Islamisasi Ruang Publik
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber : JIL, 6 Februari 2012
Saat ini, memakai jilbab bukan lagi sekedar tanda kesalehan agama, tetapi juga sebuah mode. Di mall-mall yang mewah di Jakarta, kita sudah tak asing lagi dengan pemandangan perempuan berjilbab yang sangat “fashionable”. Bahkan berjilbab telah berbaur dengan gaya hidup kelas menengah kota yang lain, seperti nongkrong di Starbucks atau bahkan di tempat karaoke keluarga seperti Inul Vista, misalnya. Pemandangan perempuan berjilbab yang bekerja di sektor profesional yang berkantor di Jalan Sudirman atau Thamrin, juga sudah menjadi santapan kita sehari-hari.
Ada suatu zaman di masa lampau ketika umat Islam berkeluh-kesah karena ada sikap publik yang kurang bersahabat dengan simbol-simbol keislaman. Pada dekade 60an dan 70an, pandangan publik Muslim terhadap sejumlah simbol Islam, misalnya jilbab atau melaksanakan ibadah salat di perkantoran, kurang begitu positif. Jilbab pada dekade-dekade itu bahkan dipandang sebagai simbol tradisionalisme dan kemunduran umat Islam.
Pada dekade itu, kota-kota besar di sejumlah negeri Muslim cenderung berwatak “sekular”. Jilbab belum merupakan mode di kalangan umat. Jilbab hanya dikenakan oleh kalangan Islam tradisional yang tinggal di perkampungan. Sementara di kalangan terpelajar Muslim di perkotaan, jilbab kurang begitu lazim dikenakan. Di kalangan yang terakhir ini, “mood” atau perasaan kolektif yang menonjol adalah aspirasi atau kehendak untuk menjadi modern. Dan simbol kemoderenan ditandai, antara lain, dengan cara berpakaian ala Barat. Mereka inilah yang sering disebut sebagai kalangan Muslim modernizers.
Keadaan berubah total setelah kemenangan Revolusi Iran pada 1979. Sejak itu, gairah beragama di kalangan anak-anak muda Muslim di seluruh dunia Islam meruap. Gairah ini ditandai oleh antusiasme yang tinggi di kalangan anak-anak muda itu untuk belajar agama Islam kembali, serta menonjolkan dengan seluruh rasa bangga simbol-simbol keislaman yang kasat mata. Inilah era yang disebut sebagai revivalisme atau kebangkitan kesadaran Islam (dalam bahasa Arab disebut al-shahwa al-Islamiyya).
Sejak saat itulah, perkara jilbab bukan sekedar isu pakaian biasa. Sebaliknya, jilbab menjadi semacam “statemen politik” tentang bangkitnya era baru, yaitu era di mana umat Islam menemukan kebanggaan kembali dalam Islam. Mereka tak minder lagi di hadapan hegemoni Barat yang sekuler. Jilbab, di tangan aktivis Muslim baru ini, menjadi simbol perlawanan terhadap peradaban Barat yang materialistik dan sekular. Leila Ahmed, seorang profesor kelahiran Mesir yang sekarang mengajar di Universitas Harvard, melukiskan perubahan ini dalam bukunya yang terbit tahun lalu (2011), A Quite Revolution.
Sekarang ini, ruang publik di kota-kota besar di seluruh dunia Islam mengalami perubahan yang mencolok: jika dulunya simbol-simbol keagamaan (baca: keislaman) kurang atau sama sekali absen, sekarang simbol-simbol itu berhamburan di ruang publik. Bahkan perubahan semacam ini bukan saja terjadi di kota-kota di negeri Muslim. Di Barat pun, hal serupa kita jumpai. Pemandangan seorang perempuan muda berjilbab di kampus-kampus terkemuka di Amerika Serikat, sudah sering saya lihat. Bukan itu saja. Sejumlah pegawai perempuan berjilbab di supermarket seperti Target atau CVS –keduanya adalah salah satu jaringan waralaba yang besar di AS—kerap saya lihat, terutama di kota Boston di mana saya pernah tinggal lama.
