Dinamika Berteater


Dinamika Berteater
Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
Sumber : SINDO, 11 Februari 2012



Pemberian anugerah Tokoh Teater Indonesia kepada Saini KM dan Jakob Oetama membuktikan peristiwa berteater belum mati walau mulai suri—kata lain untuk senja.
Upacara dan upaya yang dilakukan Federasi Teater Indonesia yang dimotori Radhar Panca Dahana dalam kondisi ginjal tidak normal berusaha menambal kebocoran kelanjutan perkembangan dunia teater dan atau dunia panggung di Indonesia.

 Kebocoran atau penyimpangan dalam arti bahwa mata air teater terlupakan, sementara “anak sungai” yang bernama akting membanjiri televisi dan film dalam segala variannya. Kebutuhan untuk 10 stasiun televisi saja 40 jam sehari yang berarti setiap harinya memerlukan 200 pemain lama dan baru, yang dalam setahun 73.000 wajah, untuk sekadar menangis dan tertawa dan bertanya.

Makna Berteater

Peristiwa berteater adalah peristiwa berlelah dalam sunyi. Bukan dunia upacara seseorang merasa mendapat wangsit untuk menjadi Nyi Roro Kidul. Dunia teater adalah dunia atletik, berlari dalam jarak tertentu dengan melawan waktu, bukan sekadar dengan pelari di sebelahnya. Lawan utamanya adalah diri sendiri, bagaimana selalu disiplin dan berlatih bekerja sama dengan 40-an orang lain untuk satu dua kali pementasan, setelah berlatih tiga bulan.

Keberhasilan dan atau kegagalannya adalah pada bagaimana ia memosisikan diri di antara disiplin lain secara bersama dengan kadar yang kurang lebih sama. Sedemikian keras, ketat, kenyal gemblengan ini sehingga pelaku teater— syukurlah tidak ikutan disebut insan teater seperti dalam film—didewasakan oleh berbagai persoalan dan disiplin sekaligus.

Peristiwa berteater pada dasarnya mencoba memahami dan menerjemahkan gerak sebelum menjadi tari, bunyi sebelum menjadi nada,cahaya sebelum menjadi gelap dan terang, mantra sebelum menjadi kata, bereaksi kepada sesama atau kepada benda sehingga dikenal istilah olah tubuh dan atau pelatihan tanpa naskah, tanpa cerita, tanpa beban.

 Happening art bisa terjadi setiap saat,spontanitas kreatif lahir dan mengalir. Kalau kita menengok ke belakang—menengok pastilah ke masa lalu, kalau ke masa depan namanya melongok––ke masa jaya Miss Riboet Orion di Batavia tahun 1925, bersama dengan Dardanella di Sidoarjo, Jawa Timur, setahun sesudahnya atau kemudian grup Penggemar Sandiwara Maya, mereka tidak hanya mampu menghasilkan sebuah grup, sebuah komunitas, yang dinamis dalam suatu kelompok, melainkan juga pelaku teater yang bisa keluar dari tradisi kebiasaan yang ada.

Dalam contoh yang lebih sederhana, Teguh mengukuhkan diri melalui Srimulat dan bersamaan dengan itu melahirkan pelaku-pelaku teater yang bisa berdiri sendiri.Atau juga tradisi yang dibangun Rendra dengan Bengkel Teater,Teguh Karya dengan Teater Populer, serta Arifin C Noer dengan Teater Kecil,yang pada tahun 1970-an merupakan puncak keemasan panggung dan kehidupan berteater di Indonesia.

Makna Bertradisi

Semua itu terjadi di masa lalu dan dengan surutnya ketiga tokoh istimewa itu,surut pula peristiwa berteater. Terutama karena padepokan, pusat komunitas teater, yang tadinya merupakan tempat bertanya dan bereksperimen, tak lagi paten dan permanen.

