Kemerdekaan Pers dan Industrialisasi Media Massa


Kemerdekaan Pers dan Industrialisasi Media Massa
Bagir Manan, KETUA DEWAN PERS
Sumber : KORAN TEMPO, 9Februari 2012


Sering kali saya menyebutkan, secara normatif kemerdekaan pers telah dijamin secara expressis verbis oleh Undang-Undang Pers. Secara implied, kemerdekaan pers dijamin UUD 1945. Sejumlah ketentuan tentang hak asasi memerlukan, bahkan efektif hanya apabila ada, kemerdekaan pers. Begitu pula dari aspek demokrasi. Tanpa pers merdeka, tidak akan ada demokrasi. Sebaliknya, tanpa demokrasi, tidak akan ada kemerdekaan pers.

Soalnya, mengapa komunitas pers Indonesia tetap menganggap kemerdekaan pers masih dalam ancaman dan mengalami degradasi setiap tahun?
Ada semacam kesenjangan antara das Sollen (normatif) dan das Sein. Tolok ukur yang biasa digunakan adalah kekerasan terhadap pers--penganiayaan, pembunuhan wartawan, dan perusakan. Dari sejumlah kasus kekerasan, didapati kenyataan bahwa pers sebagai pihak yang memulai kekerasan--memukul lebih dulu atau lebih dulu mengeluarkan ucapan tidak layak kepada sumber berita. Selain kekerasan, ancaman kemerdekaan pers diindikasikan dengan menghalang-halangi tugas jurnalistik, seperti larangan meliput atau memasuki tempat tertentu. Kadang-kadang pers lupa akan kewajiban etika dan hukum, seperti privasi sumber berita.

Terlepas dari cara pers melaksanakan kemerdekaan pers secara tidak tepat atau berlebihan, harus diakui kemerdekaan pers Indonesia belumlah sangat aman.Tapi ancaman kemerdekaan pers tak hanya datang dari pelaksanaan tugas jurnalistik di lapangan. Ancaman bisa datang dari berbagai sumber.

Selama ini yang selalu diletakkan paling depan adalah penyelenggara kekuasaan negara. Pencederaan kemerdekaan pers tidak hanya dipraktekkan oleh sistem kekuasaan otoriter atau kediktatoran, tapi juga sistem demokrasi. Ancaman atau hambatan dijalankan atas nama ketertiban umum,kepentingan umum, dan alasan lain. Pembatasan dilakukan dengan regulasi, kebijakan, atau berbagai tindakan hukum (rechtshandelingen) atau tindakan konkret (feitelijke handelingen).

Ancaman yang tak kalah penting datang dari publik. Dalam keadaan tertentu, publik, baik kelompok maupun individu, dapat membuat permusuhan yang mencederai kemerdekaan pers. Dalam sejumlah peristiwa, wartawan menjadi korban publik, baik karena salah pengertian maupun hasutan. Di Ternate, misalnya, wartawan menjadi korban kekerasan publik.

Kelompok kepentingan ekonomi dan politik juga bisa mengancam kebebasan pers. Pers kerap mengungkapkan cara-cara kelompok kepentingan menjalankan kegiatan ekonomi yang tidak sehat dan merugikan masyarakat. Bagi kelompok kepentingan bisnis, ini merupakan ancaman yang harus ditiadakan, baik melalui negosiasi, kekerasan, maupun tindakan mengancam pers.

Ancaman terhadap kebebasan pers bisa juga berupa politisasi pers.Yang saya maksud sebagai politisasi pers atau pers politik adalah pers partisan (partisanship), yaitu keberpihakan kepada kekuatan politik yang bekerja untuk merebut kekuasaan negara. Pers sebagai instrumen publik secara alamiah berpolitik, bahkan harus berpolitik. Membicarakan atau memperjuangkan kepentingan publik adalah tindakan politik. Namun pers yang menjalankan politik publik mesti bebas dari keberpihakan pada suatu kekuatan politik.

Saya melihat bermacam corak pers partisan. Antara lain, pers sebagai alat kelengkapan resmi penyelenggara kekuasaan politik. Hal ini bukan hanya didapati pada sistem kekuasaan otoriter, tapi juga demokrasi. Sistem demokrasi tidak melarang kekuatan politik memiliki pers sebagai organ pendukung. Kesamaan ideologi dan kepentingan juga menimbulkan sikap partisan.
Kepentingan ekonomi acap kali mendorong pers bersikap partisan. Pers daerah yang melakukan berbagai kerja sama dengan pemerintah daerah, sadar atau tidak sadar, menjadi partisan sebagai akibat imbalan yang diterima.

Pemilik pers yang menjadi aktivis atau menggabungkan diri dengan kekuatan politik tertentu bisa terseret menjadi partisan. Secara resmi barangkali pers yang bersangkutan tidak serta-merta partisan. Tapi “kewajiban“ pers bersangkutan untuk mengikuti kemauan pemilik, termasuk kemauan politik, langsung atau tidak langsung akan mendatangkan sifat partisan.

Ancaman-ancaman terhadap kebebasan pers itu, paling tidak, akan membuat pers mengalami kesulitan untuk bersikap independen dan berimbang. Independen bukan berarti tidak berpihak. Pers independen wajib berpihak kepada kepentingan publik. Yang harus dijaga adalah keseimbangan. Inilah makna imparsial sebagai unsur independensi pers. Imparsial adalah keseimbangan.

