Mengkritisi Peningkatan Pendapatan per Kapita


Mengkritisi Peningkatan Pendapatan per Kapita
Latif Adam, PENELITI PUSAT PENELITIAN EKONOMI (P2E)-
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
Sumber : SINDO, 11 Februari 2012




Senin (6/2), BPS melaporkan perekonomian Indonesia pada 2011 tumbuh 6,5%.Dengan demikian,secara nominal (menurut harga berlaku) besaran perekonomian Indonesia pada 2011 tercatat sebesar Rp7.427,1 triliun.

Seiring dengan tumbuhnya perekonomian, pendapatan per kapita masyarakat juga mengalami peningkatan USD532,8 atau meningkat dari USD3.010,1 (Rp27 juta per tahun) pada 2010 menjadi USD3.542,9 (Rp32 juta per tahun) pada 2011.

Meskipun masih lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan per kapita rata-rata negara layak investasi yang telah mencapai USD9.800, kenaikan pendapatan per kapita masyarakat negeri ini semakin mengukuhkan posisi Indonesia sebagai middle income country. Tidak mengherankan bila beberapa pejabat tinggi negeri ini menyimpulkan terjadi perbaikan yang signifikan dari kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Benarkah demikian?

Beberapa Kelemahan

Kuat dugaan bahwa argumen terjadinya perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi didasarkan pada asumsi bahwa peningkatan pendapatan per kapita diterjemahkan mentah-mentah sebagai peningkatan kesejahteraan masyarakat. Padahal beberapa ekonom pionir seperti Todaro dan Smith (1988) telah lama mengidentifikasi beberapa kelemahan dari mengandalkan pendapatan per kapita sebagai ukuran kesejahteraan masyarakat.

Dua kelemahan terpenting adalah sebagai berikut. Pertama,mengabaikan distribusi pendapatan. Di Indonesia meskipun pendapatan per kapita terus mengalami peningkatan, distribusi pendapatan sepertiterindikasidari giniratio relatif tidak mengalami perubahan, tetap stagnan di kisaran 0,331. Ini berarti naiknya pendapatan per kapita lebih banyak didorong naiknya pendapatan segelintir kelompok masyarakat tertentu.

Pola pertumbuhan ekonomi yang eksklusif, hanya bertumpu pada sektor non-tradable,diduga menjadi penyebab mengapa distribusi pendapatan di Indonesia tidak mengalami perbaikan signifikan. Memang , data BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun lalu masih tetap didominasi sektor non-tradable yang menyumbang 67,7% terhadap pertumbuhan ekonomi (4,4% dari 6,5%), sedangkan sektor tradablehanya menyumbang 32,3% (2,1% dari 6,5%).

Masalahnya, sektor nontradable hanya mampu menyediakan kesempatan kerja yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan sektor tradable. Ini berarti pertumbuhan ekonomi yang didominasi sektor non-tradable akan membuat kue pertumbuhan ekonomi terkonsentrasi dan hanya bisa dinikmati kelompok kecil tertentu, khususnya mereka yang bekerja di sektor non-tradable. Kedua, mengabaikan perubahan pola pendapatan dan pengeluaran.

Pada 2011, indeks kenaikan harga (inflasi) bahan makanan (3,64%) relatif lebih rendah dibandingkan dengan indeks kenaikan harga kelompok pengeluaran lainnya (kecuali kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 3,47% dan kelompok komoditas transpor,komunikasi, dan jasa keuangan 1,92%).Ini berarti term of trade bahan makanan mengalami pelemahan.

Pelemahan ini tidak menguntungkan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang bekerja di sektor ini (petani). Pendapatan petani akan mengalami penurunan (karena indeks harga bahan makanan menurun), tetapi pengeluarannya akan meningkat (karena indeks harga kelompok pengeluaran lainnya mengalami kenaikan).

Masalahnya adalah sektor bahan makanan menyediakan kesempatan kerja yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan sektorsektor ekonomi lainnya. Per Agustus 2011, sektor bahan makanan mampu menyerap 35,9% dari total kesempatan kerja yang tersedia (109.670.399 orang). Dengan demikian, perkembangan indeks harga selama 2011 sebenarnya justru menurunkan tingkat kesejahteraan 39,3 juta orang.

Beranjak dari pembahasan di atas, tampak dengan jelas bahwa peningkatan pendapatan per kapita tidak secara otomatis menggambarkan terjadinya peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pendapatan per kapita boleh jadi terus mengalami peningkatan.Tapi, karena peningkatan pendapatan itu tidak terdistribusi secara merata, terlalu prematur untuk menyimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan semua kelompok masyarakat naik.

Data yang tersedia memang menunjukkan bahwa secara relatif beberapa kelompok masyarakat mengalami penurunan tingkat kesejahteraan terhadap kelompok masyarakat lainnya.Karena itu,bagaimana mendorong tingkat kesejahteraan semua kelompok masyarakat dengan mengurangi disparitas pendapatan antarkelompok tetap menjadi agenda penting yang perlu diprioritaskan.

Middle Income Country

Dengan naiknya pendapatan per kapita ke level USD3.542,9, Indonesia semakin mengokohkan posisinya sebagai middle income country. Di satu sisi, sebagai middle income country,Indonesia akan memiliki bargaining position yang lebih kuat untuk berpartisipasi dalam menata perekonomian global. Lebih dari itu, posisi sebagai middle income country akan membuat Indonesia menjadi tujuan yang menarik bagi masuknya investasi baik portofolio maupun langsung (foreign direct investment).

Di sisi lain, sebagai middle income country Indonesia juga akan kehilangan privilege untuk mendapatkan pinjaman luar negeri dengan bunga lunak. Masalahnya,jenis pinjaman itu selama ini menjadi sumber pembiayaan untuk membiayai proyek-proyek peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, agenda peningkatan kesejahteraan masyarakat harus terencana secara baik, termasuk memikirkan sumber pembiayaannya.

Selain itu, Indonesia perlu punya standing position dan rule of the game yang jelas sehingga masuknya investasi asing ke negeri ini benar-benar bisa dioptimalkan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.
◄ Newer Post Older Post ►