Iklan Politik dan Makna Kebebasan

Iklan Politik dan Makna Kebebasan
Manunggal K. Wardaya, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNSOED,
PHD RESEARCHER PADA RADBOUD UNIVERSITEIT NIJMEGEN BELANDA
Sumber : SUARA MERDEKA, 9Februari 2012


Jika pada masa lalu kebebasan pers dirampas dengan represi, kini ketidakbebasan itu justru karena keridaan penuh sukacita media itu”

DALAM dunia jurnalistik, menerima upah atau imbalan dari narasumber, terlebih yang dapat memengaruhi pemberitaan adalah hal yang pantang dilakukan para pewarta. Upah atau imbalan tidak saja berisiko membuat wartawan kehilangan objektivitasnya, namun juga menghalanginya dari menyampaikan informasi krusial yang patut diketahui publik. Laporan yang dihasilkan oleh pewarta semacam demikian pula tak akan dapat memenuhi hak warga negara untuk tahu (right to know).

Pada gilirannya media tempat wartawan melakukan kerja profesionalnya akan kehilangan kepercayaan publik sebagai ujung tombak untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan.
Dalam ranah hukum, fungsi media sebagai sarana kontrol sosial telah terpositifkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Lebih lanjut Pasal 6 (a) UU Pers menegaskan peran pers nasional untuk memenuhi hak masyarakat untuk tahu.

Ugeran perilaku para pewarta kita kenal sebagai kode etik jurnalistik, yang menurut penjelasan Pasal 7 UU Pers adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Terkait dengan etika pewarta dalam relasinya dengan narasumber, Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) misalnya menyatakan; wartawan Indonesia tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar, yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang atau sesuatu pihak.

Hal senada dijumpai pula dalam Kode Etik Jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada butir ke-14. Pada butir ke-13 Kode Etik Jurnalistik AJI bahkan menegaskan larangan bagi jurnalis untuk memanfaatkan posisi dan informasi yang dimiliki untuk mencari keuntungan pribadi. 

Lembaga Ekonomi

Pasal 3 Ayat (2) UU Pers memberi ruang bagi media untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga ekonomi, antara lain dengan menawarkan jasa iklan dalam berbagai formatnya. Fungsi sebagai lembaga ekonomi inilah yang dalam konteks berbagai kontestasi memperebutkan jabatan politik menjadi celah bagi calon elite untuk mengintroduksi diri pada konstituen, bahkan menjinakkan media.

Elite politik berlomba-lomba ’’membeli’’ media dengan selubung legal; pemasangan iklan. Potensi dana besar dari calon elite politik membuat media memandang momen perekrutan kepemimpinan politik lebih sebagai lahan subur mendulang untung ketimbang panggilan tugas mengawal demokrasi. Akibatnya, media mengikuti keinginan customer.

Jika pada masa lalu kebebasan pers dirampas dengan represi, kini ketidakbebasan itu justru karena keridaan penuh sukacita media itu. Sukar untuk tidak mengatakan bahwa media yang menjalankan praktik semacam itu sebagai tidak sedang mencari keuntungan dengan posisi yang dimilikinya. Media lebih berpihak pada calon elite politik yang menawarkan keuntungan daripada kepada kepentingan publik.

Media lupa bahwa di balik fungsinya sebagai lembaga ekonomi, ia tidak boleh abai terhadap fungsinya sebagai pengawas kekuasaan. Pada akhirnya, publik jugalah yang dikorbankan karena media kehilangan kemampuannya untuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Padahal informasi dari medialah sebenarnya bekal utama publik dalam menjatuhkan pilihannya dalam pemilihan umum.

Dalam suasana peringatan Hari Pers Nasional 2012 ini, patut kiranya insan media memaknai ulang terhadap kebebasan pers. Bahwa kebebasan pers tidaklah cukup dimaknai sebagai bebas dari segala intervensi yang represif dan koersif semata, namun juga dari buaian kapital yang memiliki kesamaan muara: pengangkangan hak publik untuk tahu. ●
◄ Newer Post Older Post ►