Selain itu, satu hal lain yang dapat mengancam kebebasan pers adalah tingkah laku pers atau internal pers sendiri. Pers yang bermutu rendah, sistem pengelolaan yang tidak baik, memaksakan kehendak untuk berpihak pada kelompok tertentu, tidak menghormati kode etik dan peraturan perundangan, akan merendahkan martabatnya sendiri. Risikonya, tidak hanya akan menurunkan kepercayaan publik, tapi juga dapat mengundang campur tangan pihak luar. Para wartawan bisa menghilangkan kehormatan untuk menjaga kebebasan pers bila ia memandang tugas kewartawanan sekadar cara mencari nafkah.  

Industrialisasi Media Massa

Catatan ini dibatasi pada industrialisasi pers. Media massa dapat meliputi pers dan bukan pers. Secara hakiki, sejak awal pers adalah sebuah industri. Kehadiran dan perkembangan pers tidak pernah terlepas dari perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Yang berbeda adalah perkembangan fungsi dan teknologi yang dipergunakan. Pada permulaan, fungsi pers terutama sebagai media informasi atau penyampai berita. Seiring dengan tumbuhnya peran politik, pers berperan menyalurkan, membentuk, dan mempengaruhi pendapat umum. Seiring dengan perkembangan pers sebagai sebuah usaha, pers berkembang sebagai usaha ekonomi atau bisnis. Industrialisasi pers tidak lagi kegiatan memanfaatkan perkembangan teknologi tetapi kegiatan industri di bidang ekonomi.

Perkembangan pers, dalam proses industrialisasi maupun industri, tak mungkin dihindari, bahkan merupakan kebutuhan. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, kebutuhan akan kecepatan melayani dan menyampaikan informasi, perkembangan berbagai jenis media baru, serta persaingan yang ketat, menuntut sistem pengelolaan yang scientific dan efisien.

Industrialisasi pers sebagai suatu kemestian tidak berpengaruh pada kedudukan dan fungsi pers. Industrialisasi pers dapat menguatkan manfaat pers sebagai instrumen publik. Persoalan dapat timbul pada pers sebagai industri. Telah dikemukakan, sebagai industri, pers adalah suatu kegiatan ekonomi untuk mencari laba (sebesar-besarnya). Sebagai pencari laba, kemerdekaan bukan lagi sesuatu yang esensial. Kemerdekaan pers akan dipertukarkan sepanjang berjalan seiring dengan kepentingan ekonomi dari perusahaan pers yang bersangkutan.

Apakah hal tersebut dapat dihindari? Ada sejumlah instrumen yang dapat dipergunakan pers agar tak mencederai kemerdekaan dan fungsi pers.

Pertama, sebagai suatu badan hukum, pers perlu memperhatikan dengan sungguh penerapan aturan hukum seperti undang-undang antimonopoli atau antikartel, juga persaingan tidak sehat seperti perang harga. Termasuk pula memperhatikan cara-cara tidak sehat “memindahkan“ tenaga-tenaga dari satu perusahaan pers ke perusahaan pers lain dengan penawaran pendapatan atau kedudukan yang lebih tinggi tanpa kesepakatan atau pernyataan tidak keberatan dari perusahaan yang “dipindahkan“tenaganya.

Kedua, pengerasan penegakan kode etik pers.Tidak hanya melalui Dewan Pers, tapi juga perhimpunan wartawan dan perhimpunan perusahaan pers. Masing-masing penerbit pers juga bertanggung jawab agar secara internal kode etik dapat ditegakkan melalui penegakan disiplin, kaidah profesi, dan kaidah hubungan kerja yang diatur oleh hukum.

Ketiga, kontrol publik. Sebagai salah satu elemen dan sebagai instrumen demokrasi, pers juga harus diawasi. Karena pers bertanggung jawab kepada publik, maka publik wajib mengawasi pers agar tidak merugikan kepentingan publik dan mengindahkan prinsip-prinsip independensi, imparsial, dan berimbang.

Keempat, harus ada kejelasan perbedaan peran antara tugas jurnalistik dan non-jurnalistik. Ketika seorang pemimpin media pers merangkap pemimpin organisasi sosial dan menayangkan siaran organisasi sosial yang bersangkutan, maka pemimpin itu tidak sedang melakukan tugas jurnalistik karena konten siaran organisasi sosial itu tidak serta-merta dilindungi oleh pers, kaidah etik, dan hukum-hukum jurnalistik. Tapi tindakan media pers yang bersangkutan menyiarkan kegiatan sosial tersebut adalah kegiatan jurnalistik yang wajib tunduk kepada asas dan kaidah etik dan hukum jurnalistik.

Industrialisasi pers, maupun pers sebagai industri, tak mungkin dihindari tapi perlu disadari dampaknya. Ada kebaikan dan keburukan. Kebaikannya, antara lain, pers harus benar-benar dikelola profesional dengan tujuan yang jelas. Keburukannya, timbul persaingan yang dapat saling mematikan, dan ini mempengaruhi kemerdekaan pers. Keburukan lain, faktor-faktor idiil dapat bisa menjadi terbelakang dan digantikan oleh motif bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Kalau hal ini benarbenar terjadi, ancaman terhadap kemerdekaan pers menjadi sesuatu yang dapat disebut sebagai the real and present threat atau the real and present danger.
◄ Newer Post Older Post ►