Menonton Penonton Film Indonesia

Menonton Penonton Film Indonesia
Adrian Jonathan Pasaribu, Redaksi Filmindonesia.or.id
Sumber : KOMPAS, 11 Februari 2012



Di atas kertas, 2011 adalah tahun buruk bagi sinema Indonesia. Jumlah penonton menurun. Tahun sebelumnya, film Indonesia ditonton 16 juta orang. Tahun 2011, hanya ditonton 14 juta orang saja.

Tahun 2008 dan 2009, film Indonesia pernah meraup 30 juta penonton lebih. Padahal, jumlah film yang beredar hampir sama: 88 film tahun 2008, 80 film tahun 2009, 82 film tahun 2010, dan 84 film tahun 2011. Berarti, tahun ini, rata-rata penonton per film adalah 176.000 orang, sementara rata-rata tahun lalu 195.000 orang.

Apa yang terjadi? Usaha menjawab pertanyaan ini berujung pada sejumlah catatan.

Distribusi Film

Pertama, tentang kelesuan perbioskopan nasional tahun ini. Pemantiknya adalah pajak impor film sejak Januari, tetapi dampaknya baru terasa awal Maret hingga akhir Juli. Sepanjang periode itu, Motion Pictures Association of America (MPAA) memboikot Indonesia. Film-film blockbuster, macam Harry Potter and the Deathly Hallows Part Two dan Transformers 3: The Dark of the Moon, tidak bisa masuk ke jaringan distribusi nasional.

Masyarakat merespons kasus tersebut dengan eksodus sementara ke Singapura dan Malaysia. Apa boleh buat. Film Hollywood masih menjadi faktor penarik massa ke bioskop dan hajat hidup film Indonesia suka tidak suka bergantung pada film impor, terutama keluaran MPAA.

Untuk film-film MPAA, akhir Oktober, situs Mojo mulai menyediakan data pendapatan kotornya. Kesulitannya untuk Indonesia dengan ketaktersediaan data-data demikian adalah saat melakukan perbandingan. Karena itu, dengan sedikit nekat data-data pendapatan kotor khusus Indonesia dari Mojo dicoba ”dikonversikan” ke jumlah tiket/penonton dengan harga tiket.

Harga tiket bioskop di Indonesia Rp 20.000-Rp 100.000 tergantung dari kelasnya: 21, XXI, atau Premiere. Dengan jumlah 248 layar pada XXI dan Premiere—sepertiga dari total 592 layar—dan memperhitungkan ”nonton hemat” dari Senin sampai Kamis, maka ”dengan nekat” diambil rata-rata harga tiket Rp 30.000. Data penonton dalam tulisan ini adalah hasil ”konversi” pendapatan kotor dibagi rata-rata harga tiket yang Rp 30.000 itu.

Tampaklah bahwa penonton film MPAA tahun ini tidak terlalu cemerlang. Rata-rata berpuncak pada 700.000-900.000 penonton. Ambil contoh Fast Five. Dalam 12 minggu peredaran di bioskop, film tersebut meraup lebih dari 930.000 penonton (Rp 27.906.432.017). Tidak jauh di bawahnya ada Final Destination 5 dengan 851.000 lebih penonton (Rp 25.542.458.705,

13 minggu pemutaran), Johnny English Reborn dengan 741.000 lebih penonton (Rp 22.250.361.807, tujuh minggu pemutaran), dan Real Steel dengan 651.000 lebih penonton (Rp 19.554.382.588, delapan minggu pemutaran).

Bandingkan dengan lima besar film Indonesia tahun ini. Di puncak ada Surat Kecil untuk Tuhan dengan 748.000 penonton. Tidak jauh di bawahnya ada Arwah Goyang Karawang dengan 727.000 penonton, Poconggg Juga Pocong dengan 575.000 penonton (masih beredar), Get Married 3 dengan 563.000 penonton, dan Tanda Tanya dengan 552.000 penonton. Jumlah penonton ini masih di bawah jumlah penonton film impor, tetapi selisih tidak besar.

Pola pembangunan bioskop yang umumnya berprinsip ”satu mal satu bioskop” memosisikan penonton film Indonesia sama dengan penonton film impor: kelas menengah ke atas. Apabila film impor masih menjadi magnet agar penonton ke bioskop, prosedur yang mendahului ketersediaan film-film tersebut harus diurus dengan benar. Kasus pajak di atas sampai kini juga belum jelas penyelesaiannya.

