februari 2012 menganugerahkan gelar doktor honoris causa kepada Drs KH As’ad Said Ali. Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang juga mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu dinilai berjasa dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran kontributif tentang hukum dan Pancasila. Apa makna penganugerahan gelar kehormatan itu?

Sebagaimana pemikiran Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD (2006: 52), Pancasila dalam sistem ketatanegaraan kita semestinya dipandang sebagai dasar negara sekaligus ideologi negara. Sebagai dasar negara, Pancasila mengandung makna yuridis kuat sebagai norma dasar (grundnorm), dan berbagai peraturan perundangan yang tersusun secara hierarkis harus bersumber padanya.

Karena itu, Pancasila harus menjadi rechtsidee yang di dalamnya terdapat  nilai dasar, kerangka berpikir, orientasi, dan cita-cita oleh para penyelenggara negara dan masyarakat dalam berhukum.  Adapun sebagai ideologi negara, Pancasila merupakan tata nilai yang dianut yang di dalamnya terdapat cita-cita dasar dalam kehidupan sosial, politik, hukum, ekonomi, dan budaya. Dalam makna ini, Pancasila ditempatkan sebagai weltanschauung (pandangan hidup).

Persoalannya, Pancasila tengah menghadapi tantangan besar sehingga bermuara pada krisis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Rentetan peristiwa pengeboman, terorisme, aksi-aksi yang ingin mengganti ideologi resmi negara hingga kikisnya nasionalisme, seperti kasus guru dan siswa yang enggan menghormat bendera Merah Putih terjadi. Selain itu, pertikaian berbasis agama dan etnis, perebutan  aset dan sumber daya ekonomi, peminggiran ekonomi kerakyatan, hingga penyelewengan praktik penyelenggaraan negara seperti korupsi juga merajalela.

Sesuai dengan aktivitas dan kompetensinya, KH As’ad Said Ali secara berkelanjutan telah lama berkhidmah dan menyampaikan pemikiran kontributifnya tentang Pancasila. Salah satu gagasan cerdasnya terekam dalam buku Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa (Jakarta: LP3ES, 2009). Rencananya, Sabtu besok ia akan menyampaikan pidato penerimaan gelar itu dengan judul ’’Tinjauan Yuridis terhadap Sarana Hukum sebagai Pengaman Ideologi dan Dasar Negara’’.

Ideologi Terbuka

Beberapa pemikiran menariknya antara lain; pertama; sebagai dasar dan ideologi negara Pancasila belum ditempatkan secara proporsional dalam sistem ketatanegaraan. Hingga kini memang belum ada ketentuan bagaimana ideologi negara ini harus dioperasionalkan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan, serta bagaimana ideologi ini ditempatkan di tengah percaturan ideologi besar di Indonesia.

Maka domain utama Pancasila harus berada di dalam ruang publik; ruang tempat masing-masing kelompok masyarakat yang sangat beragam itu dapat berinteraksi dan berhubungan demi memenuhi kebutuhan bersifat kolektif kebangsaan-kenegaraan. Di dalam ruang tersebut mutlak berlaku nilai-nilai Pancasila.

Kedua; Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 belum mendapatkan proteksi yang optimal dari segi peraturan perundangan. Yang ada hingga sekarang hanya Tap MPR XXV/1966 dan UU Nomor 27 Tahun 1999. Kedua peraturan perundangan ini terlihat belum memadai dalam mengantisipasi merebaknya gerakan-gerakan yang bertujuan mengganti Pancasila dan UUD 1945. Maka diperlukan kriminalisasi atas perbuatan yang bertujuan mengganti ideologi negara secara lebih jelas, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum.

Ketiga; melindungi dan mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar negara harus pula meletakkan dalam kerangka besarnya, yaitu keamanan negara (state security) atau keamanan nasional (national security). Terkait di dalamnya bukan hanya soal kriminalisasi perbuatan yang mengganggu ideologi negara, pengaturan terhadap aktivitas masyarakat dalam bentuk partai politik dan ormas, kriminalisasi terhadap perbuatan yang mengancam keselamatan masyarakat secara keseluruhan seperti terorisme, melainkan juga terkait dengan pengaturan tentang TNI, Polri, dan intelijen negara.
           
Dalam keseluruhan konteks tersebut maka apa yang dilakukan Undip hakikatnya sarat makna. Pertama; penganugerahan gelar di bidang hukum dan Pancasila ini menarik dan mendorong kembali terbukanya kontestasi pemikiran tentang Pancasila. Jika pada era Orde Baru Pancasila menjadi ideologi negara yang hegemonik-monopolistis dengan tafsir tunggal versi penguasa, lalu di era reformasi laksana hilang ditelan bumi karena jarang dibahas, maka ini bisa menjadi keran pembuka agar Pancasila bisa bertransformasi menjadi ideologi yang terbuka dan kompatibel dengan semangat zamannya.

Kedua; penganugerahan gelar itu menyadarkan kita bahwa pengkajian terhadap Pancasila harus terus dilakukan. Masih banyak ruang kosong yang harus diisi agar nilai-nilai luhur Pancasila bisa dioperasionalkan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Misalnya tentang perlunya pengaturan kebebasan yang lebih jelas dan tepat mengenai aktivitas-aktivitas publik masyarakat, seperti berorganisasi, berkumpul, dan berekspresi.

Tujuannya, bukan untuk membatasi kebebasan-kebebasan fundamental dalam sistem demokrasi itu melainkan mencegah digunakannya kebebasan itu untuk mengganggu keamanan negara dan masyarakat secara keseluruhan. Undang-Undang Partai Politik, UU Organisasi Masyarakat, dan UU Menyampaikan Pendapat di Muka Umum di dalamnya seharusnya memuat prevensi terhadap tindakan yang mengganggu keamanan negara atau mengancam ideologi negara itu.

Terakhir, terkait dengan globalisasi dan dinamika tantangan domestik, alangkah baiknya jika studi dan upaya sungguh-sungguh dalam mengamalkan Pancasila menjadi bagian yang terus dilakukan demi terus tegaknya NKRI yang sejahtera, adil, dan makmur. ●

◄ Newer Post Older Post ►