Legitimasi Wakil Menteri


Legitimasi Wakil Menteri
Amzulian Rifai, GURU BESAR ILMU HUKUM TATA NEGARA UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Sumber : KOMPAS, 8 Februari 2012


Pengangkatan wakil menteri oleh Presiden SBY kini dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Bukan itu saja, posisi wakil menteri dicurigai berpotensi memboroskan keuangan negara karena fasilitasnya bersumber dari APBN.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh mereka yang tidak menyetujui adanya jabatan wakil menteri. Pertama, jabatan ini tidak memiliki alasan konstitusional karena tidak disebutkan dalam UUD 1945. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 10 UU Kementerian Negara bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945 yang tidak menyebut posisi wakil menteri.

Selain itu, pengangkatan wakil menteri juga akan melahirkan konflik kepentingan di organisasi kementerian, yakni antara menteri dan wakil menteri. Alasannya, kedua pejabat mempunyai kekuasaan yang sama dan juga sama-sama diangkat Presiden. Kondisi demikian dapat mengakibatkan pelayanan publik akan terhambat.

Pengisian jabatan wakil menteri sesungguhnya bukan tidak memiliki legitimasi. Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di bidang pemerintahan. Dalam hal ini Presiden memiliki kewenangan untuk menentukan langkah terbaik dalam mengemban amanat tersebut, termasuk di dalamnya dimungkinkan untuk mengadakan jabatan wakil menteri.

Setiap kementerian memiliki kekhususan yang mungkin mengharuskan Presiden mengambil langkah yang berbeda dalam upaya memaksimalkan kinerja lembaga tersebut. Itu sebabnya pembuat undang-undang membuka ruang bagi Presiden untuk mengangkat wakil menteri. Pasal 10 UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara menegaskan, dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.

Memang jabatan wakil menteri tidak secara spesifik disebutkan dalam UUD 1945, tetapi bukan berarti pengangkatan wakil menteri lantas tidak konstitusional. Beberapa jabatan tidak disebutkan dalam UUD 1945, tetapi eksis dan diperlukan.

Misalnya, UUD 1945 hanya mengatur mengenai gubernur, bupati, dan wali kota, tetapi jabatan para wakilnya tidak disebutkan. Tidak diaturnya jabatan-jabatan wakil itu dalam UUD 1945 bukan berarti posisi wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota menjadi bertentangan dengan UUD 1945.

Apalagi, dalam Pasal 17 Ayat (4) UUD 1945 dinyatakan bahwa pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Pemerintah bersama-sama dengan DPR kemudian membentuk UU Kementerian Negara, yang memberikan legitimasi kepada Presiden untuk mengangkat wakil menteri.

Hubungan kerja antara menteri dan wakil menteri juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011. Perpres ini secara tegas mengatur, wakil menteri bertugas membantu menteri dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan kementerian.

Soal Pengisian Jabatan

Saya menilai perdebatan sesungguhnya lebih pada bagaimana dan siapa yang dapat diangkat sebagai wakil menteri, bukan soal legitimasi jabatan wakil menteri. Dalam penjelasan Pasal 10 UU No 39/2008 dinyatakan, yang dimaksud dengan wakil menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet. Soal istilah pejabat karier inilah yang kemudian memunculkan perdebatan.

Pengangkatan wakil menteri, sebagaimana juga dengan jabatan menteri, tetap mengandung unsur politis. Itu sebabnya jabatan wakil menteri pun akan sulit menghapuskan unsur politis. Sulit jadinya apabila antara menteri dan wakil menteri memiliki akar politik yang berbeda. Mereka dituntut untuk memiliki visi dan misi yang sama.

Itu sebabnya jabatan wakil menteri tetap sebagai political appointee yang diisi pejabat karier. Mengacu pada penjelasan Pasal 17 UU No 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, dinyatakan bahwa jabatan karier adalah jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintah yang hanya dapat diduduki oleh pegawai negeri sipil alias PNS.

Pejabat karier terdiri atas pejabat karier struktural dan fungsional. Benar bahwa jika pejabat karier struktural, ia akan terkait dengan jenjang kepangkatan dan eselon. Akan tetapi, jadi lain soalnya ketika pejabat karier diangkat atas dasar jabatan fungsionalnya. Di perguruan tinggi, misalnya, jabatan fungsional tertinggi adalah guru besar dengan berbagai persyaratan ketat yang harus dilaluinya.

Diungkitnya jabatan wakil menteri lebih karena alasan politis, bukan semata-mata dikarenakan persoalan yuridis. Secara yuridis, wakil menteri memiliki legitimasi. Ia semestinya dipandang sebagai jabatan yang diisi pejabat karier, baik berasal dari pejabat struktural maupun fungsional.

Dalam perspektif hukum tata negara, sekalipun jabatan wakil menteri tidak diatur, baik dalam UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan lain, Presiden sebagai kepala pemerintahan tetap memiliki kewenangan untuk mengadakannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945.

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, posisi wakil menteri pernah diadakan. Tidak seharusnya kewenangan konstitusional Presiden tersebut diintervensi oleh cabang kekuasaan lain, termasuk oleh kekuasaan yudisial. Atas dasar ini, langkah Presiden SBY mengangkat para wakil menteri sudah sesuai dengan ketentuan. Bahwa jumlahnya terkesan ”diobral”, itu soal lain.  

◄ Newer Post Older Post ►