Ketersediaan film impor di bioskop barulah satu hal. Hal lain adalah bagaimana pelaku bioskop memperlakukan film Indonesia. Apa yang baik bagi film impor belum tentu baik untuk film Indonesia, padahal keduanya berebut penonton yang sama.

Berikutnya soal data penonton. Belum ada upaya penertiban dari pemerintah terkait ketersediaan data penonton atau data pendapatan kotor. Padahal, Pasal 33 Undang-Undang Perfilman Tahun 2009 menyebutkan, pelaku usaha pertunjukan film ”wajib memberitahukan kepada menteri secara berkala jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan”. Ayat kedua menjelaskan hak masyarakat atas data penonton: ”Menteri wajib mengumumkan kepada masyarakat secara berkala jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan di bioskop”.

Kesulitan mengakses data penonton menghadirkan sejumlah konsekuensi. Jumlah total penonton bioskop setiap tahun adalah hasil perkiraan. Maka, pemetaan mendetail terhadap siapa saja dan bagaimana pola konsumsi penonton bioskop di Indonesia jadi sulit dilakukan.

Bagaimana publik bisa mengetahui bioskop untung atau rugi kalau jumlah penonton bioskop tidak dibuka? Bagaimana pemerintah bisa meyakinkan calon investor bahwa bioskop adalah bisnis potensial? Bagaimana penggiat film membuat terobosan kalau tak ada data penonton?

Keterlibatan publik dalam mengamati (dan mengawasi) kegiatan pelaku bisnis bioskop pun jadi terbatas. Apabila masa edar film ditentukan dari hold over figure (jumlah minimum penonton), harus ada keterbukaan pada publik perihal data penonton.
Bioskop tidak pernah memublikasikan informasi tersebut. Bioskop juga tidak pernah mengumumkan ataupun menjelaskan berapa hold over figure. Alhasil, bioskop punya kebebasan yang tak terkontrol.

Satu contoh kasus terjadi Juli silam. Tanggal 7 Juli, Surat Kecil untuk Tuhan (SKUT) rilis di 59 layar. Dua hari kemudian, SKUT naik ke 73 layar dan bertahan dengan rata-rata 65 layar sampai 3 Agustus. Jumlah penonton sampai tanggal tersebut 687.000 orang. Berarti, setiap layar meraup 400.000 penonton. Ini prestasi menggembirakan mengingat tanggal 28 Juli, Harry Potter masuk bioskop dan SKUT masih mampu meraup penonton. Sayang, begitu Transformers 3: Dark of the Moon masuk, jumlah layar SKUT turun jadi 30.

Tidak adanya kejelasan hold over figure memicu dugaan bahwa pihak 21 menggusur SKUT demi memberi ruang Transformers. Apalagi, seminggu sebelumnya, ada Harry Potter yang di hari pertama beredar di 353 layar sekaligus. Jumlah seluruh layar di Indonesia: 676. Berarti, Harry Potter mengisi 52 persen jumlah layar, sementara SKUT 10 persen. Dari persentase layar SKUT yang tidak seberapa itu, pihak 21 mengambil setengahnya untuk Transformers: hari pertama saja 130 layar. Jadi, sebenarnya 21 berpihak kepada siapa?

Keragaman Konten

Permainan layar bioskop jelas merugikan sinema Indonesia. Kesempatan penonton mengapresiasi perkembangan film nasional terpangkas. Tahun ini, dari 84 film nasional yang beredar di bioskop, setiap film rata-rata beredar dua minggu dan menggaet 176.000 penonton. Bukan jumlah ideal mengingat jumlah penduduk negeri ini 200 juta lebih. Namun, lebih dari separuh layar bioskop terpusat di wilayah Jabodetabek. Sisanya tersebar di 30 kota.

Timpangnya peredaran film bioskop dan pendeknya masa edar menjadikan perbedaan antara yang sudah dihasilkan para pembuat film dengan yang diterima penonton. Orang beranggapan sinema Indonesia masih didominasi film horor dan komedi cabul, padahal kenyataannya tidak.

