Menghentikan Kriminalisasi Pers


Menghentikan Kriminalisasi Pers
Samsul Wahidin, GURU BESAR FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
Sumber : JAWA POS, 10 Februari 2012



PERKEMBANGANmenarik dunia pers di tanah air pada Hari Pers Nasional kemarin ditandai dengan penandatanganan MoU (memorandum of understanding) atau nota kesepahaman antara Polri dan pers. Ini merupakan poin bersejarah sehubungan dengan demokratisasi pers sebagai "pilar keempat" negara.

Tema sentral langkah yuridis Polri dan Dewan Pers itu adalah mencegah atau menghentikan kriminalisasi terhadap pers. Legal reasoning (logika hukum) pada alur nota kesepahaman tersebut, dasarnya merupakan refleksi dari upaya untuk lebih mengonkretkan iktikad baik (to goeder trouw) dari penegak hukum, khususnya Polri, dalam menghadapi permasalahan hukum yang bermula dari aduan masyarakat.

Pemberitaan media menjadi andalan informasi dan media komunikasi masyarakat. Menurut survei Edelman Trust Barometer 2012, media di Indonesia dipercaya 80 persen dari responden yang disurvei. Ini yang tertinggi; di Asia Pasifik hanya 63 persen, di dunia hanya 53 persen. Meski tepercaya, pemberitaan bisa menimbulkan beban tertentu bagi pihak yang merasa dirugikan. Untuk itu, harus ada saluran hukum buat menyelesaikanhnya.

Delik Pers

Sejatinya istilah delik pers (pers delict) itu bukan terminologi hukum, tetapi istilah sosial yang kemudian digunakan untuk menyebut pelanggaran kinerja wartawan atau insan pers. Tuntutan atau aduan bisa terjadi dua hal. Pertama, tuntutan ditujukan kepada media pers sebagai lembaga yang legal formalnya berkinerja atas dasar undang-undang; dan, kedua, ditujukan kepada orang lain sebagai akibat atau karena pemberitaan pers yang dirasa merugikan dirinya.

Dalam kasus kedua, sebagaimana kasus Aburizal Bakrie dan Ramadhan Pohan (yang kemudian dicabut), tidak akan menjadikan pers sebagai pihak bermasalah. Permasalahan hukum muncul karena penilaian adanya indikasi pencemaran nama baik. Artinya, itu bukanlah delik pers.

Dalam hal kedua inilah yang kiranya dikonkretkan oleh Polri. Artinya, ketika ada aduan berhubungan dengan kinerja wartawan, yang basisnya adalah terjadinya mal-journalism (kesalahan dalam profesi jurnalis) ingin dipastikan terlebih dahulu. Apakah benar mal-journalism atau bukan, Dewan Pers adalah tempat menentukannya. Berbagai kasus selama ini juga sudah dimediasi Dewan Pers.

Kasus yang berkaitan dengan kriminalisasi media kiranya menjadi dasar penyelesaian ini. Misalnya, ketika kantor media didatangi yang berujung ke laporan Polri dan berlanjut ke pengadilan (kasus Tommy Winata versus Tempo), seharusnya dikonfirmasikan ke Dewan Pers dulu, lembaga yang memang diberi kewenangan oleh undang-undang.

Di dunia Barat, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat, ketika kesadaran hukum sudah berangkat dari nalar yang rasional, ketika ada pemberitaan pers yang merugikan seseorang juga bisa dituntut. Harus dibuktikan bahwa sumber yang dijadikan bahan rujukan bersifat "awu-awu". Foto yang ditampilkan dinilai melanggar right of privacy. Kasus pencemaran nama baik (libel suit), khususnya di kedua negara itu, kadang diputuskan bahwa pers bersalah dan harus membayar ganti rugi. Ini adalah delik pers yang didasari mal-journalism.

Untuk membuktikan bukan mal-journalism- dan tidak merupakan delik pers-, seorang wartawan harus bisa membuktikan bahwa alur kinerjanya sesuai dengan prinsip jurnalislitik yang beretika.

Tidak Tolak Aduan

Ada konstruksi hukum yang bersifat asasi bahwa Polri tidak boleh menolak sebuah laporan dan atau pengaduan dari masyarakat. Dalam hal aduan yang berhubungan dengan pers, sudah seharusnya berkonfirmasi dengan Dewan Pers, untuk memastikan apakah cukup bukti dan atau argumentasi hukum tentang ada atau tidak adanya delik pers.

Konkretnya, menjawab permasalahan, apakah penerbitan sebuah berita telah melalui proses penurunan sebuah sajian berita sesuai dengan etika jurnalistik. Misalnya, dalam hal check and rechecks, bahkan control checks. Di sinilah posisiDewan Pers yang telah dipahami Polri dan menuangkannya dalam MoU tersebut.

Dalam perspektif yuridis, konstruksi UU No 40/1999 tentang Pers bahwa akibat pemberitaan pers, aduan bisa saja dilakukan melalui tiga jalur. Pertama pidana, kedua perdata, serta ketiga pidana dan perdata. Laporan, pengaduan, tuntutan atau bentuk lain adalah refleksi dari hak asasi.

Konfirmasi pada Dewan Pers merupakan bentuk apresiasi terhadap kelembagaan pers yang secara institusi diwakili Dewan Pers tersebut. Lebih dari itu, hasil konfirmasi juga mempunyai nilai alat bukti dan legitimasi bagi Polri untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan aduan masyarakat akibat pemberitaan pers.

Dalam hal aduan perdata, sekali lagi, itu adalah hak asasi. Tidak ada UU yang melarang seseorang mengajukan tuntutan perdata (akibat pemberitaan pers). Asasnya jelas bahwa hakim tidak boleh menolak perkara yang masuk dan menjadi kewenangannya untuk mengadili. Namun, sering sangat sulit (bahkan musykil) membuktikan adanya kerugian yang diakibatkan pemberitaan pers.

Makna MoU itu bagi wartawan adalah agar insan pers tidak perlu takut sepanjang kinerjanya sesuai dengan rambu yang dipatok berdasar Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEWI).

Seperti halnya notaris, sebelum polisi bertindak atas laporan terhadap notaris, polisi mengetuk pintu majelis kehormatan Ikatan Notaris Indonesia (INI). Begitu pula menyangkut laporan terhadap dokter, polisi menghubungi majelis kehormatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Untuk wartawan, konfirmasi ada atau tidaknya pelanggaran kode etik itu alamatnya adalah Dewan Pers.

Kesepahaman dengan Dewan Pers itu akan membantu Polri agar lebih cermat dan tajam dalam menilai laporan pidana menyangkut pers. ●

◄ Newer Post Older Post ►