Korupsi dan Pendidikan Integritas


Korupsi dan Pendidikan Integritas
Ali Rif’an, MAHASISWA DAN PENELITI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 8Februari 2012


Di negeri ini, korupsi berlangsung seumpama tarikan napas. Setiap detik, masyarakat disuguhi berita korupsi dan olengnya elite politik kita. Pemberantasan korupsi pun sudah dilakukan selama bertahun-tahun, tapi upaya tersebut tampaknya masih jauh dari harapan masyarakat. Terbukti Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya 3,0, yang berarti tetap berada pada kelompok negara terkorup. Sedangkan Transparansy Internasional tahun 2011 masih menempatkan Indonesia pada peringkat ke-100 dari 189 negara yang disurvei untuk prediket korupsi.

Berbagai strategi terus dilakukan, namun karakter dan perilaku korup masih saja terjadi, bahkan cenderung makin parah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun sudah menjaring dan menjebloskan banyak koruptor ke penjara. Tapi, toh, apa yang dilakukan KPK hanya membuat penjara semakin sesak. Perilaku korupsi masih tetap jalan, bahkan--dalam bahasa budayawan Indra Tranggono--berlangsung seperti festival.

Di sinilah, tampaknya dibutuhkan pemahaman baru untuk memahami korupsi dalam konteks yang lebih esensial dan fundamental.

Salah Persepsi

Selama ini, dalam pemberantasan korupsi, langkah masif yang dilakukan oleh berbagai kalangan cenderung berorientasi pada pendekatan hukum. Hukum seolah menjadi jalan ampuh dalam memberangus korupsi. Padahal, pelaku tindak korupsi itu berbeda dengan prilaku kriminal lainnya. Ingat, korupsi itu kejahatan yang dilaku kan orang-orang terdidik, atau kejahatan “kerah putih”.

Dengan kata lain, ketika ma sya rakat kecil (tidak terdidik) melakukan kejahatan, seperti men curi ayam. Sesungguhnya, apa yang mereka lakukan itu tidak lain dan tidak bukan adalah karena alasan perut dan minimnya pen didikan yang dimiliki. Tapi, ber beda dengan para koruptor, mereka rata-rata dari kalangan me nengah dan terdidik. Masih segar dalam ingatan kita kasus Gayus Tambunan, PNS Golongan III dan alumnus sekolah kedinasan, ataupun Muhammad Nazaruddin, bekas bendahara Partai Demokrat yang kini masih ramai diperbincangkan. Mereka bukanlah orang miskin ataupun minim pendidikannya, tapi sudah lebih dari cukup. Namun, mengapa masih tetap melakukan korupsi? Karena, perilaku korupsi ini lebih didasari atas “kerakusan” dan “ter eliminasinya” pendidikan mo ral dalam diri.

Karena itu, Syed Hussein Ala tas dalam bukunya The Sosiologi of Corruption pernah mengatakan bahwa pendekatan yang dilaku kan terhadap masalah korupsi ini harus berbeda. Korupsi adalah se buah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi atau pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Korupsi termasuk kejahatan luar biasa. Karena itu, cara mengatasinya tidak boleh sama dengan masalah kriminal lainnya.

Korupsi sangat erat kaitannya dengan moral, sementara moral erat kaitannya dengan pendidikan. Dengan kata lain, masalah korupsi yang marak terjadi di Tanah Air sebenarnya tidak melulu kesalah an penegakan hukum kita yang lemah, tapi juga terkait dengan model pendidikan kita yang masih jauh dari cita-cita luhur para pendiri bangsa.

Pendidikan Integritas

Harus diakui, dunia pendidikan dan sekolah selama ini masih sekadar mengajarkan tentang teori moral, etika, kejujuran dalam bahan ajar yang diujikan secara teoretis, namun miskin dalam praktik. Nilai-nilai dasar adiluhung dan kemanusiaan acap tidak termanifestasi dengan baik dalam praktik pengajaran. Para siswa dan mahasiswa hanya diasah kecerdasan intelektualnya, sedangkan kecerdasan emosional dan spiritualnya terabaikan.

Akibatnya, nalar yang timbul dari sebagian besar individu produk pendidikan nasional adalah bernalar matematis dan materialistis. Tidak mengherankan konstruksi pemikiran dan komitmen mereka tentang makna kesuksesan adalah sekadar materi dan jabatan. Hal ini sering penulis alami ketika reuni dengan teman sekolahan, hal yang paling dibanggakan lebih awal adalah soal jabatan/profesi dan materi. Sedikit sekali, misalnya, yang menanyakan hal-ihwal moralitas, kemanusiaan dan kejujuran. Masalah moralitas dan kejujuran seolah sudah tidak lagi bernilai. Karena, pada kenyataannya orang akan dianggap bernilai dan naik stratifikasi sosialnya di masyarakat jika punya jabatan tinggi dan kaya, meski jabatan dan kekayaan itu didapat dari kecurangan dan korupsi.
Orang-orang yang jujur dan saleh, semakin termarginalkan.

Di sinilah perlu kiranya ada semacam resolusi terhadap model pendidikan kita. Karena, fenomena yang sedang terjadi di atas tak lepas dari hasil produk pendidikan Tanah Air. Tentu saja wacana pendidikan integritas perlu dihembuskan di sini. Pendidikan integritas adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara efektif mengembangkan potensi dirinya, baik aspek kognisi (cipta), afeksi (rasa), maupun konasi (karsa)-nya sesuai dengan nilai-nilai integritas (keutuhan moralitas).

Sebab, minimnya pendidikan in tegritas itulah yang menjadi salah satu penyebab abadinya persoalan krusial bangsa seperti korupsi dan penyalahgunaan jabatan untuk menghasilkan keuntungan pribadi yang bersifat materi. Padahal, seperti diungkapkan pedagog Jerman FW Foerster (18691966), tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter (moral) yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya.

Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dalam hal ini, Ki Hajar Dewantara juga pernah mengata kan, pendidikan yang baik itu selayaknya menggunakan metode among, yakni metode yang berdasar pada asih, asah, dan asuh (ing ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani).

Tentu dalam mewujudkan pendidikan integritas, para guru dituntut tidak hanya mampu memberi materi pembelajaran tentang “petuah” bijak tentang moralitas dan kejujuran, tapi juga harus mampu menyadarkan dan membekali siswa tentang kebanggaan akan moralitas-kejujuran. Pendi dikan selayaknya menjadi fondasi yang mewatakkan etika dan sikap kejujuran, bukannya sikap sera kah dan gila kekuasaan. Karena, sesungguhnya watak dasar pendi dikan adalah sebagai antitesis dari prilaku koruptif dan demoralisasi.

◄ Newer Post Older Post ►