Di Jakarta, pemandangan serupa juga kita lihat. Saat ini, memakai jilbab bukan lagi sekedar tanda kesalehan agama, tetapi juga sebuah mode. Di mall-mall yang mewah di Jakarta, kita sudah tak asing lagi dengan pemandangan perempuan berjilbab yang sangat “fashionable”. Bahkan berjilbab telah berbaur dengan gaya hidup kelas menengah kota yang lain, seperti nongkrong di Starbucks atau bahkan di tempat karaoke keluarga seperti Inul Vista, misalnya. Pemandangan perempuan berjilbab yang bekerja di sektor profesional yang berkantor di Jalan Sudirman atau Thamrin, juga sudah menjadi santapan kita sehari-hari.
Saat ini, yang terjadi justru sebaliknya. Jika pada dekade 60an dan 70an, perempuan Muslimah yang terpelajar malu berjilbab karena khawatir dianggap “tradisional” dan “kampungan”, saat ini justru berjilbab menjadi kebanggaan. Bahkan, di kalangan tertentu, ada semacam “tekanan sosial” untuk memakai pakaian Muslimah itu. Dalam situasi tertentu, kalangan perempuan yang tak berjilbab justru berada pada posisi yang “defensif” secara sosial – keadaan yang secara drastis berkebalikan dengan situasi di dekade-dekade sebelumnya.
Perubahan sosial semacam ini tentu saja menarik sekali. Yang menarik bukan saja adanya perubahan sikap pada kalangan Muslim sendiri – mereka tak lagi minder memakai jilbab. Perubahan juga terjadi pada masyarakat di luar Islam. Mereka tak lagi melihat jilbab atau simbol-simbol keislaman lain dengan mata curiga. Mereka, sebaliknya, melihatnya sebagai hal biasa, dan bahkan memberikan apresiasi terhadapnya. Dulu simbol-simbol semacam itu, begitu “nongol” di ruang publik, langsung memantik rasa curiga. Sekarang, simbol itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari yang biasa.
Saya memandang perubahan semacam ini sebagai hal yang positif. Ada toleransi dan penghargaan dari dua belah pihak. Islamisasi ruang publik diterima sebagai fenomena sosial yang wajar.
Akan tetapi, kita tak boleh menerima perubahan sosial ini dengan sikap yang sepenuhnya lugu atau naif. Tentu saja ada sejumlah ekses yang muncul dari gejala kian populernya jilbab ini. Seraya memberinya apresiasi sebagai bagian dari cara umat Islam untuk mengekspresikan dirinya di ruang publik modern yang cenderung sekular, jilbab juga bisa menandai suatu sikap keagamaan tertentu. Bukan suatu kebetulan jika maraknya simbol-simbol keagamaan di Indonesia seperti jilbab itu berbarengan dengan maraknya intoleransi agama di sejumlah kalangan. Meskipun hubungan kausal antara keduanya belum tentu bisa dibuktikan melalui data yang akurat, tetapi ada kecenderungan bahwa kebangkitan simbol keagamaan juga disertai dengan kebangkitan sikap-sikap yang cenderung konservatif.
Kritik terhadap sikap-sikap konservatif perlu dikemukakan terus, sebab dampaknya dalam kehidupan sosial memang kurang begitu positif. Salah satu wujud sikap konservatisme itu ialah, misalnya, sikap mencurigai kelompok agama yang berbeda, atau kecenderungan eksklusif atau bahkan memusuhi kelompok agama lain. Sikap-sikap semacam ini jelas berbahaya bagi kehidupan sosial yang dialogis dan sehat.
Saya mendukung antusiasme umat Islam untuk menampilkan kembali simbol-simbol keagamaan. Tak ada yang salah sama sekali dalam hal yang demikian itu. Bahkan simbol-simbol keislaman itu bisa memperkaya ruang publik. Tetapi kita harus mengkritik sikap-sikap keagamaan yang tertutup dan bahkan cenderung memusuhi atau mencurigai kelompok-kelompok lain yang berbeda. Menurut saya, seseorang bisa menjadi Muslim yang saleh, taat beragama, dan dengan penuh antusiasme menampilkan simbol-simbol keagamaan di ruang publik, tetapi juga sekaligus menjadi seseorang yang berwawasan terbuka, bersedia melakukan dialog dengan kelompok-kelompok dari agama dan keyakinan yang berbeda.
Kesalehan simbolik dan sikap pluralis dan terbuka tak harus berlawanan. ●