Ada keragaman dalam film Indonesia tahun ini. Dari 84 film yang beredar, ada 35 drama, 13 komedi, 12 horor-komedi, 10 horor, 8 laga, 3 thriller, 2 musikal, dan 1 dokumenter. Tahun 2010: 28 drama, 20 komedi, 19 horor, 3 horor-komedi, 3 musikal, 2 thriller, dan 1 fantasi. Tahun 2009: 26 komedi, 22 drama, 22 horor, 4 horor-komedi, 3 laga, 1 fantasi, 1 animasi, dan 1 musikal.

Masuk ke masing-masing genre juga ada keragaman tema. Khusus untuk film komedi, tema-tema ”dewasa” tidak terlalu dominan tahun ini. Tahun lalu, hampir separuh dari film komedi Indonesia bertema semacam itu: Ngebut Kawin, Lihat Boleh Pegang Jangan, Sssstt... Jadikan Aku Simpanan, dan Susah Jaga Keperawanan di Jakarta. Tahun ini hanya dua: Mati Muda di Pelukan Janda dan Perempuan-perempuan Liar.

Perkembangan film drama juga menarik. Ada semacam tren di kalangan pembuat film untuk bergerak keluar Jakarta dan mengangkat cerita dari sejumlah daerah. Satu yang cukup menonjol adalah The Mirror Never Lies, karya Kamila Andini, yang berkisah tentang seorang anak perempuan dan ibunya di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Inisiatif serupa adalah Batas (Kalimantan Barat), Serdadu Kumbang (Nusa Tenggara Barat), Badai di Ujung Negeri (sebuah pulau di Laut China Selatan), Lost in Papua (pedalaman Papua), dan Pengejar Angin (Palembang).

Eksplorasi lokalitas berpotensi dikembangkan. The Mirror Never Lies, misalnya, membawa penonton ke perspektif Indonesia sebagai bangsa maritim. Maka, tren eksplorasi lokalitas ini memberi kesempatan penonton Indonesia untuk lebih mengenal negerinya. Untuk itu, perlu pemetaan daya serap penonton.

Sesuai kalkulasi, drama jadi penyumbang penonton terbesar tahun ini: 45 persen dari total 13,9 juta penonton. Jika dihitung rata-rata penonton per genre, horor-komedi dan horor yang paling tinggi. Tahun ini, setiap film horor-komedi menyedot 251.000 penonton, sementara horor rata-rata menarik 241.000 penonton per film. Sebagai bandingan, drama punya rata-rata 177.000 penonton per film dan komedi 168.000 per film.

Dengan jumlah film lebih banyak, film drama dan komedi memiliki rata-rata penonton lebih rendah dibandingkan film horor dan horor-komedi. Tahun ini ada 38 film drama dan 13 film komedi yang dirilis. Bandingkan dengan 12 film horor-komedi dan 10 film horor. Kesimpulannya: film horor dan horor-komedi adalah dua jenis film yang paling mudah dipasarkan di Indonesia.

Penonton

Pada titik inilah isu pendidikan penonton menjadi genting. Ketiadaan sarana ekshibisi alternatif menjadikan referensi mayoritas penonton Indonesia terbatas pada sajian di bioskop sehingga perlu kehadiran tontonan alternatif lewat festival film.

Jakarta International Film Festival dalam 12 kali penyelenggaraan rata-rata menyedot 15.000 penonton per festival. Jogja-NETPAC Asian Film Festival tahun ini meraih sekitar 4.000 penonton. Namun, belum konstannya dana pemerintah ke festival-festival film di Indonesia ini membuat penyelenggaraan festival film terbatas dan tidak punya jaminan bertahan. Sementara jumlah bioskop alternatif di Indonesia terlampau sedikit.

Ketiadaan sarana ekshibisi alternatif sebenarnya peluang bagi pihak bioskop. Mereka bisa memutar film-film festival atau film-film impor yang dianggap tidak laku. Contohnya sudah ada: pemutaran Tree of Life di 21 (Agustus-September) atau Drive di Blitz (Desember). Namun, karena tidak ”diprogram”, film-film itu kurang ”bunyi”.

Keuntungan bioskop yang sudah cukup besar tidak akan berkurang jika beberapa layar ”dikorbankan” untuk pemutaran terprogram. Dengan memberikan pilihan sajian, bioskop bisa berperan menantang pembuat film Indonesia untuk mengembangkan kontennya. ●
◄ Newer Post Older Post ►