Generasi berikut mencari sumbersumber kreatif yang lain yang mereka temukan dalam, terutama, dunia film, dunia video-klip, dunia Broadway atau Bollywood, atau yang terakhir ini dunia ala K-Pop, Korean Pop,dengan sandiwara melo atau terutama jenis panggung boys band dan girl band.

Sebenarnya di awal tahun 1970-an itu, Dewan Kesenian Jakarta melalui Komite Teater telah menyiapkan untuk kelangsungan berteater bagi generasi yang lebih muda.Baik dengan sayembara penulisan naskah—yang menjadi pilihan wajib untuk dipentaskan–– maupun yang dikenal sebagai Teater Remaja, sebutan yang diatasi karena karya panggung mereka tak kalah menarik dari seniornya.

Nama dua bersaudara Noorca Massardi dan Yudhistira Massardi—seperti halnya Radhar, AGS Arya Dipayana, dan seabrek nama lain––menemukan panggung ekspresinya. Mereka berbeda dengan para pendahulunya dalam konsep berteater sehingga ada wacana dan warna baru yang memperkaya idiom-idiom dunia panggung.

Pada saat yang sama, dunia perguruan tinggi di berbagai kota juga turut meramaikan dinamika berteater. Teater Rawamangun yang dimotori Fakultas Sastra Universitas Indonesia adalah nama yang pantas dikenang sumbangannya. Dikenang? Karena tradisi berteater di perguruan tinggi nyaris habis setelah itu.

Dalam konteks tradisi berteater, kita bisa melihat— menengok dan melongok— apa yang dikenal masyarakat sebagai Teatro LSPR. Kegiatan berteater yang dilakukan oleh lembaga pendidikan bidang komunikasi, London School of Public Relations (LSPR) Jakarta yang sejak tahun 2001 menyelenggarakan pentas teater secara kontinu, konsisten, dan menyuguhkan kualitas.

Untuk Februari 2012 ini saja,14 judul yang diangkat ke panggung, yang berarti 14 grup yang berbeda, dan di akhir bulan masih ada lagi festival yang diikuti grup-grup dari luar kampus. Bukan berlebihan bila LSPR sedang merencanakan pementasan yang ke-100, sebagai salah satu prestasi akademisnya.

Bahkan di tahun 2008 mereka mendapatkan rekor MURI sebagai penyelenggara pergelaran teater selama 20 hari berturut-turut.Dengan media khusus teater, Ideal,mereka bisa menjadi komunitas teater tersendiri kalau bukan satu-satunya.Dan kalau istilah Teater Akademi—yang dikaitkan dengan tokoh seperti Usmar Ismail,D Djajakusuma, Asrul Sani sampai Teguh Karya––bisa dipergunakan, rasa-rasanya juga tak terlalu jauh.

Pada masa tahun 1955 itulah lahir Asdrafi,Akademi Seni Drama dan Film,di Yogyakarta serta ATNI, Akademi Seni Teater Indonesia, di Jakarta dengan pergumulan mulai terlibat dalam produksi film. LSPR memiliki pergumulan yang membedakan zaman di mana kini pentas model K-Pop, pentas Broadway bisa diikuti setiap kali melalui internet, di mana keinginan mementaskan Malin Kundang dan berbagai cerita tradisi masih menjadi pilihan.

Sejarah akan menempatkan posisinya dalam peristiwa teater di Indonesia. Satu hal yang pasti, daya tarik dunia teater masih besar dan diminati.Tahun lalu saya bersama beberapa teman melatih, sampai berpentas, anakanak dari daerah bencana: di Kaki gunung Merapi yang terkena lahar dan di Sidoarjo yang terkena lumpur.

Kami pun menemukan semangat sekaligus keceriaan untuk berpentas tanpa terkotak-kotak atau disekat oleh prasangka atau kecurigaan. Gema dan getar ini masih terasakan saat melihat Festival Teater LSPR, sebagai bagian dari tradisi berteater,menemukan kembali makna kebersamaan dalam prestasi,dalam sejuknya mata air berkesenian.
◄ Newer Post Older Post ►